BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu aspek
yang sangat menentukan dalam membangun unsur manusia agar memiliki kualitas
seperti yang diharapkan, mampu bersaing di era yang penuh tantangan saat ini
maupun masa yang akan datang. Pembangunan Kesehatan ini menjadi perhatian
serius dalam masa kepemimpinan Gubernur , dan bahkan sektor ini merupakan salah
satu agenda prioritas pembangunan selain pembangunan bidang lainnya. Mencermati
aspek kesehatan dalam arti luas, maknanya tidak hanya sehat secara fisik namun
juga psikis, termasuk di dalamnya kesehatan mental yang direfleksikan dalam
inidikator kemampuan atau kecerdasan intelektual, emosional dan spritual.
Bidan dalam pelayanan kebidanan mempunyai peranan
penting dalam menurunkan angka kematian ibu dan anak dan sebagai ujung tombak
pemberi asuhan kebidanan .Dalam memberi asuhan bidan sebagai individu yang
memegang tanggung jawab terhadap tugas kliennya,bio-psiko sosial .Di tengah
masyarakat ,bidan juga berperan dalam memberi pendidikan kesehatan dan mengubah
prilaku masyarakat terhadap pola hidup dan gaya hidup yag tidak sehat.Jadi
tidak hanya memberi asuhan pada individu tapi juga terhadap keluarga dan
masyarakat.
Oleh karena itu,bidan harus mempunyai pendekatan
manajemen agar dapat mengorganisasikan semua unsur unsur yang terlibatdalam
pelayanannya dengan baik dalam rangka menuunkan angka kematian ibu dan anak.
Manajemen kebidanan adalah proses pemecahan masalah yang digunakan sebagai
metode untuk mengorganisasikan pikiran dan tindakan berdasarkan teori ilmiah,
penemuan –penemuan, ketrampilan dalam rangkaian/tahapan yang logis untuk
pengambilan suatu keputusan yang terfokus pada klien.
Manajemen kebidanan terdiri dari beberapa langkah yang
berurutan, yang dimulai dengan pengumpulan data dasar dan berakhir dengan
evaluasi. Langkah-langkah tersebut membentuk kerangka yang lengkap yang bisa
diaplikasikan dalam semua situasi. Akan tetapi, setiap langkah tersebut bias
dipecah-pecah kedalam tugas-tugas tertentu dan semuanya bervariasi sesuai
dengan kondisi klien. Mengingat pentingnya seorang bidan menguasai manajemen kebidanan
maka,dalam makalah ini akan kami bahas tentang dasar dasarnyaantara lain
tentang: langkah langkah dalam manajemen pelayanan kebidanan,perencananaan
dalam pelayaanan kebidanan,dan pemantauan pelayanan kebidanan (kohort Ibu ,bayi
, balita.) .
Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2007, Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia sebesar 34/1000
kelahiran hidup. Bila angka ini dikonversikan secara matematis, maka setidaknya
terjadi 400 kematian bayi perhari atau 17 kematian bayi setiap 1 jam di seluruh
Indonesia, sedangkan Angka Kematian Balita (AKBAL) sebesar 44/1000 kelahiran
hidup yang berarti terjadi 529 kematian/hari atau 22 kematian balita setiap
jamnya.
Apa saja penyebab kematian bayi dan balita? Menurut
data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, ada beberapa penyakit utama
yang menjadi penyebab kematian bayi dan balita. Pada kelompok bayi (0-11
bulan), dua penyakit terbanyak sebagai penyebab kematian bayi adalah penyakit
diare sebesar 31,4% dan pneumonia 24%, sedangkan untuk balita, kematian akibat
diare sebesar 25,2%, pneumonia 15,5%, Demam Berdarah Dengue (DBD) 6,8% dan
campak 5,8%.
Untuk itu makalah ini akan membahasa mengenai MTBS dan
Kohort yang dapat membantu menurunkan morbidity dan mortality baik pada ibu maupun
bayi dan balita
1.2.Tujuan
- Untuk mengetahui MTBS
- Untuk mengetahui Kohort
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Manajemen Terpadu Balita
Sakit
A. Pengertian
Adalah set modul yang menjelaskan secara rinci cara
menerapkan proses keterpaduan pelayanan dalam menangani balita sakit yang
datang ke fasilitas rawat jalan. Keterpaduan pelayanan tidak hanya kuratif,
terapi promotif dan preventif. Sekitar 70% kematian anak dibawah 5 tahun
disebabkan oleh pneumonia, diare, malaria, campak dan malnutrisi.
Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) adalah suatu pendekatan yang digagas oleh WHO dan
UNICEF untuk menyiapkan petugas kesehatan melakukan penilaian, membuat
klasifikasi serta memberikan tindakan kepada anak terhadap penyakit-penyakit
yang umumnya mengancam jiwa. MTBS bertujuan untuk meningkatkan keterampilan
petugas, memperkuat sistem kesehatan serta meningkatkan kemampuan perawatan
oleh keluarga dan masyarakat yang diperkenalkan pertama kali pada tahun 1999.
Proses manajemen kasus menguraikan cara penanganan
anak sakit mulai dari datang untuk berobat sampai konseling bagi ibu. Pelayanan
selanjutnya, yaitu memberi pedoman untuk menentukan apakah anak yang sakit
berat perlu dirujuk. Tiga unsur penunjang keberhasilan MTBS :
·
Membaiknya kemitraan antara fasilitas
kesehatan dan masyarakat yang dilayani
·
Meningkatnya perawatan, penyediaan
pelayanan dan informasi yang terjangkau dan memadai
·
Promosi yang terintegrasi
Proses
manajemen kasus disusun dalam beberapa langkah sebagai berikut:
· Manilai anak usia 2-5bulan atau bayi
muda usia satu minggu sampai 2 bulan dan melakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik
·
Membuat klasifikasi kategori untuk
menentukan tindakan
·
Menentukan tindakan
·
Mengobati dengan membuat resep, cara
memberi obat dan tindakan yang lain yang perlu dilakukan
·
Memberi konseling bagi ibu
·
Memberi pelayanan tindak lanjut
Memilih bagan manajemen kasus harus tepat, yaitu setiap fasilitas kesehatan mempunyai prosedur penerimaan rawat jalan, gawat darurat/ tindakan, KB/KIA atau imunisasi yang setiap fasilitas kesehatan mempunyai prosedur pendaftaran pasien. Jika belum ada, tentukan dahulu kelompok usia anak.
Ditinjau dari hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, maka angka kematian neonatal (AKN), angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian balita (AKBA) adalah 19/1000 kelahiran hidup (KH), 34/1000 KH dan 44/1000KH. Artinya, kematian balita (0- 59 bulan) masih tinggi. Untuk itu, diperlukan kerja keras dalam upaya menurunkan angka kematian tersebut, termasuk diantaranya peningkatan keterampilan tenaga kesehatan dalam menangani balita sakit, utamanya bidan dan perawat di Puskesmas sebagai lini terdepan pemberi pelayanan.
B. Sejarah penerapan MTBS di
Indonesia
MTBS telah
diadaptasi pada tahun 1997 atas kerjasama antara Kementerian Kesehatan RI, WHO,
Unicef dan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia).
Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated
Management of Childhood Illness (IMCI) adalah
suatu pendekatan terpadu dalam tatalaksana balita sakit.
MTBS bukan
merupakan program kesehatan,tetapi suatu standar pelayanan dan tatalaksana
balita sakit secara terpadu di fasilitas kesehatan tingkat dasar. WHO
memperkenalkan konsep pendekatan MTBS dimana merupakan strategi upaya
pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk menurunkan angka kematian dan
kesakitan bayi dan anak balita di negara-negara berkembang.
Ada 3 komponen dalam penerapan
strategi MTBS yaitu:
·
Komponen
I : meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana kasus balita
sakit (dokter, perawat, bidan, petugas kesehatan)
·
Komponen
II : memperbaiki sistem kesehatan agar penanganan penyakit pada balita lebih
efektif
·
Komponen
III : Memperbaiki praktek keluarga dan masyarakat dalam perawatan di rumah dan
upaya pencarian pertolongan kasus balita sakit (meningkatkan pemberdayaan
keluarga dan masyarakat, yang dikenal sebagai “Manajemen Terpadu Balita Sakit
berbasis masyarakat”).
Untuk
keberhasilan penerapan MTBS, proporsi penekanan pada ketiga komponen harus sama
besar.
C. Tujuan MTBS
· Menurunkan
angka kematian dan kesakitan yang terkait penyakit tersering pada balita.
· Memberikan
kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan kesehatan anak.
Menurut
data Riskesdas tahun 2007, penyebab kematian perinatal 0–7 hari terbanyak adalah gangguan/kelainan pernapasan
(35,9 %), prematuritas (32,4 %), sepsis (12,0 %). Kematian neonatal 7 – 29 hari disebabkan oleh sepsis (20,5 %), malformasi
kongenital (18,1 %) dan pneumonia (15,4 %). Kematian bayi terbanyak karena diare (42 %) dan pneumonia (24 %), penyebab
kematian balita disebabkan diare
(25,2 %), pneumonia (15,5 %) dan DBD (6,8 %).
Penyakit-penyakit
terbanyak pada balita yang dapat di tata laksana dengan MTBS adalah penyakit
yang menjadi penyebab utama kematian,
antara lain pneumonia, diare, malaria, campak dan kondisi yang diperberat oleh
masalah gizi (malnutrisi dan anemia). Langkah pendekatan pada MTBS adalah
dengan menggunakan algoritma sederhana yang digunakan oleh perawat dan bidan
untuk mengatasi masalah kesakitan pada Balita. Bank Dunia, 1993 melaporkan
bahwa MTBS merupakan intervensi yang cost
effective untuk mengatasi masalah kematian balita yang disebabkan oleh
Infeksi Pernapasan Akut (ISPA), diare, campak malaria, kurang gizi, yang sering
merupakan kombinasi dari keadaan tersebut.
D. Proses Manajemen Kasus
Balita Sakit
Penilaian
1)
Penialian
kasus Balita Sakit usia 2-5 bulan
a) Tanda bahaya umum
(tidak dapat minum atau menyusui, memuntahkan semua isi lambung, kejang,
letargi atau tidak sabar). Pada umumnya
anak-anak mempunyai tanda bahaya tergolong kasus kalsifikasi berat.
b) Pneumonia
yaitu proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru (alveoli), seringkali
disertai proses infeksi akut pada bronkus sehingga disebut pneumonia dan
bronko-pneumonia. Klasifikasi pneunomia (MTBS)
o
Anak 2-5 bulan:
ü Penumonia
berat
ü Pneumonia
ü Bukan
pneumonia (batuk tanpa disertai peningkatan frekuensi pernapasan (common cold,
faringitis, tonsilitis)
o
Penumonia yang berlansung <2 bulan
ü Infeksi
yang serius
ü Infeksi
bakteri lokal
o
Pneumonia berat
ü Batuk
ü Sukar
bernafas
ü Sesak
ü Tarikan
di ujung dada bagian bawah ke dalam.
Faktor risiko yang meningkatkan insiden pnemonia
·
Usia < 2 bulan
·
Laki-laki
·
Gizi kurang
·
Berat Badan Lahir Rendah
·
Tidak mendapatkan ASI yang memadai
·
Polusi udara
·
Kepadatan penduduk
·
Imunisasi tidak memadai
·
Defisiensi vitamin A
·
Pemberian makanan tambahan terlalu dini
·
Membedong anak
c) Diare.
Klasifikasi diare meliputi tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan/ sedang dan
dehidrasi berat. Etiologi diare meliputi infeksi (bakteri: sigella, E. Coli
dll), virus (rota virus, adeno virus dll), parasit (amuba dll), malabsorbsi,
alergi, keracunan, defisiensi imun atau sebab lain.
Tabel
2.1
Penilaian
Diare
Penilaian
|
A
|
B
|
C
|
Lihat:
- Keadaan
umum
- Mata
- Air
mata
- Mulut
dan lidah
- Rasa
haus
|
Baik, sadar
Normal
Ada
Basah
Minum biasa, tidak haus
|
Gelisah, rewel
Cekung
Tidak ada
Sangat kering
Haus, ingin minum banyak
|
Lesu, lunglai/ tidak sadar
Sangat cekung
Tidak ada
Sangat kering
Malas, tidak mau minum
|
Periksa turgor kulit
|
Kembali cepat
|
Kembali lambat
|
Kembali sangat lambat
|
Derajat dehidrasi
|
Tanpa dehidrasi
|
Dehidrasi ringan/ sedang jika ada satu
tanda tambahan atau lebih
|
Dehidrasi berat jika ada satu tanda
tambahan atau lebih
|
Terapi
|
Rencana A
|
Rencana B
|
Rencana C
|
Sumber : Syafrudin dan Hamidah. 2009
Menentukan tindakan tanpa rujukan segera
Klasifikasi
|
Tindakan
|
Pneunomia
|
·
Antibiotik yang tepat
·
Kapan harus kembali dan kapan harus kembali segera
|
Batuk (bukan pneumonia)
|
·
Beritahu cara melegakan tenggorokan
·
Kapan harus kembali
|
Tanpa dehidrasi
|
Rencana terapi A:
·
Beri cairan tambahan
·
Lanjutkan pemberian makanan
·
Kapan harus kembali
|
Diare persisten
|
Pemberian makanan khusus
|
Disentri
|
·
Beri antibiotik untuk shigella (60% kasus)
·
Atasi dehidrasi
|
Demam mungkin bukan malaria (resiko rendah malaria)
|
·
Beri antipiretik (parasetamol)
·
Kembali jika panas tidak turun dalam 2 hari
·
Pengobatan lain sesuai penyebab
|
Demam (mungkin DBD)
|
·
Beri oralit
·
Beri antipiretik (paracetamol)
·
Kapan harus kembali
|
Demam (mungkin bukan DBD)
|
·
Beri antipiretik (paracetamol)
·
Segera kembali jika 2 hari masih tetap demam
·
Cari penyebab lain
|
Campak dengan komplikasi
|
Berikan vitamin A
|
Menentukan tindakan segera pra-rujukan
Klasifikasi
|
Tindakan
|
Pneunomia berat atau penyakit berat lainnya
|
Beri dosis pertama antibiotik
|
Diare persisten berat
|
·
Perubahan diet
·
Pemeriksaan laboratorium
·
Tangani dehidrasi
|
Penyakit berat dengan demam
|
·
Beri dosis pertama antibiotik
·
Antipiretik (paracetamol) jika suhu > 38,50C
·
Suntikkan kinin/endemis malaria
·
Ambil sampel darah
|
Campak dengan komplikasi berat
|
·
Beri dosis pertama antibiotik
·
Vitamin A
·
Salep mata untuk mata keruh atau nanh dari mata
|
Demam berdarah dengue (DBD)
|
·
Tanda-tanda syok
·
Kendalikan kadar glukosa
·
Antipiretik (paracetamol) jika suhu > 38,50C
|
Mastoiditis
|
Beri dosis pertama antibiotik
|
Dehidrasi berat
|
Rencana terapi C
·
Kendalikan kadar glukosa
·
Antibiotik untuk kolera (edemis kolera)
|
Gizi buruk dan anemia
|
Beri satu dosis vitamin A tanpa menghiraukan status pemberian vitamin
A sebelumnya
|
Daftar
tindakan segera pra-rujukan (cukup dosis pertama)
·
Beri
antibiotik yang sesuai
·
Beri
kinin untuk malaria berat
·
Beri
vitamin A
·
Mulai
beri cairan IV untuk anak DBD dengan syok
·
Lakukan
tindakan untuk mencegah turunnya kadar gula darah
·
Beri
obat antimalaria oral
·
Beri
paracetamol untuk panas tinggi/nyeri akibat mastoiditis
·
Beri
salep mata tetrasiklin atau kloramfenikol
·
Beri
oralit sedikit demi sedikit dalam perjalanan ke rumah sakit
Jika
dibutuhkan rujukan anak
·
Jelaaskan
pentingnya rujukan dan minta persetujuan
·
Hilangkan
kekhawatiran
·
Tulis
surat rujukan
·
Beri
peralatan dan instruksi yang diperlukan pada ibu/pengantar untuk merawat selama
perjalanan.
2) Tata
Laksana Bayi Sakit (1-2 Minggu)
Menentukan Klasifikasi
Kondisi bayi
harus ditetapkan klasifikasi gangguan yang dialaminya
a)
Infeksi bakteri : mungkin infeksi bakteri yang serius, dan infeksi
bakteri lokal.
Penilaian
kemungkinan infeksi bakteri
·
Tanyakan
apakah bayi kejang
·
Hitung
pernafasan dalam 1 menit
·
Lihat
tarikan dinding dada
·
Lihat
pernafasan cuping hidung
·
Lihat
dan raba ubun-ubun
·
Lihat
cairan nanah dari telinga
·
Lihat
pusar
·
Ukur
suhu badan (tinggi atau rendah)
·
Lihat
adanya pustul di kulit
·
Amati
keadaan umum (letargi atau tidak sadar)
·
Lihat
gerakan bayi
b)
Diare : dehidarasi berat, dehidrasi ringan/sedang, tanpa dehidrasi, diare
persisten berat, atau mungkin disentri/gangguan saluran cerna.
Penilaian diare
|
|
Gejala
|
Klasifikasi
|
Terdapat 2 gejala atau lebih tanda :
-
Letargi atau tidak sadar
-
Mata cekung
-
Cubitan kulit perut kembali sangat lambat
|
Dehidrasi berat
|
Terdapat 2 atau lebih tanda :
-
Gelisah atau rewel
-
Mata cekung
-
Cubit kulit perut kembali lambat
|
Dehidrasi ringan/sedang
|
Tidak cukup adanya tanda-tanda untuk diklasifikasi
sebagai dehidrasi
|
Diare persisten berat
|
Diare berlangsung selama 14 hari atau lebih
|
Diare persisten berat
|
Ada daarah dalam tinja
|
Mungkin disentri atau gangguan saluran cerna
|
Jika bayi mengalami kesulitan minum, diberi ASI kurang
dari 8 kali dalam 24 jam, diberi minuman atau makanan lain selain ASI, berat
badan rendah menurut usia dan tidak ada indikasi untuk dirujuk segera ke rumah
sakit, lakukan penilaian pemberian ASI.
·
Tanyakan
apakah bayi telah diberi ASI beberapa jam sebelumnya.
·
Lihat
cara pemberian ASI
·
Apakah
bayi dapat melekat dengan baik (posisi dagu, mulut, bibir, dan areola [4
tanda])
·
Apakah
bayi menghisap dengan efektif
·
Bersihkan
hidung yang tersumbat
Tabel Klassifikasi masalah pemberian minum/ASI
Gejala
|
Klasifikasi
|
Tidak dapat minum atau Sama sekali tidak melekat pada payudara atau
tidak dapat menghisap sama sekali
|
Tidak dapat minum mungkin terjadi infeksi bakteri serius
|
Melekat kurang baik atau menghisap kurang efektif atau pemberian ASI
kurang dari 8 kali dalam 24 jam
|
Masalah pemberian minum atau berat badan rendah
|
Mendapatkan makanan atau minuman lain selain ASI atau berat badan
menurut usia rendah atau mendapat trush
(luka atau bercak di mulut)
|
|
Berat badan menurut usia rendah dan tidak ada tanda pemberian minum
yang kurang adekuat
|
Tidak ada masalah pemberian minum
|
Tindakan
Pra-rujukan
Beberapa
tindakan pra-rujukan meliputi :
·
Beri
dosis pertama antibiotik intramuskular;
·
Jika
menderita infeksi lokal, beri dosis pertama antibiotik oral;
·
Jaga
agar bayi tetap hangat;
·
Jaga
agar gula darah tidak turun
Tabel Pemberian Antibiotik Dosis Pertama
Berat badan
|
1 Kg
|
2 Kg
|
3 Kg
|
4 Kg
|
5 Kg
|
Gentamicin (vial 40 mg/ml)
|
0,10 ml
|
1,125 ml
|
0,20 ml
|
0,25 ml
|
0,30 ml
|
Penicilin prokain (vial 600 mg)
|
0,15 ml
|
0,33 ml
|
0,50 ml
|
0,66 ml
|
0,75 ml
|
Jika rujukan
tidak memungkinkan, beri penisilin prokain sekali sehari dan gentamisin tiap 12
jam sekali, diberikan selama 5 hari. Pemberiannya dengan spuit 1 ml. antibiotik
oral pilihan pertama adalah kontrimoksazol (hindari pemakaian pada bayi kurang
dari 1 bulan yang prematur atau kuning) dan pilihan kedua adalah amoksililin.
Tabel Pemberian Antibotik Oral
Usia
atau berat badan
|
Kontrimoksazol
(diberikan 2 kali sehari selama 5 hari)
|
Amoksisilin
(diberikan 3 kali sehari selama 5 hari)
|
||
Tabel dewasa
|
Tablet anak
|
Sirup 5 ml
|
Sirup 125 mg/ 5 ml
|
|
<4 minggu (<3Kg)
|
1/8
|
½
|
1,25 ml
|
1,25 ml
|
4 minggu–2 bln (3-4 Kg)
|
¼
|
1
|
2,5 ml
|
2,5 ml
|
Tindakan
Lanjut
a)
Pneunomia
Sesudah 2 hari
munculnya gejala, lakukan pemeriksaan untuk menentukan adanya tanda bahaya
umum, lakukan penilaian untuk batuk/sukar bernafas. Tanyakan apakah anak
bernafas dengan lambat, apakah nafsu makan anak membaik. Jika ada tanda bahaya
umum dan tarikan dinding dada, beri dosis pertama antibiotik pilihan kedua,
kemudian rujuk dengan segera. Jika frekuensi nafas atau nafsu makan tidak
menunjukkan perbaiakn, ganti dengan antibiotik pilhan kedua dan kembali 2 hari
kemudian. Jika nafas melambat atau nafsu makan membaik, lanjutan antibiotik
sampai 5 hari.
b) Diare
persisten
Setelah 5 hari
mulainya diare, jika belum berhenti, lakukan penilaian ulang lengkap, beri
pengobatan yang sesuai, dan lakukan rujukan. Jika diare berhenti, ajnurkan
pemberian makan yang sesuai dengan usia anak.
c) Disentri
Setelah 2 hari
munculnya gejala, tanyakan apakah diare berkurang, apakah jumlah darah dalam
tinja berkurang, apakah nafsu makan anak membaik. Jika dehidrasi, atasi
dehidrasi. Jika diare, jumlah darah dalam tinja atau nafsu makan
tetap/memburuk, ganti dengan antibiotik pilihan untuk shigella, dan kembali 2
hari kemudian (kecuali usia < 12 bulan, dehidrasi pada kunjungan pertama,
atau campak dalam 3 bulan terakhir,
harus dilakukan rujukan). Jika diare berkurang, jumlah darah berkurang
dan nafsu makan membaik, lanjutkan antibiotik hingga selesai.
d) Malaria
Malari yang dimaksud
disini adalah yang terjadi di daerah resiko tinggi atau resiko rendah. Jika
anak tetap demam sesudah 2 hari atau demam lagi dalam 14 hari, lakukan
penilaian ulang terhadap gejala utama untuk mencari penyebab lain dari demam.
Tindakan dilakukan jika ada tanda bahaya umum atau kaku kuduk, kondisi ini
harus diperlakukan sebagai penyakit berat dengan demam. Jika ada penyebab lain
dari demam, berikan pengobatan yang sesuai.
Jika malaria
merupakan satu-satunya penyebab demam periksa sedian darah yang sudah diambil
sebelumnya. Jika positif falsifarum atau adanya infeksi campuran, beri
antimalaria pilihan kedua. Jika tetap demam, lakukan rujukan. Jika posistif
untuk vivak, berikan klorokuin 3 hari + ¼ tablet primakuin perhari selama 5
hari. Jika negatif, lakukan rujukan untuk pemeriksaan lanjut. Jika anak tetap
demam selama 7 hari, lakukan rujukan untuk pemeriksaan lebih lanjut.
e) Demam
mungkin bukan malaria
Demma disini
yang terjadi di daerah resiko rendah malaria. Jika tetap demma setelah 2 hari,
lakukan penilaian ulang lengkap untuk tanda gejala utama dan mencari penyebab
lain. Tindakan dilakukan jika ada tanda bahaya seperti kaku kuduk, kondisi ini
diperlakukan sebagai penyakit berat dengan demam. Jika ada penyebba lain dari
demam, berikan pengobatan. Jika malaria merupakan satu-satunya penyebab demam,
ambil sediaan darah, beri obat antimalaria oral pilihan pertama tanpa menunggu
hasil sediaan darah, nasihatkan untuk kembali dalam 2 hari jika tetap demam.
Jika anak tetap demma selama 7 hari, lakukan rujukan untuk pemeriksaan lebih
lanjut.
f) Demam
bukan malaria
Demam ini yang
terjadi di daerah tanpa resiko malaria dan tidak ada kunjungan ke daerah
dfengan resiko malaria. Jika tetap demma setelah 3 hari, lakukan penilaian
ulang lengkap terhadap tanda gejala
utama untuk mencari penyebab lain. Tindakan yang dilakukan jika ada tanda umum
atau kaku kuduk, kondisi ini diperlakukan sebagai penyakit berat dengan demam.
Jika ada penyebab lain dari demam, berikan pengobatan sesuai klasifikasi. Jika
tetap demam selama 7 hari, rujuk untuk pemeriksaan
lebih
lanjut. Jika tidak diketahui penyebab demamnya, anjurkan untuk kembali dalam 2
hari. Jika tetap demam, pastikan bahwa anak mendapat tambahan cairan dan atau
makan.
g)
Campak
dengan komplikasi mata atau mulut.
Sesudah 2 hari munculnya gejala, perhatikan apakah
matanya merah dan ada nanah keluar dari mata? Apakah ada luka dimulut?
Bagaimana bau mulut? Pengobatan infeksi mata diberikan jika mata masih
bernanah. Jika pemberian obat sudah benar, lakukan rujukan, tetapi jika salah ajari
cara yang benar. Jika mata tidak bernanah dan tidak merah, hentikan pengobatan.
Pengobatan luka dimulut diberikan jika gejala memburuk dan tercium bau busuk.
Jika demikian, lakukan rujukan. Jika mulut tetap atau makin membaik, lanjutkan
pengobatan dengan gentian violet 0,25% sampai 5 hari.
h)
Demam
mungkin DBD dan bukan DBD
Jika tetap demam setelah 2 hari munculnya gejala, lakukan
penilaian ulang lengkap untuk mencari penyebab lain. Tindakan dilakukan jika
ada tanda umum atau kaku kuduk, kondisi ini diperlakukan sebagai penyakit berat
dengan demam. Jika penyebab lain, berikan pengobatan yang sesuai. Jika ada
tanda-tanda DBD, kondisi ini diperlukan sebagai DBD. Jika tetap demam selama 1
minggu, lakukan rujukan.
i)
Masalah
pemberian makan
Setelah 5 hari munculnya masalah, lakukan penialain
tentang cara pemberian makan. Nasihati ibu tentang masalah dalam pemberian
makanan yang mash ada atau baru dijumpai. Jika ada perubahan yang mendasar,
minta untuk kunjungan ulang. Jika berta badan
anak menurut usia sangat rendah, minta kembali setelah 4 minggu untuk
evaluasi berat badan.
j)
Masalah
pemberian minum
Setelah 2 hari munculnya masalah, lakukan penialaian
tentang cara pemberian minum. Beritahu ibu tentang masalah cara pemberian
minum. Jka berat badan rendah menurut usia, minta ibu melakukan kunjungan ulang
setelah 14 hari untuk evaluasi. Jika berat badan tidak rendah lagi, minta untuk
kembali 14 hari kemudianuntuk imunisasi dan lanjutkan evaluasi sampai berat
badan bertambah lagi. Tindakan juga dilakukan jika tidak yakin ada perubahan
cara pemberian minum atau berat badan terus turun.
k)
Anemia
Setelah 4 minggu munculnya gejala, beri zat besi
untuk 4 minggu berikutnya dan beri tahu untuk kembali 4 minggu kemudian. Jika
dalam 8 minggu masih pucat, rujuk untuk pemeriksaan lebih lanjut. Jika telapak
tangan sudah tidak pucat dalam 8 minggu, tidak diperlukan pengobatan tambahan.
l)
Infeksi
bakteri lokal
Setelah 2 hari munculnya gejala, perhatikan tali
pusat bayi, apakah merah atau keluar nanah? Apakah kemerahan meluas? Apakah
pustula makin banyakatau parah, jika demikian lakukan rujukan. Jika nanah dan
kemerahan membaik, lanjutkan antibiotik selama 5 hari.
m)
Luka/bercak
dimulut
Setelah 2 hari gejala thrush ini muncul, lakukan
penilaian tehadap luka di mulut. Jika bertambah parah atau bayi bermasalah
dengan menyusui, lakukan rujukan. Jika luka menetap atau mebaik dan bayi mau
menyusui dengan baik, lanjutkan dengan gentian violet 0,25 % sampai 5 hari.
Kartu
catatan kunjungan
Tanggal: 23/09/15 Suhu:39 0C
Berat badan 5,5 Kg
MALARIAN
:BATUK BUKA PNEUMONIA BGM
Pemberian makan: ASI 1 kali malam
hari, susu formula dalam botol pagi hari siang:sop + kentang dihaluskan
dengan kacang-kacangan.
Diberikan nasihat untuk mengganti susu
botol pagi hari dengan ASI sebelum ibu berangkat kerja. beri bubur nasi
antara pukul 9-10 pagi
|
2.2.
Pengkajian Data (Tanda/Gejala) Yang Sering Terdapat
Pada Form MTBS
Manajemen Terpadu Bayi
Muda (MTBM) sudah terintegrasi di dalam pendekatan Manajemen terpadu
Balita Sakit (MTBS),
maka bagan MTBM menjadi bagian dari bagan
MTBS. MTBM dan MTBS sudah diterapkan di
seluruh provinsi di Indonesia sehingga sudah menjadi milik
masyarakat. Banyaknya permintaan bagan MTBS (termasuk bagan MTBM)
oleh Dinas Kesehatan provinsi/kabupaten perlu dipenuhi sehingga
perkembangan penerapannya di lapangan tidak tersendat. Oleh karena
itu masyarakat dan tenaga kesehatan yang memerlukan dapat memperbanyak
bagan ini untuk meningkatkan kelancaran implementasi penerapannya di
Puskesmas, Polindes, Poskesdes, Klinik swasta, Rumah Sakit, dll.
Untuk setiap balita usia
2 bulan - 59 bulan yang diperiksa, hendaknya dicatat pada lembar 'Formulir
Balita Sakit Umur 2 Bulan Sampai 5 Tahun' seperti pada contoh di bawah
ini. Formulir ini disamping berfungsi sebagai status pasien, juga berfungsi
sebagai media pencatatan yang nantinya akan direkap kedalam buku register
MTBS. Petugas akan mengisi identitas pasien, penilaian, klasifikasi penyakit
serta tindakan/pengobatan yang diberikan.
KOHORT BALITA
Berbagai penelitian
epidemiologi menunjukkan bahwa dinegara sedang berkembang, terjadi prevalensi.
Infeksi H.Pylori dalam populasi tinggi dan infeksi sudah terjadi pada masa
anak-anak dan bahkan sejak bayi. Tinggi nya prevalensi H.Pylori sering kali
tidak disadari karena infeksi ini umumnya asimtomatik dan memerlukan sarana
diagnostik yang relatif mahal untuk mendiagnosisnya. Namun smapai sekarang
masih belum jelas yang menjadi sumber penularan terpenting bagi anak-anak
tersebut. Secara teoritis, sumber penularan tersebut daat berasal dari dalam
keluarga (mis: ayah, ibu, saudara) pengidap H.pylory dan dari keluarga
(tetangga), termasuk sanitasi lingkungan yang kurang baik. Di indonesia, belum
banyak dilakukan penelitian epidemiologi infeksi H.Pylori pada anak-anak yang
kejadiannya tinggi. Tindakan preventif yang ideal, murah dan mencakup
masyarakat luas adalah vaksinasi. Akan tetapi, vaksin sampai saat ini belum
tersedia.
Tujuan
umum penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor sumber penularan infeksi
H.Pylori pada anak-anak usia 0-5 tahun, sedangkan tujuan khusus penelitian ini
adalah untuk membeuktikan bahwa ibu, ayah, saudara pengidap infeksi H.Pylori,
higine dan sanitasi lingkungan berperan sebagai sumber penularanbagi anak-anak
balita. Ibu merupakan faktor resiko sumber infeksi pada anak balita yang dominan.
Hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa ibu, terutama yang menyusui
adalah orang yang paling dekat dan secara fisik paling erat serta paling lama
hubungannya dengan anak-anak balita. Dismaping itu, beberapahasil penelitian
lain menimbulkan dugaan bahwa ibu mungkin berperansebagai sumber infeksi
H.Pylori yang penting untuk anak-anaknya.
Penelitian
ini adalah suatu penelitian kohort observasional dengan melakukan observasi
minimal 6 bulan. Penelitian dilakukan dalam 2 tahap, yaitu tahap penelitian
pertama dan tahap kedua. Pada penelitian awal dilakukan pengambilan sampel
darah seluruh keluarga dan 213 keluarga yang mempunya anak balitayang seluruhnya
terdiri dari 969 individu. Pada pemeriksaan awal, ternyata ¾ orang diantaranya
didapat kan IgG anti-Hp positif,menunjukkan bahwa prevalensi infeksibH.Pylori
pada seluruh populasi yang diteliti adalah 68,6% dan prevalensi pada individu
dewasa sebesar 33%. Dari 213 anak balita yang diperiksa 101 orang didaptkan IgG
anti-Hp positif atau 47,4% dan 12 orang didaptkan IgG anti-Hp negativ atau 52,6
%. Pada penelitian 6 bulan kemudian, dari 112 orang anak anti-Hp negatif. Pada
pemeriksaan 6 bulan kemudian didapatkan 34 orang mengalami serokonversi positif
atau 30,4% dan 77 orang tetap IgG anti-Hp negatif. Artinya dalam waktu 6 bulan
pada anak-anak balita yang diteliti telah terjadi infeksi H.Pylori baru sebesar
30,4% dan 77 anak balita yang diteliti telah terjadi infeksi H.Pylori baru
sebesar 30,4%.
Dalam
penelitian ini, diedarkan uji validitas dan realibilitas yang telah dilakukan.
Uji normalitas sampel dilakukan menuurut Kolmogorov spirnov Z. Uji homogenitas
dilakukan dengan cara dari Levence. Uji
chi-kuadrat menurut personn dipakai untuk menghitung perbedaan antara variabel
bebas dan variabel tergantung. Uji diskriminan dilakukan terhadap ibu yang
menyusui dan tidak menyusui yang menderita infeksi H.Pylori atau tidak, yang
melakukan suap bersama atau tidak. Ayah,saudara, anggota keluarga lain yang
mengidap infeksi H.Pylori atau tidak, jenis fasilitas iar minum, jenis jamban,
jumlah anggota keluarga tiap kamar tidur, status sosio ekonomi keluarga,
tingkat pendidikan ibu, dan status gizi anak. Uji diskriminan juga dilakukan
terhadap adanya serokonversi positif dari IgG anti H-Pylori.
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi infeksi H.Pylori pada populasi yang
diteliti di surakarta tinggi, yaitu sebesar 38,6% pada seluruh populasi dan
sebesar 33,5% pada individu dewasa.. dalam populasi lain 47,4% dari balita
sudah terinfeksi. Infeksi baru pada kelompok ini 30,4% dalam waktu 6 bulan
lebih. Dalam penelitian ini, semua nggota keluarga yang terinfeksi dan
faktor-faktor lingkungan mempunyai potensi sebagai sumber infeksi. Sumber
infeksi yang dominan tidak dapat diidentifikasi karena besarnya peran sebagai
sumber infeksi berbeda secara tidak bermakna. Dalam hal ini,peran sumber
infekesi H.Pylori dari dalam keluarga
tidak lebih besar dibandingkan dari keluarga. Faktor risiko penularan
tidak dapat ditentukan karena sumber infeksi ada dimana-mana. Fenomena ini
berlaku dinegara-negara dengan prevalensi infeksi H.Pylori yang tinggi.
Ternyata tidak terbutki bahwa ibu yang terinfeksiH.Pylori baik yang menyusui
atau tidak, baik yang melakukan suap bersama atau tidak, merupakan faktor
risiko sumber infeksi H.Pylori yang berbeda tak bermakna. Artinya, peran ibu
tidak lebih besra daripada ayah maupun saudara yang terinfeksi H.Pylori.
demikan pula sumber air minum, kondisi sosial, tingkat kepadatan kamrar tidur,
dan tingkat pendidikan ibu merupakan faktor risiko sebagai sumber infeksi
H.Pylori pada balita yang tidak berbeda secara bermakna dengan faktor resiko
lain. Disarnkan untuk melakukan penyuluhan kesehatan, khususnya masalah infeksi
H.Pylori, yaitu akibat infeksi, sumber penularan dan cara menghindari infeksi
H.Pylori dengan mencuci tangan sebelum makan maupun menyuap, memasak air minum,
dan vaksinasi masal bila tersedia vaksin.
A. BATASAN DAN INDIKATOR
PEMANTAUAN
Dalam
penerapan PWS KIA, diapai batasan operasional dan indikator pemantauan seperti
diuraikan berikut ini:
·
Pelayanan antenatal. Pelayanan antenatal
adalah pelayanan kesehatan oleh tenaga profesional untuk ibu selama masa
kehamilannya, yang dilaksankan sesuai standar pelayanan antenatal yang
ditetapkan.
·
Penjaringan (deteksi) dini kehamilan
beresiko. Kegiatan ini bertujuan menemukan ibu hamil beresiko, yang dapat
dilakukan oleh kader, dukun bayi, dan tenaga kesehatan.
·
Kunjungan
Ibu Hamil, maksudnya adalah kontak ibu hamil dengan tenaga
profesional untuk mendapatkan pelayananan antenatal sesuai standar yang ditetapkan.
·
Kunjungan
baru ibu hamil (K1), maksudnya adalah kunjungan pertama
kali ibu hamil pada masa kehamilan
·
Kunjungan
ulang, maksudnya adalah kontak ibu hamil dengan tenaga
profesional yang kedua dan seterusnya untuk mendapatkan pelayanan antenatal
sesuai standar selama satu periode kehamilan berlangsung.
·
K4,
maksudnya adalah kontak ibu hamil dengan tenaga profesional yang keempat atau
lebih. Untuk mendapatkan pelayanan sesuai standar yang ditetapkan, syaratnya
minimal melakukan satu kali kontak pada triwulan 1, minimal satu kali kontak
pada triwulan 2, dan minimal dua kali pada triwulan 3.
·
Cakupan
K1,
maksudnya adalah persentaseibu hamil di suatu wilayah, dalam kurun waktu
tertentu, yang mendapatkan pelayananan antenatal sesuai standar paling sedikit
satu kali selama kehamilan.
·
Cakupan
ibu hamil (Cakupan K4), maksudnya adalah persentase ibu hamil
di suatu wilayah, dalam kurun waktu tertentu, yang mendapatkan pelayanan
antenatal sesuai standar paling sedikit empat kai, dengan distribusi pemberian
pelayanan minimal satu kali pada triwulan pertama, satu kali pada triwulan
kedua, dan dua kali pada triwulan ketiga.
·
Sasaran
Ibu Hamil, sasaran ibu hamil adalah semua ibu hamil di suatu
wilyah dalam kurun waktu satu tahun.
·
Cakupan
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, maksudnya
adalah persentase ibu hamil di suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang
ditolong persalinanannya oleh tenaga profesional.
·
Cakupan
penjaringan ibu hamil beresiko oleh masyarakat,
maksudnya adalah perentase ibu hamil beresiko yang ditemukan oleh kader dan
dukun bayi, yang kemudian dirujuk ke puskesmas/ tenaga profesional dalam kurun
waktu tertentu.
·
Cakupan
penjaringan ibu hamil beresiko oleh tenaga kesehatan,
maksudnya adalah persentase ibu hamil beresiko yang ditemukan oleh tenaga profesional,
yang ditindak lanjuti (dipantau secara intensif dan ditangani sesuai kewenangan
dan/ atau dirujuk ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi) dalam kurun waktu
tertentu.
·
Ibu
hamil beresiko, maksudya adalah ibu hamil yang
mempunyai faktor resiko tinggi kecuali ibu hamil normal.
·
Cakupan
pelayanan neonatus ( Cakupan K1 Neonatus ), maksudnya
adalah persentase bayi pada usia neonatus
(kurang dari satu bulan) yang memperoleh pelayanan kesehatan minimal
satu kali dari tenaga professional dalam kurunwaktu tertentu
B. Pengisian Kohort Ibu
Register
Kohort Ibu merupakan sumber data pelayanan ibu hamil dan bersalin, serta
keadaan resiko yang dimiliki ibu. Petunjuk pengisian Register Kohort Ibu.
Kolom
:
1. Diisi
nomor urut
2. Diisi
nomor indeks dari family folder SP2TP
3. Diisi
nama ibu hamil
4. Diisi
nama suami ibu hamil
5. Diisi
alamat ibu hamil
6. Diisi
usia ibu hamil yang sebenarnya dengan
7. Angka,
misalnya usia 23 tahun diisikan pada
8. Kolom
7
9. Diisi
usia kehamilan ibu pada kunjungan pertama
10. Dengan
angka, misalnya 20 minggu
11. Pada
kolom 10
12. Diisi
jumlah kehamilan yang pernah dialami oleh
13. Ibu
yang bersangkutan, misalnya kehamilan
14. Ke
– 4, diisikan angka 4 pada kolom 13
15. Diisikan
tanggal ditemukan ibu dengan berat badan kurang dari 45 kg pada trimester II
16. Diisi
tanda (√) bila tinggi badan ibu < 145 cm
17. Diisi
tanggal ditemukan ibu hamil dengan Hb < 8gr%
18. Diisi
tanggal ditemukan ibu hamil dengan tekanan darah 160/9r mmHg
19. Diisi
tanggal ditemukan ibu hamil dengan resiko tinggi
20. NK=
Non Kesehatan, K = Kesehatan
21. Diisi
tanda (√) bila jarak kehamilan <2 tahun
22. Atau
> 2 tahun
23. Diisi
tanggal ibu hamil mendapat imunisasi TT1
24. TT2
dan
25. TT
ulang
26. –
49. Diisi tanggal pada bulan yang
sesuai dengan kunjungan ibu hamil dengan kode
O untuk K1
# untuk K4
. untuk persalinan
+ untuk kematian ibu
Contoh : K4 pada tanggal 21 Januari, dituliskan 21 #
pada kolom 26 dan 38
50. Diisi
tanda ( x ) sesuai pertolongan persalinan TK (tenaga kesehatan)
51. DT
(Dukun terlatih)
52. DTT
(Dukun tidak terlatih)
53. Diisi
tanggal kelahiran
54. LH
(Lahir Hidup)
55. LM
(Lahir Mati)
56. Diisi
tanda lidi setiap kali kunjungan, selama masa nifas (diharapkan 2 kali
kunjungan)
57. Diisi
tanda lidi setiap kali kunjungan, selama periode masa nifas sampai 2 tahun
(diharapkan minimal 4 kali kunjungan setiap tahun)
58. Diisi
hal lain yang dianggap penting untuk ibu hamil yang bersangkutan.
C. REGISTER KOHORT BAYI
Register
kohort bayi merupakan sumber data pelayanan kesehatan bayi, termasuk neonatus.
Petunjuk pengisisn Kohort Bayi.
Kolom
:
1. Diisi
nomor urut
2. Diisi
nomor indeks dari family folder SP2TP
3. –
7. Jelas
8. Diisi
angka dalam gram berat badan bayi yang baru lahir (BBL)
9. Diisi
tanggal kunjungan tenaga kesehatan yang
10. Memeriksa
bayi tersebut
11. Dan,
ditulis AE1 (Asi Eksklusif bulan
pertama)
12. Diisi
tanggal dan kode berat badan bayi yang ditimbang :
N = Naik, T = Turun, R = Bawah
garis titik (BGT), # = dibawah garis merah (BMG)
23. Kolom
12, 13, 14 berturut turut ditulis AE 2, 3, 4 ( Asi Ekslusif bulan ke-2, ke-3,
ke- 4)
33. Diisi
diagnosis penyakit penyebab kematian bayi selain tetanus, ISPA, dan diare
34. Diisi
hal lain yang dianggap penting untuk bayi yang bersangkutan.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan
indikator penting untuk menilai tingkat kesejahteraan suatu Negara dan status
kesehatan masyarakat. Dalam salah satu upaya untuk kesehatan ibu dan anak
maka setiap ibu hamil di suatu daerah dicatat agar resiko – resiko yang dapat
terjadi dapat dideteksi lebih dini lagi yang disebut register kohort
dan MTBS. Register kohort
adalah sumber data pelayanan ibu hamil, ibu nifas, neonatal, bayi dan balita.
Register kohort ibu merupakan sumber data pelayanan ibu hamil dan bersalin,
serta keadaan/resiko yang dipunyai ibu yang di organisir sedemikian rupa yang
pengkoleksiaannya melibatkan kader dan dukun bayi diwilayahnya setiap bulan sedangkan kohort
Bayi merupakan
sumber data pelayanan kesehatan bayi, termasuk neonatal.
Pada Manajemen Terpadu Balita Sakit dapat
dipergunakan pada balita sakit dimana sebagian besar balita sakit yang dibawa berobat
ke Puskesmas, keluhan tunggal kemungkinan jarang terjadi, menurut data WHO,
tiga dari empat balita sakit seringkali memiliki banyak keluhan
lain yang menyertai dan sedikitnya menderita 1 dari 5 penyakit tersering
pada balita yang menjadi fokus MTBS. Pendekatan MTBS dapat mengakomodir hal ini
karena dalam setiap pemeriksaan MTBS, semua aspek/kondisi yang sering
menyebabkan keluhan anak akan ditanyakan dan diperiksa.
Menurut laporan Bank Dunia (1993), MTBS merupakan jenis intervensi
yang cost effective yang memberikan dampak terbesar pada beban
penyakit secara global. Bila Puskesmas menerapkan MTBS berarti turut
membantu dalam upaya pemerataan pelayanan kesehatan dan membuka akses bagi
seluruh lapisan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang terpadu.
3.2.Saran
Untuk tenaga kesehatan
khususnya seorang bidan, alangkah baiknya untuk menerapkan register kohort
dan MTBS di setiap pelayanan
kebidanannya. Agar resiko – resiko yang dapat terjadi pada ibu,
bayi dan balita dapat dideteksi lebih dini.
No comments:
Post a Comment