BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penyakit Menular
Seksual (PMS) adalah penyakit yang penularannya melalui hubungan seksual. Sejak
tahun 1998, istilah STD mulai berubah menjadi STI (sexually Transmitted
Infection) agar dapat menajngkau penderita asimptomatik.. Infeksi menular
seksual (IMS) disebut juga sebagai penyakit menular seksual (PMS) yang
ditularkan melalui hubungan seksual baik dengan pasangan yang sudah tertular,
maupun mereka yang sering berganti – ganti pasangan. Infeksi menular ini
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menonjol disebagian besar wilayah
dunia. Penyakit menular seksual merupakan masalah besar dalam kesehatan
masyarakat di negara berkembang , dimana penyakit IMS membuat individu rentan
terhadap infeksi HIV. Menurut WHO (2009) terdapat 30 jenis mikroba (bakteri,
virus dan parasit) yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual Cara penularan
penyakit IMS ini melalui hubungan seksual dan diikuti dengan prilaku yang
menempatkan individu dalam resiko mencapai HIV, seperti mereka yang berprilaku bergantian pasangan seksual dan
tidak konsisten menggunakan kondom (Badan Narkotika Nasional, 2004).
WHO memperkirakan
setiap tahun terdapat 350 juta penderita baru penyakit IMS di negara berkembang
seperti Afrika, Asia, Asia Tenggara, Amerika Latin. Jutaan IMS oleh virus juga
terjadi setiap tahunnya , diantaranya HIV, virus herpes, human papiloma virus,
virus hepatitis B (WHO, 2007). Peningkatan insiden infeksi menular seksual
(IMS) dan penyebarannya diseluruh dunia tidak dapat diperkirakan secara tepat.
Data dari profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan tahun 2012
didapatkan total kasus IMS yang ditangani pada tahun 2012 sebanyak 140.803
kasus dari 430 layanan IMS. Jumlah kasus IMS terbanyak berupa cairan vagina
abnormal (klinis) 20.962 dan servicis
(lab) 33.025 IMS merupakan salah satu pintu masuk atau tanda – tanda
terjadinya HIV (Kemenkes, 2013).
Dari data Ditjen
PP & PI, jumlah kasus baru penderita AIDS hingga Desember 2014 sebanyak
5.494 kasus. Dan jumlah kasus baru infeksi HIV tahun 2014 sebanyak 32.711 kasus
(Kemenkes RI, 2015).
IMS dapat
meningkatkan gejala akut, infeksi kronis, dan konsekuensi serius seperti
infertilitas, kehamilan ektopik, kanker leher rahim, dan kematian mendadak pada
bayi dan orang dewasa . Jenis IMS di Indonesia yang paling banyak ditemukan
adalah gonore, sifilis, dan infeksi klamidia. Prevalensi IMS tertinggi di
Indonesia ditemukan dikota Bandung , yakni dengan prevalensi infeksi gonore
sebanyak 37,4% (Dini, 2010).
Pola infeksi
mengalami perubahan, misalnya infeksi Klamidia, Herpes genital dan kondiloma
akuminata di beberapa negara cenderung meningkat dibandingkan dengan uretritis
gonorea dan sifilis. Beberapa penyakit sudah resisten terhadap antibiotika
misalnya munculnya galur multiresisten Neisseria Gonorheae, Haemophylus ducreyl
dan Trichomonas vaginalis yang resisten terhadap antibiotik metronidazole (Fahmi dkk, 2014).
Kejadian IMS masih
menjadi permasalahan sehingga perlu ada pencegahan guna menekan angka kejadian
IMS dan menurunkan angka morbiditas. Dari beberapa tindakan pencegahan yang
ada, pemakaian kondom saat berhubungan seksual merupakan alternatif yang harus
dipertimbangkan karena terbukti efektif mencegah penyakit yang ditularkan
melalui hubungan seksual.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Penyakit Menular Seksual
Penyakit menular
Seksual adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Penyakit
menular seksual akan lebih beresiko bila melakukan hubungan seksual dengan
berganti – ganti pasangan baik melalui vagina, oral maupun anal (Sjaiful, 2007)
Infeksi Menular
Seksual (IMS) didefenisikan sebagai penyakit yang disebabkan karena adanya
invasi organisme virus, bakteri, parasit dan kutu kelamin yang sebagian besar
menular melalui hubungan seksual , baik yang berkelainan jenis ataupun sesama
jenis. (Aprilianingrum, 2002)
Infeksi Menular
Seksual (IMS) adalah berbagai infeksi yang dapat menular dari satu orang ke
orang yang lain melalui kontak seksual. Terdapat lebih kurang 30 jenis
mikroba(bakteri, virus, dan parasit) yang ditularkan melalui hubungan seksual.
Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorhea, chlamydia,
sifilis, trichomoniasis, chancroid, herpes genital, infeksi human
immunideficiency virus (HIV), dan hepatitis B. HIV dan sifilis juga dapat
ditularkan dari ibu ke anaknya selama kehamilan dan kelahiran, dan juga melalui
darah serta jaringan tubuh (WHO, 2009).
Penyakit menular seksual (PMS) merupakan sekelompok
penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme yang dapat menimbulkan gangguan
pada saluran kemih dan reproduksi. Ibu hamil merupakan kelompok resiko tinggi
terhadap PMS. Melakukan pemeriksaan konfirmatif dengan tujuan untuk mengetahui
etiologi yang pasti tentang ada atau tidaknya penyakit menular seksual yang
diderita ibu hamil, sangat penting dilakukan karena PMS dapat menimbulkan
morbiditas dan mortalitas baik kepada ibu maupun bayi yang dikandung/dilahirkan
(Yulifah,dkk, 2009).
B.
Etiologi Penyakit Menular Seksual
Menurut Handsfield (2011), penyakit Menular seksual dapat
diklasifikasikan berdasarkan agen penyebabnya, yakni :
1.
Dari
golongan bakteri , yakni Neiserria
Gonorheae, Treponema Pallidum, Chlamydia Trachomatis, Ureaplasma Urealyticum,
Mycoplasma Hominis, Gordneralla vaginalis, Salmonella sp, Shigella sp,
Campylobacter sp, Streptococus group B, Mobililuncus sp
2.
Dari
golongan protozoa, yakni Trichomonas
vaginalis, Entamoeba histolyticia, Giardia lamblia
3.
Dari
golongan virus, yakni Human
Immunodeficieny Virus (tipe 1 dan 2), Herpes
simpleks virus (tipe 1 dan 2), Human
papiloma Virus (HPV), Cytomegalovirus,
Epstein-barr virus, Molluscum contagiosum virus
4.
Dari
golongan ektoparasit yakni Phthirus pubis
dan Sarcoptes Scabei
C.
Penularan Penyakit Menular Seksual
Menurut Handsfield (2011) cara penularan Penyakit Menular
Seksual ini terutama melalui hubungan seksual yang tidak terlindungi, baik
pervaginal, anal, maupun oral. Cara penularan lainnya secara perinatal yaitu
dari ibu ke bayinya , baik selama kehamilan saat kelahiran ataupun setelah
lahir. Bisa melalui transfuse darah atau kontak langsung dengan cairan darah atau
produk darah. Dan juga bisa melalui penggunaan pakaian dalam atau handuk yang
telah dipakai oleh penderita penyakit menular seksual.
Perilaku seks yang dapat mempermudah penularan PMS adalah
:
-
Berhubungan
seks tidak aman (tanpa menggunakan kondom)
-
Berganti
– ganti pasangan seks
-
Prostitusi
-
Melakukan
hubungan seks anal (dubur) , perilaku ini menimbulkan luka atau radang karena
epitel mukosa anus relatif tipis dan lebih mudah terluka dibanding epitel
dinding vagina
-
Pengunaan
pakaian dalam atau handuk yang telah dipakai penderita PMS
Menurut Somelus (2008), Cara lain seseorang dapat tertular
PMS juga melalui :
-
Darah
Dari tansfusi darah yang terinfeksi, menggunakan jarum suntik bersama, atau benda tajam lainnya ke bagian tubuh untuk menggunakan obat atau membuat tato.
Dari tansfusi darah yang terinfeksi, menggunakan jarum suntik bersama, atau benda tajam lainnya ke bagian tubuh untuk menggunakan obat atau membuat tato.
-
Ibu hamil kepada bayinya
Penularan selama kehamilan, selama
proses kelahiran. Setelah lahir, HIV bisa menular melalui menyusui.
-
Tato dan tindik Pembuatan tato di
badan, tindik, atau penggunaan narkoba memberi sumbangan besar dalam penularan HIV/AIDS.
Sejak 2001, pemakaian jarum suntik yang tidak aman menduduki angka lebih dari
51 % cara penularan HIV/AIDS.
D.
Perubahan yang terjadi masa kehamilan
ü
Perubahan imonologik
Selama kehamilan terjadi supresi imunokompetensi ibu yang dapat mempengaruhi terjadinya
berbagai penyakti infeksi. Sufresi system imun akan semakin meningkat seiring
dengan berlanjutnya usia kehamilan, serta mempengaruhi perjalanan penyakit
infeksi genital. Kandidosis pada perempuan hamil lebih sering dijumpai dan
dapat lebih parah jika dibandingkan dengan perempuan tidak hamil.Demikian pula
dengan kondiloma akuminata dan herpes genital.Limfosit T jumalhnya berkurang
dalam sampel darah tepi perempuan hamil, tetapi tidak demikian halnya dengan
limfosit B. pengurangan maksimal CD4+ limfosit T terjadi pada trimester ketiga.
Pada sejumlah besar perempuan yang
dievaluasi selama dan setelah kehamilan, tampak gangguan dalam resfons
transmisi limfosit secara in vitro terhadap sejumalh antigen mikroba selama
kehamilan. Proliferasi limfosit in vitro secara bermakna lebih rendah selama
kehamilan diabndingkan periode pascapartus, dan secara bermakna juga lebih
rendah pada perempuan hamil di
bandingkan dengan perempuan tidak hamil.
ü
Perubahan anatomi
Anatomi saluran genital sangat
berubah pada saat kehamilan.Dinding vagina menjadi hipertrofik dan penuh darah.Serviks
mengalami hipertrofi, dan semakin
luas daerah epitel kolumnar pada ektoserviks yang terpajan
mikroorgansme.Perluasan ektopi serviks selama kehamilan mengakibatnkan mudahnya
infeksi serviks atau re lanut. Serviks aktivasi laten. Namun hal tersebut belum
diteliti lebih lanjut. Serviks akan mengsekresikan mucus yang sangat kental
selama kehamilan, membentuk mucus plug. Mucus ini umunya dianggap sebagai
pengahalang jalanya mikrorganisme menuju uterus.
ü
Perubahan flora mikribial
servikovaginal
Flora vagina merupakan ekosistem
heterogen untuk bebagai bakteri anaerob dan bakteri fakultatif anaerob.Beberapa
penelitian menemukan, bahwa selama kehamilan, sejumlah spesies bakteri yang
terdapat di dalam vagina terutama spesies anaerob berkurang, prevalensi dan
kuantitas laktobasilus bertambah, sedangkan bakteri fakultatif lainnya tidak
berubah.Diduga mekanisme yang menyebabkan perubahan tersebutadalah pH vagina,
kandungan glikogen, dan vakularisasi genital bagian bawah.
E.
Tanda dan Gejala
Penyakit Menular Seksual :
1.
Keluar
cairan / keputihan yang tidak normal dari vagina atau penis. Pada wanita
terjadi peningkatan keputihan. Warnanya bisa menjadi lebih putih , kekuningan ,
kehijauan, kemerahan dan memiliki bau
yang tidak sedap.
2.
Pada
pria rasa panas seperti terbakar atau sakit selama atau setelah kencing ,
biasanya disebabkan oleh PMS. Pada wanita beberapa gejala dapat disebabkan oleh
PMS tapi juga disebabkan oleh infeksi kandung kencing yang ditularkan melalui
hubungan seksual.
3.
Rasa
sakit atau nyeri pada saat buang air kecil atau berhubungan seksual
4.
Rasa
nyeri pada perut bagian bawah yang muncul dan hilang dan tidak berhubungan
dengan menstruasi
5.
Keputihan
berwarna putih susu, bergumpal dan disertai rasa gatal dan kemerahan pada alat
kelamin atau sekitarnya
6.
Keputihan
yang berbusa , kehijauan, berbau busuk dan gatal
7.
Timbul
bercak – bercak darah setelah berhubungan seks
8.
Pembengkakan
kelenjar getah bening di bagian selangkanagan
9.
Demam,
lemah, kulit menguning dan rasa nyeri disekujur tubuh
10. Pada wanita keluar darah dari vagina di luar periode
menstruasi
11. Tonjolan kecil (papule), lecet pada alat kelamin
F.
Penatalaksanaan PMS
Menurut WHO (2003) penanganan pasien infeksi menular
seksual terdiri dari dua cara, yaitu berdasarkan kasus (case managemenet) atau dengan penanganan beradasarkan sindrom (syndrome maangement). Penanganan
berdasarkan kasus yang efektif tidak hanya berupa pemberian terapi antimikroba
untuk menyembuhkan dan mengurangi infektifitasmikroba, tetapi juga diberikan
perawatan kesehatan reproduksi yang komprehensif. Sedangkan penanganan
beradasarkan sindrom didasarkan paad identifikasi dari sekelompok tanda dan
gejala yang konsisten dan penyediaan pengobatan untuk mikroba tertentu yang
menimbulkan sindrom. Penanganan infeksi menular seksual yang ideal adalah
penanganan berdasarkan mikroorganisme
penyebabnya. Namun, dalam kenyataannya penderita infeksi menular seksual
selalu diberi pengobatan secara empris (Murtiastustutik, 2008).
Antibiotik
untuk pengobatan IMS adalah :
1.
Pengobatan
gonorhea : penisilin, ampisilin, amoksisilin, seftriakson, spektinomisisn,
kuinolon, tiamfenikol, dan kanamisisn (Daili, 2007)
2.
Pengobatan
sifilis : penisilin, sefalsoforin, termasuk sefaloridin, tetrasiklin,
eritromisin, dan klramfenikol
3.
Pengobatan
herpes genital : asiklovir, famsiklovir, valasiklofir, (Wells et all, 2003)
4.
Pengobatan
Klamidia : azithromisin , doksisiklin, eritromisisn, (Wells et all. 2003)
5.
Pengobatan
Trikomoniasis : metronidazol
G.
Klasifikasi Penyakit Menular Seksual
1.
Sifilis
Sifilis disebabkan
oleh Treponema pallidum, yaitu sejenis bakteri yang berbentuk spiral.Penularan
bisa terjadi melalui tranfusi darah bila donor berada dalam tahap awal infeksi
tersebut. (Hutapea, 2005) Infeksi bisa ditularkan dari seorang ibu yang
terinfeksi kepada bayinya yang belum lahir.
Sifilis yang terkait
dengan kehamilan adalah sifilis congenital. Merupakan penyakit yang didapatkan
janin dalam uterus dari ibu yang menderita sifilis. Infeksi sifilis terhadap
janin dapat terjadi pada setiap stadium sifilis dan setiap masa
kehamilan.Dahulu dianggap infeksi tidak dapat terjadi sebelum janin berusia 18
minggu, karena lapisan Langhans yang merupakan pertahanan janin terhadap
infeksi masih belum atrofi. Tetapi ternyata dengan mikroskop elektron dapat
ditemukan Treponema pallidum pada janin berusia 9-10 minggu. (Arifin, 2010)
Sifilis kongenital dini merupakan gejala sifilis yang muncul pada dua tahun
pertama kehidupan anak, dan jika muncul setelah dua tahun per tama kehidupan
anak disebut dengan sifilis kongenital lanjut.
Risiko sifilis kongenital
berhubungan langsung dengan stadium sifilis yang diderita ibu semasa kehamilan.
Lesi sifilis kongenital biasanya timbul setelah 4 bulan in utero pada saat jan
in sudah dalam keadaan imunokompeten. Penularan in utero terjadi
transplasental, sehingga dapat dijumpai Treponema pallidum pada plasenta, tali
pusat, serta cairan amnion.Treponema pallidum melalui plasenta m asuk ke dalam
peredaran darah janin dan menyebar keseluruh jaringan. Kemudian berkembang biak
dan menyebabkan respons peradangan selular yang akan merusak janin. (Ahmad,
2009) Kelainan yang timbul dapat bersifat fatal sehingga terjadi abortus atau lahir mati atau
terjadi gangguan pertumbuhan.Sifilis kongenital merupakan salah satu komplikasi sifilis yang
berat. Akibat langsung penyakit ini terhadap janin antara lain: kematian janin
dalam kandungan, partus prematurus, dan partus immaturus. Gejala yang ditemukan
pada sifilis kongenital adalah: (Ahmad, 2009; Huta pea, 2005)
Sampai saat ini, penisilin masih menjadi obat
pilihan sifilis. Obat ini aman digunakan bagi ibu hamil serta bayi dan efektif
untuk semua stadium sifilis. Bagi pasien yang alergi dengan obat golongan
penisilin, maka diberikan antibiotik alternatif lain seperti doksisiklin,
eritromisin dan azitromisin. Setelah terapi dengan antibiotik, terkadang pasien
mengalami reaksi yang disebut reaksi Jarish-Herxheimer. Reaksi tersebut
biasanya muncul antara 1-12 jam setelah penyuntikan penisilin pertama. Umumnya
reaksi akan berakhir dalam 6-12 jam. Pada ibu hamil, reaksi dapat meningkatkan
kontraksi rahim dan risiko merangsang persalinan. Sehingga pada kasus tersebut,
pengawasan kontraksi rahim dan kondisi janin sangat dianjurkan post pemberian
penisilin.
Klasifikasi penyakit sifilis pada ibu hamil
ditandai dengan beberapa tahap, yaitu:
a.
Stadium I
Ditandai oleh timbulnya luka yang kemerahan dan
basah di daerah sekitar vagina, dan usus. Luka ini disebut chancre, yang akan
muncul di tempat Treponema pallidum masuk ke tubuh untuk pertama kalinya.
Terjadi pembengkakan kelenjer getah bening dan setelah beberapa minggu, chancre
tersebut akan menghilang dengan sendirinya.
b.
Stadium II
Apabila penyakit stadium satu tidak segera diobati
akan lanjut pada stadium lanjut pada stadium 2, biasanya para penderita akan
mengalami ruam, khususnya ditelapak tangan dan kaki. Selain itu juga dapat
ditemukan adanya luka-luka di bibir, mulut, tenggorokan, vagina, dan dubur.
Gejala yang mirip flu juga mungkin ditemukan ada stadium ini yang berlangsung
selama 1-2 minggu
c.
Stadium III
Jika penyakit sifilis pada ibu hamil stadium II
tidak dilakukan pengobatan, para penderita akan mengalami sifilis laten. Pada
tahap ini erarti semua gejala akan menghilang dengan sendirinya, namun
sebenarnya penyakit sifilis terus bersarang dalam tubuh dan akan berlangsung
selama bertahun-tahun.
d.
Stadium IV
Pada ibu hamil, stadium ini disebut stadium
tersier, dimana bakteri Treponema pallidum telah menyebar keseluruh tubuh dan
dapat merusak jaringan otak, jantung, batang otak dan tulang. Pada ibu yang
menderita sifilis pada stadium ini akan menyebabkan cacat primer pada janin
hingga menyebabkan kematian janin.
2.
Gonorhea
Gonorea atau di kalangan
masyarakat umum dikenal dengan nama GO adalah penyakit menular seksual yang
disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhea. (Daili, 2005).Pada wanita, GO sering
tidak menimbulkan gejala apapun sehingga sering luput dari diagnosis dokter.
Hal ini menyebabkan seorang wa nita pengidap GO tidak menyadari dirinya terinfeksi
lalu menularkannya keorang lain. (Ahmad, 2009)
Gonore dalam
kehamilan biasanya dijumpai dalam bentuk menahun dan 60-80% kasus adalah
asimptomatik sehingga penderita tidak menyadari penyakitnya.Namun, dapat pula
terjadi peningkatan gejala selama kehamilan misalnya kolpitis dan
vulvitis.Dapat pula disertai oftalmia neonatorum yang menjadi petunjuk awal
bahwa ibu menderita gonorea. (Ahmad, 2009; Daili, 2005) Adanya poliartritis
pada trimester II atau III harus dipikirkan adanya artritis gonoroika.Apabila
terjadi infeksi dalam kehamilan lebih dari 4 minggu, perjalanan penyakit tidak
berbeda dengan infeksi gonorea di luar kehamilan.Diagnosis gonorea akut dalam
kehamilan tidak sulit bila ditemukan adanya gejala-gejala klinis seperti
disuria, uretritis, servisitis, fluor albus seperti nanah encer agak kuning
atau kuning-hijau, dan kadang- kadang bartholinitis akut atau vulvokolpitis.
Petunjuk lain adalah hasil pemeriksaan laboratorium dengan sediaan apus getah
urethra atau serviks deng an pewarnaan methylene blue atau Gram , menunjukkan
banyak diplokokus intra dan ekstraselular. Apabila hasilnya meragukan,
sebaiknya dilakukan kultur. (Ahmad, 2008)
Gonore dapat
ditularkan melalui kontak dengan cairan tubuh yang terinfeksi. Wanita yang
sedang hamil dan menderita gonore dapat menularkan infeksi tersebut pada
bayinya selama persalinan.
Jika gonore pada
wanita hamil tidak diobati, berbagai komplikasi akan muncul, antara lain
kemungkinan keguguran, persalinan prematur, air ketuban pecah sebelum waktunya, infeksi pada lapisan dinding dalam rahim (endometritis),
aborsi spontan, dan kehamilan ektopik (kehamilan di luar rahim).
Sedangkan bayi yang
lahir dari ibu dengan gonore berpotensi tertular dan kemungkinan terserang
penyakit seperti pink eye (konjungtivitis), infeksi pada aliran
darah (sepsis), radang
sendi (arthritis),
infeksi kulit kepala, infeksi pada cairan dan jaringan yang mengelilingi otak
dan sumsum tulang belakang (meningitis),
sampai yang penyakit lebih berat yaitu bayi mengalami kebutaan. Gejala gonore
pada bayi yang terinfeksi biasanya muncul 2-5 hari setelah dilahirkan.
Konjungtivitis
gonoroika neonatorum (gonoblenorrhea neonatorum) bukan merupakan penyakit
kongenital, tetapi infeksi yang terjadi selama persalinan, saat kepala janin
melewati jalan lahir dan mata bayi berse ntuhan dengan bagian-bagian yang
terinfeksi gonokokus. Pengobatan dengan penisilin biasanya memberikan hasil yang
memuaskan, kecuali dalam kasus-kasus yang resisten. Pemberian prokain penisilin
G dalam aquadest sebanyak 4,8 juta IU intramuskular, diberikan dalam dosis
tunggal. Dapat pula di berikan ampisilin per oral 3,5 gram dosis tunggal. Apabila
penderita tidak tahan penisilin, dapat diberikan eritromisin 4 kali sehari 0,5
gram selama 5-10 hari; atau kana misin 2 gram im dalam dosis tunggal. Setiap
pengobatan harus memperhatikan adanya infeksi genital lain seperti sifilis dan
klamidia. (Daili dkk, 2010) Pemeriksaan klinis dan laboratorium perlu diulang 3
hari atau lebih setelah pengobatan selesai. Apabila terjadi kekambuhan maka
penderita harus diobati lagi dengan dosis 2 kali lipat. Untuk mencegah
gonoblenorea pada neonatus, maka semua neonatus kedua matanya diberi salep
eritromisin atau klorom isetin.Seorang ibu dengan gonorea tetap dapat menyusui
bayinya.
3.
Chlamydia
Bakteri chlamydia trachomatis merupakan penyebab terjadinya penyakit
chlamydia yang ditularkan oleh orang yang terjangkit melalui hubungan seksual
tanpa menggunakan kondom. Penularan chlamydia bisa melalui seks oral, anal,
vaginal, dan saling bersentuhannya alat kelamin.
Infeksi Chlamidya
Trachomatis (C. trachomatis) pada banyak negara merupakan penyebab utama
infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual. Laporan WHO tahun 1995 menunjukkan
bahwa infeksi oleh C.trachomatis diperkirakan 8 9 juta orang.Di Indonesia
sendiri sampai saat ini belum ada angka yang pasti mengenai infeksi C.
trachomatis. (Ahmad, 2009)
Dalam bidang infeksi
menular seksual C. trachomatis dapat merupakan penyebab uretritis, servisitis,
endometritis, salpingitis, perihepatitis,epididimitis, limfogranuloma venerium
dan seterusnya.
Infeksi C.
trachomatis sampai saat ini masih merupakan problematik karena keluhan ringan,
kesukaran fasilitas diagnostik, mudah menjadi kronis dan residif, serta mungkin
menyebabkan komplikasi yang serius, seperti infertilitas dan kehamilan ektopik. Selain itu
bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi mempunyai resiko untuk menderita
konjungtivitis dan atau pneumonia. Frekuensi infeksi klamidia pada wanita hamil
berkisar antara 3-14%. (Aziz,etal, 2007).
Beberapa penelitian
menunjukkan berbagai kontroversi meningkatnya risiko kehamilan dan persalinan pada
ibu dengan infeksi klamidia, misalnya dapat menimbulkan abortus, kematian
janin, persalinan preterm, pertumbuhan janin terhambat, ketuban pecah dini,
serta endometritis paska aborsi. Bayi yang lahir per vaginam dari ibu dengan
infeksi Chlamydia 20-50% dapat mengalami konjungtivitis inklusi dalam 2 minggu
pertama kehidupannya. Pneumonia dapat terjadi pada usia 3-4 bulan dengan
prevalensi 10-20%. (Ahmad, 2007) Selain itu, dapat pula terjadi otitis media,
obstruksi nasal, dan bronkiolitis. Risiko infeksi perinatal tidak terjadi bila
persalinan berlangsung per-abdominam, kecuali bila telah terjadi ketuban pecah
sebelumnya.
Diagnosis infeksi
klamidia dapat ditegakkan bila sekret mukopurulen dari ostium uteri eksternum
atau apusan serviks pada biakan menemukan mikroorganisme ini. Selain itu,
dapat pula dilakukan pemeriksaan sitologi yang memperlihatkan adanya badan
inklusi intrasel, pemeriksaan secara serologik yang menunjukkan adanya kenaikan
titer antibodi, misalnya dengan ELISA, fiksasi komplemen, dan mikroimunofluoresensi.
Doxycycline dan
ofloxacin, yang merupakan first-line
treatment pada infeksi chlamydia adalah kontraindikasi pada kehamilan. Obat
yang direkomendasikan adalah azitrhromycin 1 gram per oral dosis tunggal atau
amoksisilin 500 mg 3 kali sehari secara oral selama 7 hari. (Aziz, et al, 2007)
Pengobatan infeksi Chlamydia
dalam kehamilan perlu juga memperhatikan infeksi campuran dengan gonore.
Bila sarana diagnostik tidak ada, kasus dengan risiko tinggi perlu mendapat
pengobatan dengan eritromisin 500 mg secara oral 4 kali sehari selama 7 hari
atau eritromisin 250 mg secara oral 4 kali sehari selama 14 hari. Pencegahan
terhadap ophthalmia neonatorum perlu dilakukan dengan memberikan salep mata
eritromisin (0,5%), atau tetrasiklin (1%) segera setelah bayi lahir.
4.
Bakterial Vaginosis
Bakterial vaginosis
adalah keadaan abnormal pada ekosistem vagina yang disebabkan bertambahnya pertumbuhan
flora vagina bakteri anaerob menggantikan Lactobacillus yang mempunyai
konsentrasi tinggi sebagai flora normal vagina. Secara klinik, untuk menegakkan
dia gnosis bakterial vaginosis harus ada tiga dari empat kriteria sebagai
berikut, yaitu: (1) adanya sel clue pada pemeriksaan mikros kopik sediaan
basah, (2) adanya bau amis setelah penetesan KOH 10% pada cairan vagina, (3)
duh yang homogen, kental, tipis, dan berwarna seperti susu, (4) pH vagina lebih
dari 4.5 dengan menggu nakan nitrazine paper. (Ahmad, 2009).
Awalnya infeksi pada
vagina hanya disebut dengan istilah vaginitis, di dalamnya termasuk vaginitis
akibat Trichomonas vaginalis dan akibat bakteri anaerob lain berupa Peptococcus
da n Bacteroides, sehingga disebut vaginitis nonspesifik. Setelah Gardner menemukan
adanya spesies baru yang akhirnya disebut Gardnerella vaginalis, istilah
vaginitis nonspesifik pun mulai ditinggalkan. Berbagai penelitian dilakukan dan
hasilnya disimpulkan bahwa Gardnerella melakukan simbiosis dengan berbagai
bakteri anaerob sehingga menyebabkan manifestasi klinis vaginitis, di antaranya
termasuk dari golongan Mobiluncus, Bacteroides, Fusobacterium, Veilonella, dan
golongan Eubacterium, misalnya Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum, dan
Streptococcus
viridans.
Dalam kehamilan,
penelitian membuktikan bahwa bakterial vaginosis merupakan salah satu faktor
penyebab pecahnya ketuban pada kehamilan dan persalinan prematur. Dengan demikian,
pemeriksaan terhadap kemungkinan infeksi perlu diperhatikan. Pengobatan yang
dianjurkan metronidazol 250 mg per oral diberikan 3 hari selama 7 hari.
Pendapat lama mengenai metronida zol yang tidak dianjurkan untuk diberikan pada
trimester pertama kehamilan ternyata dari beberapapenelitian besar yang melibatkan
150- 200.000 sampel tidak menunjukkan efek teratogenik sama sekali. Pada saat
ini metronidazol boleh dipakai pada seluruh masa kehamilan. Dapat juga
diberikan klindamisin 300 mg secara oral 2 kali sehari selama 7 hari. (Ahmad,
2009; Daili dkk, 2010)
5.
Trikomoniasis
Trikomoniasis merupakan
penyakit protozoa persisten yang umum menyerang saluran urogenital pada wanita
ditandai dengan timbulnya vaginitis dengan bercak- bercak berwarna merah
seperti “strawberry”, disertai dengan discharge berwarna hijau dan berbau.
(Ahmad, 2009) Penyakit ini dapat menimbulkan uretritis atau cystitis dan
umumnya tanpa gejala, serta dapat menyebabkan terjadi komplikasi obstetrik dan
memfasilitasi terjadinya infeksi HIV. Biasanya trichomoniasis berdampingan dengan
gonorrhea; pada suatu studi ditemukan sekitar 40%. Oleh karena itu, jika
ditemukan trichomoniasis maka perlu dilakukan penilaian menyeluruh terhadap
semua patogen penyebab “STD” (“STD Check”). Diagnosis ditegakkan dengan
ditemukannya parasit yang bergerak pada pemeriksaan mikroskopis atau dari
kultur discharge. Penyebab penyakit ini adalah Trichomonas vaginalis, salah
satu protozoa dengan flagella. Tricho monas vaginalis ditularkan khususnya
melalui kontak seksual secara langsung. Penyakit ini juga dapat ditularkan
melalui mutual masturbation dan berbagai sex toys (alat bantu seks). (Daili,
2002; Kornia dkk, 2006) Distribusi penyakit tersebar luas; penyakit yang sering
terjadi hampir di seluruh benua dan menyerang semua ras bangsa, terutama
menyerang orang dewasa dengan insidensi yang tinggi pada wanita usia 16-35
tahun. Secara keseluruhan sekitar 20% wanita terkena infeksi pada masa usia
subur. Perempuan yang terinfeksi parasit Trichomonas akan mengeluarkan
cairan dari vagina berwarna kuning kehijauan atau abu- abu serta berbusa dalam
jumlah banyak, kadangkala disertai pendarahan dan bautidak sedap, gatal pada
vulva sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman. (Daili, 2010) Sering buang air
kecil dan terasa sakit, pembengkakan vulva, rasa tidak nyaman selama
berhubungan seksual dan sakit di wilayah perut.pendarahan di serviks mungkin
terjadi, namun ini bukan gejala umum dan bayi lahir dengan berat badan rendah.
Pengobatan trikomoniasis dalam kehamilan adalah dengan meronidazol yang saat
ini diyatakan boleh dipakai pada seluruh masa kehamilan.Sebaiknya diberikan
dosis tunggal (2 gram) dibandingkan dengan dosis terbagi. (Daili dkk, 2010)
6.
Human Papiloma Virus (HPV)
Infeksi HPV pada daerah
genital tidak jarang terjadi pada wanita hamil dengan atau tanpa keluhan. Pada
kasus prematuritas banyak ditemukan hasil seropositif terhadap HPV tipe 16.
Akibat yang bisa terjadi kemungkinan munculnya neoplasia pada daerah serviks.
Beberapa tipe dari HPV dapat menimbulkan kutil, kondiloma akuminata, yang
biasanya disebabkan oleh HPV tipe 6 dan 11. Neoplasia intraepitel pada serviks
lebih disebabkan oleh HPV tipe 16, 18, 45, dan 56. HPV tipe 6 dan 11 dapat
menyebabkan laring papilomatosis pada bayi yang dilahirkan yang menghisap bahan
infeksius saat kehamilan. (Kornia dkk, 2006) Masa inkubasi antara 1-8 bulan.
Virus masuk ke dalam tubuh melalui mikrolesi pada kulit sehingga sering timbul
pada daerah yang mudah mengalami trauma pada saat berhubungan seksual.
Pertumbuhan kutil dapat dibagi dalam 3 bentuk yaitu: bentuk akuminata
(jengger), bentuk papul dan bentuk datar. Selain bentuk itu bila berkembang
dapat menjadi sangat besar yaitu Giant
Condyloma, sering dihubungkan dengan kemungkinan adanya keganasan. (Aziz et
al, 2007; Kornia dkk, 2006). Akan
membesar dan meluas sampai memenuhi dan menutupi vagina dan perineum yang
menyebabkan kesulitan persalinan pervaginam. Kemungkinan keadaan basah pada
daerah vulva pada saat kehamilan merupakan kondisi yang bagus untuk pertumbuhan
virus.
Diagnosis infeksi HPV
yang utama adalah melalui pemeriksaan kutil. Sedangkan untuk bagian genital,
dokter akan menganjurkan tes larutan asam asetat dan tes Pap smear. Kulit
di bagian genital yang terinfeksi virus HPV akan berubah menjadi putih setelah
diolesi larutan asam asetat sehingga mudah terdeteksi. Sedangkan dalam tes Pap
smear, dokter akan mengambil sampel sel-sel dari serviks dan vagina untuk
diperiksa di laboratorium. Tes Pap smear juga dapat digunakan untuk mendeteksi
keabnormalan sel serviks yang dapat berubah menjadi kanker.
Setelah diagnosis
positif, terdapat dua metode medis yang dapat dipilih, yaitu penanganan dengan
obat atau prosedur operasi.
Penanganan melalui
obat umumnya menggunakan obat oles dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
menghilangkan kutil. Beberapa contoh obat oles untuk mengatasi kutil adalah:
b.
Asam trikloroasetat
yang akan membakar protein dalam sel-sel kutil.
c.
Imiquimod yang
dapatmeningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap HPV.
d.
Podophyllotoxin yang
bekerja dengan menghancurkan jaringan pada kutil kelamin.
Selain obat
oles, kutil juga dapat diatasi dengan langkah operasi yang meliputi cryotherapy,
bedah elektro, operasi pengangkatan, dan bedah laser.
Jika tidak
diobati, infeksi HPV dapat menyebabkan munculnya luka pada mulut dan saluran
pernapasan atas. Beberapa jenis HPV bahkan dapat memicu perubahan abnormal pada
sel-sel serviks. Perubahan yang tidak segera terdeteksi dan ditangani ini bisa
berkembang menjadi kanker serviks. Kanker pada penis serta anus juga termasuk
komplikasi yang dapat ditimbulkan infeksi HPV.
Pengobatan saat hamil sangat mengganggu
penderita dan bagusnya lesi ini biasanya menghilang setelah persalinan. Saat
kehamilan dianjurkan untuk sering mencuci dan membersihkan daerah vulva
ditambah membersihkan vagina dengan irigasi dan menjaga daerah itu tetap kering
dan hal ini akan menghambat proliferasi kutil itu dan mengurangi
ketidaknyamanan yang ada. Pemilihan cara pengobatan tergantung pada besar,
lokalisasi, jenis, dan jumlah lesi serta fasilitas pelayanan yang tersedia.
Pada wanita hamil pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian asam
trikloroasetat 50% seminggu sekali dengan cara berhati-hati karena dapat
menimbulkan ulkus yang dalam. (Kornia dkk, 2006; M ullick et al, 2005)
7.
Kandidiasis
Penyakit
ini disebabkan oleh jamur Candida albicans. Kandidiasis terjadi akibat reaksi
radang yang akibat infeksi jamur di dalam liang vagina dan vulva. Penderita
mengeluhkan kemaluan sangat gatal, kadang-kadang sukar tidur dan terdapat
banyak bekas garukan. Sekresi seperti susu kental dan
warna putih kekuningan sekret tidak berbau. Seringkali ditemukan adanya faktor
predisposisi seperti diabetes melitus, pemakaian antibiotika yang lama,
defisiensi vitamin, pemakaian hormon kortikosterid dan kontrasepsi oral.
(Daili, 2002; Kornia dkk, 2006). Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
usapan mukosa dan kulit yang terkena, kemudian diperiksa dengan larutan KOH 10%
atau dengan pewarnaan gram. Pada mikroskop akan ditemukan sel-sel ragi,
blastospora, atau pseudohifa dari Candida albicans.Infeksi kandida di daerah
orofaring neonatus yang lahir dari ibu dengan kandidiasis vulvovagina memiliki
angka penularan hingga 50%. Pengobatan terhadap kandida di jalan lahir
dilakukan sebelum persalinan berlangsung yaitu dengan pemberian antifungan
secara topikal. Walaupun sekarang diketahui beberapa macam obat yang cukup
efektif dengan pemberian oral dosis tunggal, namun belum jelas apakah cara ini
cukup efektif dan aman untuk diberikan. Hanya derivat azol topikal yang
dianjurkan untuk digunakan pada wanita hamil (Ahmad, 2006, Daili skk, 2010)
No comments:
Post a Comment