Monday, March 26, 2018

Infeksi Menular Seksual (IMS) dalam kehamilan dan Nifas


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Penyakit Menular Seksual (PMS) adalah penyakit yang penularannya melalui hubungan seksual. Sejak tahun 1998, istilah STD mulai berubah menjadi STI (sexually Transmitted Infection) agar dapat menajngkau penderita asimptomatik.. Infeksi menular seksual (IMS) disebut juga sebagai penyakit menular seksual (PMS) yang ditularkan melalui hubungan seksual baik dengan pasangan yang sudah tertular, maupun mereka yang sering berganti – ganti pasangan. Infeksi menular ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menonjol disebagian besar wilayah dunia. Penyakit menular seksual merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat di negara berkembang , dimana penyakit IMS membuat individu rentan terhadap infeksi HIV. Menurut WHO (2009) terdapat 30 jenis mikroba (bakteri, virus dan parasit) yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual Cara penularan penyakit IMS ini melalui hubungan seksual dan diikuti dengan prilaku yang menempatkan individu dalam resiko mencapai HIV, seperti mereka yang  berprilaku bergantian pasangan seksual dan tidak konsisten menggunakan kondom (Badan Narkotika Nasional, 2004).
WHO memperkirakan setiap tahun terdapat 350 juta penderita baru penyakit IMS di negara berkembang seperti Afrika, Asia, Asia Tenggara, Amerika Latin. Jutaan IMS oleh virus juga terjadi setiap tahunnya , diantaranya HIV, virus herpes, human papiloma virus, virus hepatitis B (WHO, 2007). Peningkatan insiden infeksi menular seksual (IMS) dan penyebarannya diseluruh dunia tidak dapat diperkirakan secara tepat. Data dari profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan tahun 2012 didapatkan total kasus IMS yang ditangani pada tahun 2012 sebanyak 140.803 kasus dari 430 layanan IMS. Jumlah kasus IMS terbanyak berupa cairan vagina abnormal (klinis) 20.962 dan servicis  (lab) 33.025 IMS merupakan salah satu pintu masuk atau tanda – tanda terjadinya HIV (Kemenkes, 2013).
Dari data Ditjen PP & PI, jumlah kasus baru penderita AIDS hingga Desember 2014 sebanyak 5.494 kasus. Dan jumlah kasus baru infeksi HIV tahun 2014 sebanyak 32.711 kasus (Kemenkes RI, 2015).
IMS dapat meningkatkan gejala akut, infeksi kronis, dan konsekuensi serius seperti infertilitas, kehamilan ektopik, kanker leher rahim, dan kematian mendadak pada bayi dan orang dewasa . Jenis IMS di Indonesia yang paling banyak ditemukan adalah gonore, sifilis, dan infeksi klamidia. Prevalensi IMS tertinggi di Indonesia ditemukan dikota Bandung , yakni dengan prevalensi infeksi gonore sebanyak 37,4% (Dini, 2010).
Pola infeksi mengalami perubahan, misalnya infeksi Klamidia, Herpes genital dan kondiloma akuminata di beberapa negara cenderung meningkat dibandingkan dengan uretritis gonorea dan sifilis. Beberapa penyakit sudah resisten terhadap antibiotika misalnya munculnya galur multiresisten Neisseria Gonorheae, Haemophylus ducreyl dan Trichomonas vaginalis yang resisten terhadap antibiotik metronidazole  (Fahmi dkk, 2014).
Kejadian IMS masih menjadi permasalahan sehingga perlu ada pencegahan guna menekan angka kejadian IMS dan menurunkan angka morbiditas. Dari beberapa tindakan pencegahan yang ada, pemakaian kondom saat berhubungan seksual merupakan alternatif yang harus dipertimbangkan karena terbukti efektif mencegah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual.







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Penyakit Menular Seksual
Penyakit menular Seksual adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Penyakit menular seksual akan lebih beresiko bila melakukan hubungan seksual dengan berganti – ganti pasangan baik melalui vagina, oral maupun anal (Sjaiful, 2007)
Infeksi Menular Seksual (IMS) didefenisikan sebagai penyakit yang disebabkan karena adanya invasi organisme virus, bakteri, parasit dan kutu kelamin yang sebagian besar menular melalui hubungan seksual , baik yang berkelainan jenis ataupun sesama jenis. (Aprilianingrum, 2002)
Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah berbagai infeksi yang dapat menular dari satu orang ke orang yang lain melalui kontak seksual. Terdapat lebih kurang 30 jenis mikroba(bakteri, virus, dan parasit) yang ditularkan melalui hubungan seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorhea, chlamydia, sifilis, trichomoniasis, chancroid, herpes genital, infeksi human immunideficiency virus (HIV), dan hepatitis B. HIV dan sifilis juga dapat ditularkan dari ibu ke anaknya selama kehamilan dan kelahiran, dan juga melalui darah serta jaringan tubuh (WHO, 2009).
Penyakit menular seksual (PMS) merupakan sekelompok penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme yang dapat menimbulkan gangguan pada saluran kemih dan reproduksi. Ibu hamil merupakan kelompok resiko tinggi terhadap PMS. Melakukan pemeriksaan konfirmatif dengan tujuan untuk mengetahui etiologi yang pasti tentang ada atau tidaknya penyakit menular seksual yang diderita ibu hamil, sangat penting dilakukan karena PMS dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas baik kepada ibu maupun bayi yang dikandung/dilahirkan (Yulifah,dkk, 2009).

B.     Etiologi Penyakit Menular Seksual
Menurut Handsfield (2011), penyakit Menular seksual dapat diklasifikasikan berdasarkan agen penyebabnya, yakni :
1.      Dari golongan bakteri , yakni Neiserria Gonorheae, Treponema Pallidum, Chlamydia Trachomatis, Ureaplasma Urealyticum, Mycoplasma Hominis, Gordneralla vaginalis, Salmonella sp, Shigella sp, Campylobacter sp, Streptococus group B, Mobililuncus sp
2.      Dari golongan protozoa, yakni Trichomonas vaginalis, Entamoeba histolyticia, Giardia lamblia
3.      Dari golongan virus, yakni Human Immunodeficieny Virus (tipe 1 dan 2), Herpes simpleks virus (tipe 1 dan 2), Human papiloma Virus (HPV), Cytomegalovirus, Epstein-barr virus, Molluscum contagiosum virus
4.      Dari golongan ektoparasit yakni Phthirus pubis dan Sarcoptes Scabei
C.    Penularan Penyakit Menular Seksual
Menurut Handsfield (2011) cara penularan Penyakit Menular Seksual ini terutama melalui hubungan seksual yang tidak terlindungi, baik pervaginal, anal, maupun oral. Cara penularan lainnya secara perinatal yaitu dari ibu ke bayinya , baik selama kehamilan saat kelahiran ataupun setelah lahir. Bisa melalui transfuse darah atau kontak langsung dengan cairan darah atau produk darah. Dan juga bisa melalui penggunaan pakaian dalam atau handuk yang telah dipakai oleh penderita penyakit menular seksual.
Perilaku seks yang dapat mempermudah penularan PMS adalah :
-          Berhubungan seks tidak aman (tanpa menggunakan kondom)
-          Berganti – ganti pasangan seks
-          Prostitusi
-          Melakukan hubungan seks anal (dubur) , perilaku ini menimbulkan luka atau radang karena epitel mukosa anus relatif tipis dan lebih mudah terluka dibanding epitel dinding vagina
-          Pengunaan pakaian dalam atau handuk yang telah dipakai penderita PMS
Menurut Somelus (2008), Cara lain seseorang dapat tertular PMS juga melalui :
-          Darah
Dari tansfusi darah yang terinfeksi, menggunakan jarum suntik bersama, atau benda tajam lainnya ke bagian tubuh untuk menggunakan obat atau membuat tato.
-          Ibu hamil kepada bayinya
Penularan selama kehamilan, selama proses kelahiran. Setelah lahir, HIV bisa menular melalui menyusui.
-          Tato dan tindik Pembuatan tato di badan, tindik, atau penggunaan narkoba memberi sumbangan besar dalam penularan HIV/AIDS. Sejak 2001, pemakaian jarum suntik yang tidak aman menduduki angka lebih dari 51 % cara penularan HIV/AIDS.

D.    Perubahan yang terjadi masa kehamilan
ü  Perubahan imonologik
Selama kehamilan terjadi supresi imunokompetensi ibu yang dapat mempengaruhi terjadinya berbagai penyakti infeksi. Sufresi system imun akan semakin meningkat seiring dengan berlanjutnya usia kehamilan, serta mempengaruhi perjalanan penyakit infeksi genital. Kandidosis pada perempuan hamil lebih sering dijumpai dan dapat lebih parah jika dibandingkan dengan perempuan tidak hamil.Demikian pula dengan kondiloma akuminata dan herpes genital.Limfosit T jumalhnya berkurang dalam sampel darah tepi perempuan hamil, tetapi tidak demikian halnya dengan limfosit B. pengurangan maksimal CD4+ limfosit T terjadi pada trimester ketiga.
Pada sejumlah besar perempuan yang dievaluasi selama dan setelah kehamilan, tampak gangguan dalam resfons transmisi limfosit secara in vitro terhadap sejumalh antigen mikroba selama kehamilan. Proliferasi limfosit in vitro secara bermakna lebih rendah selama kehamilan diabndingkan periode pascapartus, dan secara bermakna juga lebih rendah pada perempuan  hamil di bandingkan dengan perempuan tidak hamil.
ü  Perubahan anatomi
Anatomi saluran genital sangat berubah pada saat kehamilan.Dinding vagina menjadi hipertrofik dan penuh darah.Serviks mengalami hipertrofi, dan semakin luas daerah epitel kolumnar pada ektoserviks yang terpajan mikroorgansme.Perluasan ektopi serviks selama kehamilan mengakibatnkan mudahnya infeksi serviks atau re lanut. Serviks aktivasi laten. Namun hal tersebut belum diteliti lebih lanjut. Serviks akan mengsekresikan mucus yang sangat kental selama kehamilan, membentuk mucus plug. Mucus ini umunya dianggap sebagai pengahalang jalanya mikrorganisme menuju uterus.
ü  Perubahan flora mikribial servikovaginal
Flora vagina merupakan ekosistem heterogen untuk bebagai bakteri anaerob dan bakteri fakultatif anaerob.Beberapa penelitian menemukan, bahwa selama kehamilan, sejumlah spesies bakteri yang terdapat di dalam vagina terutama spesies anaerob berkurang, prevalensi dan kuantitas laktobasilus bertambah, sedangkan bakteri fakultatif lainnya tidak berubah.Diduga mekanisme yang menyebabkan perubahan tersebutadalah pH vagina, kandungan glikogen, dan vakularisasi genital bagian bawah.
E.     Tanda dan Gejala  Penyakit Menular Seksual :
1.      Keluar cairan / keputihan yang tidak normal dari vagina atau penis. Pada wanita terjadi peningkatan keputihan. Warnanya bisa menjadi lebih putih , kekuningan , kehijauan, kemerahan  dan memiliki bau yang tidak sedap.
2.      Pada pria rasa panas seperti terbakar atau sakit selama atau setelah kencing , biasanya disebabkan oleh PMS. Pada wanita beberapa gejala dapat disebabkan oleh PMS tapi juga disebabkan oleh infeksi kandung kencing yang ditularkan melalui hubungan seksual.
3.      Rasa sakit atau nyeri pada saat buang air kecil atau berhubungan seksual
4.      Rasa nyeri pada perut bagian bawah yang muncul dan hilang dan tidak berhubungan dengan  menstruasi
5.      Keputihan berwarna putih susu, bergumpal dan disertai rasa gatal dan kemerahan pada alat kelamin atau sekitarnya
6.      Keputihan yang berbusa , kehijauan, berbau busuk dan gatal
7.      Timbul bercak – bercak darah setelah berhubungan seks
8.      Pembengkakan kelenjar getah bening di bagian selangkanagan
9.      Demam, lemah, kulit menguning dan rasa nyeri disekujur tubuh
10.  Pada wanita keluar darah dari vagina di luar periode menstruasi
11.  Tonjolan kecil (papule), lecet pada alat kelamin

F.     Penatalaksanaan PMS
Menurut WHO (2003) penanganan pasien infeksi menular seksual terdiri dari dua cara, yaitu berdasarkan kasus (case managemenet) atau dengan penanganan beradasarkan sindrom (syndrome maangement). Penanganan berdasarkan kasus yang efektif tidak hanya berupa pemberian terapi antimikroba untuk menyembuhkan dan mengurangi infektifitasmikroba, tetapi juga diberikan perawatan kesehatan reproduksi yang komprehensif. Sedangkan penanganan beradasarkan sindrom didasarkan paad identifikasi dari sekelompok tanda dan gejala yang konsisten dan penyediaan pengobatan untuk mikroba tertentu yang menimbulkan sindrom. Penanganan infeksi menular seksual yang ideal adalah penanganan berdasarkan mikroorganisme  penyebabnya. Namun, dalam kenyataannya penderita infeksi menular seksual selalu diberi pengobatan secara empris (Murtiastustutik, 2008).
            Antibiotik untuk pengobatan IMS adalah :
1.      Pengobatan gonorhea : penisilin, ampisilin, amoksisilin, seftriakson, spektinomisisn, kuinolon, tiamfenikol, dan kanamisisn (Daili, 2007)
2.      Pengobatan sifilis : penisilin, sefalsoforin, termasuk sefaloridin, tetrasiklin, eritromisin, dan klramfenikol
3.      Pengobatan herpes genital : asiklovir, famsiklovir, valasiklofir, (Wells et all, 2003)
4.      Pengobatan Klamidia : azithromisin , doksisiklin, eritromisisn, (Wells et all. 2003)
5.      Pengobatan Trikomoniasis : metronidazol

G.    Klasifikasi Penyakit Menular Seksual
1.         Sifilis
Sifilis disebabkan oleh Treponema pallidum, yaitu sejenis bakteri yang berbentuk spiral.Penularan bisa terjadi melalui tranfusi darah bila donor berada dalam tahap awal infeksi tersebut. (Hutapea, 2005) Infeksi bisa ditularkan dari seorang ibu yang terinfeksi kepada bayinya yang belum lahir.
Sifilis yang terkait dengan kehamilan adalah sifilis congenital. Merupakan penyakit yang didapatkan janin dalam uterus dari ibu yang menderita sifilis. Infeksi sifilis terhadap janin dapat terjadi pada setiap stadium sifilis dan setiap masa kehamilan.Dahulu dianggap infeksi tidak dapat terjadi sebelum janin berusia 18 minggu, karena lapisan Langhans yang merupakan pertahanan janin terhadap infeksi masih belum atrofi. Tetapi ternyata dengan mikroskop elektron dapat ditemukan Treponema pallidum pada janin berusia 9-10 minggu. (Arifin, 2010) Sifilis kongenital dini merupakan gejala sifilis yang muncul pada dua tahun pertama kehidupan anak, dan jika muncul setelah dua tahun per tama kehidupan anak disebut dengan sifilis kongenital lanjut.
Risiko sifilis kongenital berhubungan langsung dengan stadium sifilis yang diderita ibu semasa kehamilan. Lesi sifilis kongenital biasanya timbul setelah 4 bulan in utero pada saat jan in sudah dalam keadaan imunokompeten. Penularan in utero terjadi transplasental, sehingga dapat dijumpai Treponema pallidum pada plasenta, tali pusat, serta cairan amnion.Treponema pallidum melalui plasenta m asuk ke dalam peredaran darah janin dan menyebar keseluruh jaringan. Kemudian berkembang biak dan menyebabkan respons peradangan selular yang akan merusak janin. (Ahmad, 2009) Kelainan yang timbul dapat bersifat fatal sehingga terjadi abortus atau lahir mati atau terjadi gangguan pertumbuhan.Sifilis kongenital merupakan salah satu komplikasi sifilis yang berat. Akibat langsung penyakit ini terhadap janin antara lain: kematian janin dalam kandungan, partus prematurus, dan partus immaturus. Gejala yang ditemukan pada sifilis kongenital adalah: (Ahmad, 2009; Huta pea, 2005)
Sampai saat ini, penisilin masih menjadi obat pilihan sifilis. Obat ini aman digunakan bagi ibu hamil serta bayi dan efektif untuk semua stadium sifilis. Bagi pasien yang alergi dengan obat golongan penisilin, maka diberikan antibiotik alternatif lain seperti doksisiklin, eritromisin dan azitromisin. Setelah terapi dengan antibiotik, terkadang pasien mengalami reaksi yang disebut reaksi Jarish-Herxheimer. Reaksi tersebut biasanya muncul antara 1-12 jam setelah penyuntikan penisilin pertama. Umumnya reaksi akan berakhir dalam 6-12 jam. Pada ibu hamil, reaksi dapat meningkatkan kontraksi rahim dan risiko merangsang persalinan. Sehingga pada kasus tersebut, pengawasan kontraksi rahim dan kondisi janin sangat dianjurkan post pemberian penisilin.
Klasifikasi penyakit sifilis pada ibu hamil ditandai dengan beberapa tahap, yaitu:
a.      Stadium I
Ditandai oleh timbulnya luka yang kemerahan dan basah di daerah sekitar vagina, dan usus. Luka ini disebut chancre, yang akan muncul di tempat Treponema pallidum masuk ke tubuh untuk pertama kalinya. Terjadi pembengkakan kelenjer getah bening dan setelah beberapa minggu, chancre tersebut akan menghilang dengan sendirinya.
b.      Stadium II
Apabila penyakit stadium satu tidak segera diobati akan lanjut pada stadium lanjut pada stadium 2, biasanya para penderita akan mengalami ruam, khususnya ditelapak tangan dan kaki. Selain itu juga dapat ditemukan adanya luka-luka di bibir, mulut, tenggorokan, vagina, dan dubur. Gejala yang mirip flu juga mungkin ditemukan ada stadium ini yang berlangsung selama 1-2 minggu
c.       Stadium III
Jika penyakit sifilis pada ibu hamil stadium II tidak dilakukan pengobatan, para penderita akan mengalami sifilis laten. Pada tahap ini erarti semua gejala akan menghilang dengan sendirinya, namun sebenarnya penyakit sifilis terus bersarang dalam tubuh dan akan berlangsung selama bertahun-tahun.
d.      Stadium IV
Pada ibu hamil, stadium ini disebut stadium tersier, dimana bakteri Treponema pallidum telah menyebar keseluruh tubuh dan dapat merusak jaringan otak, jantung, batang otak dan tulang. Pada ibu yang menderita sifilis pada stadium ini akan menyebabkan cacat primer pada janin hingga menyebabkan kematian janin.
  
2.         Gonorhea
Gonorea atau di kalangan masyarakat umum dikenal dengan nama GO adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhea. (Daili, 2005).Pada wanita, GO sering tidak menimbulkan gejala apapun sehingga sering luput dari diagnosis dokter. Hal ini menyebabkan seorang wa nita pengidap GO tidak menyadari dirinya terinfeksi lalu menularkannya keorang lain. (Ahmad, 2009)
Gonore dalam kehamilan biasanya dijumpai dalam bentuk menahun dan 60-80% kasus adalah asimptomatik sehingga penderita tidak menyadari penyakitnya.Namun, dapat pula terjadi peningkatan gejala selama kehamilan misalnya kolpitis dan vulvitis.Dapat pula disertai oftalmia neonatorum yang menjadi petunjuk awal bahwa ibu menderita gonorea. (Ahmad, 2009; Daili, 2005) Adanya poliartritis pada trimester II atau III harus dipikirkan adanya artritis gonoroika.Apabila terjadi infeksi dalam kehamilan lebih dari 4 minggu, perjalanan penyakit tidak berbeda dengan infeksi gonorea di luar kehamilan.Diagnosis gonorea akut dalam kehamilan tidak sulit bila ditemukan adanya gejala-gejala klinis seperti disuria, uretritis, servisitis, fluor albus seperti nanah encer agak kuning atau kuning-hijau, dan kadang- kadang bartholinitis akut atau vulvokolpitis. Petunjuk lain adalah hasil pemeriksaan laboratorium dengan sediaan apus getah urethra atau serviks deng an pewarnaan methylene blue atau Gram , menunjukkan banyak diplokokus intra dan ekstraselular. Apabila hasilnya meragukan, sebaiknya dilakukan kultur. (Ahmad, 2008)
Gonore dapat ditularkan melalui kontak dengan cairan tubuh yang terinfeksi. Wanita yang sedang hamil dan menderita gonore dapat menularkan infeksi tersebut pada bayinya selama persalinan.
Jika gonore pada wanita hamil tidak diobati, berbagai komplikasi akan muncul, antara lain kemungkinan keguguran, persalinan prematur, air ketuban pecah sebelum waktunya, infeksi pada lapisan dinding dalam rahim (endometritis), aborsi spontan, dan kehamilan ektopik (kehamilan di luar rahim).
Sedangkan bayi yang lahir dari ibu dengan gonore berpotensi tertular dan kemungkinan terserang penyakit seperti pink eye (konjungtivitis), infeksi pada aliran darah (sepsis), radang sendi (arthritis), infeksi kulit kepala, infeksi pada cairan dan jaringan yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang (meningitis), sampai yang penyakit lebih berat yaitu bayi mengalami kebutaan. Gejala gonore pada bayi yang terinfeksi biasanya muncul 2-5 hari setelah dilahirkan.
Konjungtivitis gonoroika neonatorum (gonoblenorrhea neonatorum) bukan merupakan penyakit kongenital, tetapi infeksi yang terjadi selama persalinan, saat kepala janin melewati jalan lahir dan mata bayi berse ntuhan dengan bagian-bagian yang terinfeksi gonokokus. Pengobatan dengan penisilin biasanya memberikan hasil yang memuaskan, kecuali dalam kasus-kasus yang resisten. Pemberian prokain penisilin G dalam aquadest sebanyak 4,8 juta IU intramuskular, diberikan dalam dosis tunggal. Dapat pula di berikan ampisilin per oral 3,5 gram dosis tunggal. Apabila penderita tidak tahan penisilin, dapat diberikan eritromisin 4 kali sehari 0,5 gram selama 5-10 hari; atau kana misin 2 gram im dalam dosis tunggal. Setiap pengobatan harus memperhatikan adanya infeksi genital lain seperti sifilis dan klamidia. (Daili dkk, 2010) Pemeriksaan klinis dan laboratorium perlu diulang 3 hari atau lebih setelah pengobatan selesai. Apabila terjadi kekambuhan maka penderita harus diobati lagi dengan dosis 2 kali lipat. Untuk mencegah gonoblenorea pada neonatus, maka semua neonatus kedua matanya diberi salep eritromisin atau klorom isetin.Seorang ibu dengan gonorea tetap dapat menyusui bayinya.

3.             Chlamydia
Bakteri chlamydia trachomatis merupakan penyebab terjadinya penyakit chlamydia yang ditularkan oleh orang yang terjangkit melalui hubungan seksual tanpa menggunakan kondom. Penularan chlamydia bisa melalui seks oral, anal, vaginal, dan saling bersentuhannya alat kelamin.
Infeksi Chlamidya Trachomatis (C. trachomatis) pada banyak negara merupakan penyebab utama infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual. Laporan WHO tahun 1995 menunjukkan bahwa infeksi oleh C.trachomatis diperkirakan 8 9 juta orang.Di Indonesia sendiri sampai saat ini belum ada angka yang pasti mengenai infeksi C. trachomatis. (Ahmad, 2009)
Dalam bidang infeksi menular seksual C. trachomatis dapat merupakan penyebab uretritis, servisitis, endometritis, salpingitis, perihepatitis,epididimitis, limfogranuloma venerium dan seterusnya.
Infeksi C. trachomatis sampai saat ini masih merupakan problematik karena keluhan ringan, kesukaran fasilitas diagnostik, mudah menjadi kronis dan residif, serta mungkin menyebabkan komplikasi yang serius, seperti infertilitas dan kehamilan ektopik. Selain itu bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi mempunyai resiko untuk menderita konjungtivitis dan atau pneumonia. Frekuensi infeksi klamidia pada wanita hamil berkisar antara 3-14%. (Aziz,etal, 2007).
Beberapa penelitian menunjukkan berbagai kontroversi meningkatnya risiko kehamilan dan persalinan pada ibu dengan infeksi klamidia, misalnya dapat menimbulkan abortus, kematian janin, persalinan preterm, pertumbuhan janin terhambat, ketuban pecah dini, serta endometritis paska aborsi. Bayi yang lahir per vaginam dari ibu dengan infeksi Chlamydia 20-50% dapat mengalami konjungtivitis inklusi dalam 2 minggu pertama kehidupannya. Pneumonia dapat terjadi pada usia 3-4 bulan dengan prevalensi 10-20%. (Ahmad, 2007) Selain itu, dapat pula terjadi otitis media, obstruksi nasal, dan bronkiolitis. Risiko infeksi perinatal tidak terjadi bila persalinan berlangsung per-abdominam, kecuali bila telah terjadi ketuban pecah sebelumnya.
Diagnosis infeksi klamidia dapat ditegakkan bila sekret mukopurulen dari ostium uteri eksternum atau apusan serviks pada biakan menemukan mikroorganisme ini. Selain itu, dapat pula dilakukan pemeriksaan sitologi yang memperlihatkan adanya badan inklusi intrasel, pemeriksaan secara serologik yang menunjukkan adanya kenaikan titer antibodi, misalnya dengan ELISA, fiksasi komplemen, dan mikroimunofluoresensi.
Doxycycline dan ofloxacin, yang merupakan first-line treatment pada infeksi chlamydia adalah kontraindikasi pada kehamilan. Obat yang direkomendasikan adalah azitrhromycin 1 gram per oral dosis tunggal atau amoksisilin 500 mg 3 kali sehari secara oral selama 7 hari. (Aziz, et al, 2007)
Pengobatan infeksi Chlamydia dalam kehamilan perlu juga memperhatikan infeksi campuran dengan gonore. Bila sarana diagnostik tidak ada, kasus dengan risiko tinggi perlu mendapat pengobatan dengan eritromisin 500 mg secara oral 4 kali sehari selama 7 hari atau eritromisin 250 mg secara oral 4 kali sehari selama 14 hari. Pencegahan terhadap ophthalmia neonatorum perlu dilakukan dengan memberikan salep mata eritromisin (0,5%), atau tetrasiklin (1%) segera setelah bayi lahir.

4.             Bakterial Vaginosis
Bakterial vaginosis adalah keadaan abnormal pada ekosistem vagina yang disebabkan bertambahnya pertumbuhan flora vagina bakteri anaerob menggantikan Lactobacillus yang mempunyai konsentrasi tinggi sebagai flora normal vagina. Secara klinik, untuk menegakkan dia gnosis bakterial vaginosis harus ada tiga dari empat kriteria sebagai berikut, yaitu: (1) adanya sel clue pada pemeriksaan mikros kopik sediaan basah, (2) adanya bau amis setelah penetesan KOH 10% pada cairan vagina, (3) duh yang homogen, kental, tipis, dan berwarna seperti susu, (4) pH vagina lebih dari 4.5 dengan menggu nakan nitrazine paper. (Ahmad, 2009).
Awalnya infeksi pada vagina hanya disebut dengan istilah vaginitis, di dalamnya termasuk vaginitis akibat Trichomonas vaginalis dan akibat bakteri anaerob lain berupa Peptococcus da n Bacteroides, sehingga disebut vaginitis nonspesifik. Setelah Gardner menemukan adanya spesies baru yang akhirnya disebut Gardnerella vaginalis, istilah vaginitis nonspesifik pun mulai ditinggalkan. Berbagai penelitian dilakukan dan hasilnya disimpulkan bahwa Gardnerella melakukan simbiosis dengan berbagai bakteri anaerob sehingga menyebabkan manifestasi klinis vaginitis, di antaranya termasuk dari golongan Mobiluncus, Bacteroides, Fusobacterium, Veilonella, dan golongan Eubacterium, misalnya Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum, dan Streptococcus viridans.
Dalam kehamilan, penelitian membuktikan bahwa bakterial vaginosis merupakan salah satu faktor penyebab pecahnya ketuban pada kehamilan dan persalinan prematur. Dengan demikian, pemeriksaan terhadap kemungkinan infeksi perlu diperhatikan. Pengobatan yang dianjurkan metronidazol 250 mg per oral diberikan 3 hari selama 7 hari. Pendapat lama mengenai metronida zol yang tidak dianjurkan untuk diberikan pada trimester pertama kehamilan ternyata dari beberapapenelitian besar yang melibatkan 150- 200.000 sampel tidak menunjukkan efek teratogenik sama sekali. Pada saat ini metronidazol boleh dipakai pada seluruh masa kehamilan. Dapat juga diberikan klindamisin 300 mg secara oral 2 kali sehari selama 7 hari. (Ahmad, 2009; Daili dkk, 2010)

5.             Trikomoniasis
Trikomoniasis merupakan penyakit protozoa persisten yang umum menyerang saluran urogenital pada wanita ditandai dengan timbulnya vaginitis dengan bercak- bercak berwarna merah seperti “strawberry”, disertai dengan discharge berwarna hijau dan berbau. (Ahmad, 2009) Penyakit ini dapat menimbulkan uretritis atau cystitis dan umumnya tanpa gejala, serta dapat menyebabkan terjadi komplikasi obstetrik dan memfasilitasi terjadinya infeksi HIV. Biasanya trichomoniasis berdampingan dengan gonorrhea; pada suatu studi ditemukan sekitar 40%. Oleh karena itu, jika ditemukan trichomoniasis maka perlu dilakukan penilaian menyeluruh terhadap semua patogen penyebab “STD” (“STD Check”). Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya parasit yang bergerak pada pemeriksaan mikroskopis atau dari kultur discharge. Penyebab penyakit ini adalah Trichomonas vaginalis, salah satu protozoa dengan flagella. Tricho monas vaginalis ditularkan khususnya melalui kontak seksual secara langsung. Penyakit ini juga dapat ditularkan melalui mutual masturbation dan berbagai sex toys (alat bantu seks). (Daili, 2002; Kornia dkk, 2006) Distribusi penyakit tersebar luas; penyakit yang sering terjadi hampir di seluruh benua dan menyerang semua ras bangsa, terutama menyerang orang dewasa dengan insidensi yang tinggi pada wanita usia 16-35 tahun. Secara keseluruhan sekitar 20% wanita terkena infeksi pada masa usia subur. Perempuan yang terinfeksi parasit Trichomonas akan mengeluarkan cairan dari vagina berwarna kuning kehijauan atau abu- abu serta berbusa dalam jumlah banyak, kadangkala disertai pendarahan dan bautidak sedap, gatal pada vulva sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman. (Daili, 2010) Sering buang air kecil dan terasa sakit, pembengkakan vulva, rasa tidak nyaman selama berhubungan seksual dan sakit di wilayah perut.pendarahan di serviks mungkin terjadi, namun ini bukan gejala umum dan bayi lahir dengan berat badan rendah. Pengobatan trikomoniasis dalam kehamilan adalah dengan meronidazol yang saat ini diyatakan boleh dipakai pada seluruh masa kehamilan.Sebaiknya diberikan dosis tunggal (2 gram) dibandingkan dengan dosis terbagi. (Daili dkk, 2010)

6.      Human Papiloma Virus (HPV)
Infeksi HPV pada daerah genital tidak jarang terjadi pada wanita hamil dengan atau tanpa keluhan. Pada kasus prematuritas banyak ditemukan hasil seropositif terhadap HPV tipe 16. Akibat yang bisa terjadi kemungkinan munculnya neoplasia pada daerah serviks. Beberapa tipe dari HPV dapat menimbulkan kutil, kondiloma akuminata, yang biasanya disebabkan oleh HPV tipe 6 dan 11. Neoplasia intraepitel pada serviks lebih disebabkan oleh HPV tipe 16, 18, 45, dan 56. HPV tipe 6 dan 11 dapat menyebabkan laring papilomatosis pada bayi yang dilahirkan yang menghisap bahan infeksius saat kehamilan. (Kornia dkk, 2006) Masa inkubasi antara 1-8 bulan. Virus masuk ke dalam tubuh melalui mikrolesi pada kulit sehingga sering timbul pada daerah yang mudah mengalami trauma pada saat berhubungan seksual. Pertumbuhan kutil dapat dibagi dalam 3 bentuk yaitu: bentuk akuminata (jengger), bentuk papul dan bentuk datar. Selain bentuk itu bila berkembang dapat menjadi sangat besar yaitu Giant Condyloma, sering dihubungkan dengan kemungkinan adanya keganasan. (Aziz et al, 2007; Kornia dkk, 2006).  Akan membesar dan meluas sampai memenuhi dan menutupi vagina dan perineum yang menyebabkan kesulitan persalinan pervaginam. Kemungkinan keadaan basah pada daerah vulva pada saat kehamilan merupakan kondisi yang bagus untuk pertumbuhan virus.
Diagnosis infeksi HPV yang utama adalah melalui pemeriksaan kutil. Sedangkan untuk bagian genital, dokter akan menganjurkan tes larutan asam asetat dan tes Pap smear. Kulit di bagian genital yang terinfeksi virus HPV akan berubah menjadi putih setelah diolesi larutan asam asetat sehingga mudah terdeteksi. Sedangkan dalam tes Pap smear, dokter akan mengambil sampel sel-sel dari serviks dan vagina untuk diperiksa di laboratorium. Tes Pap smear juga dapat digunakan untuk mendeteksi keabnormalan sel serviks yang dapat berubah menjadi kanker.
Setelah diagnosis positif, terdapat dua metode medis yang dapat dipilih, yaitu penanganan dengan obat atau prosedur operasi.
Penanganan melalui obat umumnya menggunakan obat oles dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menghilangkan kutil. Beberapa contoh obat oles untuk mengatasi kutil adalah:
a.      Asam salisilat yang berfungsi mengikis lapisan kutil secara bertahap.
b.      Asam trikloroasetat yang akan membakar protein dalam sel-sel kutil.
c.       Imiquimod yang dapatmeningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap HPV.
d.      Podophyllotoxin yang bekerja dengan menghancurkan jaringan pada kutil kelamin.
Selain obat oles, kutil juga dapat diatasi dengan langkah operasi yang meliputi cryotherapy, bedah elektro, operasi pengangkatan, dan bedah laser.
Jika tidak diobati, infeksi HPV dapat menyebabkan munculnya luka pada mulut dan saluran pernapasan atas. Beberapa jenis HPV bahkan dapat memicu perubahan abnormal pada sel-sel serviks. Perubahan yang tidak segera terdeteksi dan ditangani ini bisa berkembang menjadi kanker serviks. Kanker pada penis serta anus juga termasuk komplikasi yang dapat ditimbulkan infeksi HPV.

 Pengobatan saat hamil sangat mengganggu penderita dan bagusnya lesi ini biasanya menghilang setelah persalinan. Saat kehamilan dianjurkan untuk sering mencuci dan membersihkan daerah vulva ditambah membersihkan vagina dengan irigasi dan menjaga daerah itu tetap kering dan hal ini akan menghambat proliferasi kutil itu dan mengurangi ketidaknyamanan yang ada. Pemilihan cara pengobatan tergantung pada besar, lokalisasi, jenis, dan jumlah lesi serta fasilitas pelayanan yang tersedia. Pada wanita hamil pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian asam trikloroasetat 50% seminggu sekali dengan cara berhati-hati karena dapat menimbulkan ulkus yang dalam. (Kornia dkk, 2006; M ullick et al, 2005)
7.                  Kandidiasis
Penyakit ini disebabkan oleh jamur Candida albicans. Kandidiasis terjadi akibat reaksi radang yang akibat infeksi jamur di dalam liang vagina dan vulva. Penderita mengeluhkan kemaluan sangat gatal, kadang-kadang sukar tidur dan terdapat banyak bekas garukan. Sekresi seperti susu kental dan warna putih kekuningan sekret tidak berbau. Seringkali ditemukan adanya faktor predisposisi seperti diabetes melitus, pemakaian antibiotika yang lama, defisiensi vitamin, pemakaian hormon kortikosterid dan kontrasepsi oral. (Daili, 2002; Kornia dkk, 2006). Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan usapan mukosa dan kulit yang terkena, kemudian diperiksa dengan larutan KOH 10% atau dengan pewarnaan gram. Pada mikroskop akan ditemukan sel-sel ragi, blastospora, atau pseudohifa dari Candida albicans.Infeksi kandida di daerah orofaring neonatus yang lahir dari ibu dengan kandidiasis vulvovagina memiliki angka penularan hingga 50%. Pengobatan terhadap kandida di jalan lahir dilakukan sebelum persalinan berlangsung yaitu dengan pemberian antifungan secara topikal. Walaupun sekarang diketahui beberapa macam obat yang cukup efektif dengan pemberian oral dosis tunggal, namun belum jelas apakah cara ini cukup efektif dan aman untuk diberikan. Hanya derivat azol topikal yang dianjurkan untuk digunakan pada wanita hamil (Ahmad, 2006, Daili skk, 2010)

No comments: