Monday, March 26, 2018

Ibu Hamil dengan HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)


LAPORAN KASUS

KAJIAN ASUHAN KEBIDANAN  PADA  NY.”Y G1P0A0H0 34-35 MINGGU DENGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)
DI RUANG POLI KEBIDANAN RSUP Dr.M.DJAMIL PADANG

Diajukan Sebagai Syarat Memenuhi Tugas Residensi Praktik Klinik
Di RSUP. Dr. M. Djamil Padang Periode 18 Juli  – 12 Agustus 2016


DISUSUN OLEH :
Anjelina Puspita Sari   1420332011

Pembimbing :

dr. Defrin, Sp.OG (K)



PROGRAM PASCASARJANA ILMU KEBIDANAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG
2016

KATA PENGANTAR


Alhamdulillah, segala puji penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas limpahan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus Kajian Asuhan Kebidanan Pada Kajian Asuhan Kebidanan  Pada Ny.”YG1P0A0H0 34-35 Minggu Dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) Di Ruang Poli Kebidanan RSUP Dr.M.Djamil Padang. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada Residensi Praktek Klinik di RSUP DR.M.DJAMIL Padang yang merupakan program pascasarjana ilmu kebidanan Universitas Andalas Padang.
            Penulis meyakini di dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan sehinggga kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan isi dan kualitas makalah ini.


                                                                                    Padang,   Agustus 2016



                                                                                                Penulis














BAB I

PENDAHULUAN


Pada umumnya kehamilan berkembang dengan normal dan menghasilkan kelahiran bayi sehat cukup bulan, melalui jalan lahir namun ini kadang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sulit sekali diketahui sebelumnya bahwa kehamilan akan menjadi masalah. Oleh karena itu, pelayanan antenatal merupakan cara penting untuk memonitor dan mendukung kesehatan ibu hamil normal dan melakukan deteksi dini. (Kusmiyati, 2009)
Diperkirakan 17 juta wanita terinfeksi HIV (HIV +) di seluruh dunia  (WHO, 2014). Laporan Epidemi HIV (Human Immunodeficiency Virus) Global UNAIDS (United Nations Programme on HIV-AIDS) 2012 menunjukkan bahwa terdapat 34 juta orang dengan HIV di seluruh dunia. Sebanyak 50% di antaranya adalah perempuan dan 2,1 juta anak berusia kurang dari 15 tahun. Di Asia Selatan dan Tenggara, terdapat kurang lebih 4 juta orang dengan HIV dan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Menurut Laporan Progres HIV-AIDS WHO Regional SEARO (2011) sekitar 1,3 juta orang (37%) perempuan terinfeksi HIV (Kemenkes RI, 2012).
Setiap tahunnya jumlah perempuan yang terinfeksi HIV semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan hubungan seksual tidak aman, yang selanjutnya akan menularkan pada pasangan seksualnya. Di sejumlah negara berkembang HIV-AIDS merupakan penyebab utama kematian perempuan usia reproduksi. Infeksi HIV pada ibu hamil dapat mengancam kehidupan ibu serta ibu dapat menularkan virus kepada bayinya. Lebih dari 90% kasus anak terinfeksi HIV, dapat ditularkan melalui proses penularan dari ibu ke anak atau mother-tochild HIV transmission (MTCT). Selama kehamilan, saat persalinan dan saat menyusui (Kemenkes RI, 2012).
Data estimasi UNAIDS/WHO (2009) juga memperkirakan 22.000 anak di wilayah Asia-Pasifik terinfeksi HIV dan tanpa pengobatan, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua. Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) telah terbukti sebagai intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Di negara maju risiko anak tertular HIV dari ibu dapat ditekan hingga kurang dari 2% karena tersedianya intervensi PPIA dengan layanan optimal. Namun di Negara berkembang atau negara miskin, dengan minimnya akses intervensi, risiko penularan masih berkisar antara 20% dan 50%.
Menurut laporan UNAIDS (2009), terdapat kemajuan signifikan dalam mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Pada tahun 2008 diperkirakan 21% ibu hamil yang melahirkan di negara berpendapatan rendah dan menengah telah dites HIV, angka ini meningkat dibandingkan tahun 2007 (15%). Sementara itu, 45% dari ibu hamil yang terinfeksi HIV di negara berpendapatan rendah dan sedang, telah menerima obat antiretroviral (ARV) untuk mencegah penularan HIV ke bayinya pada tahun yang sama. Angka tersebut meningkat dibandingkan tahun 2007, yaitu 35%, dan tahun 2004 hanya 10% ibu hamil terinfeksi HIV yang menerima obat antiretroviral. Salah satu alasan meningkatnya cakupan tes HIV dan terapi ARV pada ibu hamil adalah meningkatnya tes HIV dan konseling atas inisiasi petugas (KTIP/PITC) di layanan antenatal dan persalinan, dan layanan kesehatan lainnya.
Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan salah satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian ibu dan anak. Sampai saat ini kasus HIV-AIDS telah dilaporkan oleh 341 dari 497 kabupaten/kota di 33 provinsi., pada tahun 2016 Kementerian Kesehatan memperkirakan Indonesia akan mempunyai hampir dua kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS dewasa dan anak (812.798 orang) dibandingkan pada tahun 2008 (411.543 orang), bila upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang dilaksanakan tidak adekuat sampai kurun waktu tersebut. (Laporan Pemodelan Matematika epidemi HIV di Indonesia,Kemenkes, 2012).
Data Kementerian Kesehatan (2012) menunjukkan dari 21.103 ibu hamil yang menjalani tes HIV, 534 (2,5%) di antaranya positif terinfeksi HIV. Hasil Pemodelan Matematika Epidemi HIV Kementerian Kesehatan tahun 2012 menunjukkan prevalensi HIV pada populasi usia 15-49 tahun dan prevalensi HIV pada ibu hamil di Indonesia diperkirakan akan meningkat. Jumlah kasus HIV-AIDS diperkirakan akan meningkat dari 591.823 (2012) menjadi 785.821 (2016), dengan jumlah infeksi baru HIVyang meningkat dari 71.879 (2012) menjadi 90.915 (2016). Sementara itu, jumlah kematian terkait AIDS pada populasi 15-49 tahun akan meningkat hampir dua kali lipat di tahun 2016. Penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya juga cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan HIV positif yang tertular baik dari pasangan maupun akibat perilaku yang berisiko. Meskipun angka prevalensi dan penularan HIV dari ibu ke bayi masih terbatas, jumlah ibu hamil yang terinfeksi HIV cenderung meningkat. Prevalensi HIV pada ibu hamil diproyeksikan meningkat dari 0,38% (2012) menjadi 0,49% (2016), dan jumlah ibu hamil HIV positif yang memerlukan layanan PPIA juga akan meningkat dari 13.189 orang pada tahun 2012 menjadi 16.191 orang pada tahun 2016.
            Di Provinsi Sumatera Barat, distribusi kasus AIDS terbesar terdapat di Kota Padang (322 kasus), Kota Bukit Tinggi (144 kasus), dan Kabupaten Agam (61 kasus). Sedangkan untuk prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk berdasarkan provinsi, Provinsi Sumatera Barat memiliki prevalensi 19,64% (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2014). Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2004, khususnya di daerah dengan tingkat epidemi HIV tinggi. Namun, hingga akhir tahun 2011 baru terdapat 94 layanan PPIA (Kemkes, 2011), yang baru menjangkau sekitar 7% dari perkiraan jumlah ibu yang memerlukan layanan PPIA.

B. Tujuan Penulisan
Mahasiswa mampu menyelesaikan masalah secara ilmiah dan melakukan perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi kebidanan (Midwifery Care).
1.    Mahasiswa mampu melaksanakan alternatif pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian masalah yang disepakati oleh bersama staf di unit pelayanan kebidanann di Rumah Sakit.
2.    Mampu mengevaluasi pelaksanaan kegiatan pada aspek masukan, proses, hasil dan dampak pada manajemen asuhan kebidanan.
3.    Mampu mempertahankan dan memperbaiki hasil melalui kerjasama dengan unit terkait di Rumah Sakit.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA



A. Kehamilan
Kehamilan atau persalinan merupakan proses alamiah (normal) dan bukan proses patologis, tetapi kondisi normal dapat menjadi patologi/ abnormal. Menyadari hal tersebut dalam melakukan asuhan tidak perlu melakukan intervensi-intervensi yang tidak perlu kecuali ada indikasi. (Kusmiyati, 2009)

2.        Prinsip Pokok Asuhan Kehamilan
Prinsip merupakan dasar atau azas atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir, bertindak dan sebagainya. Sebagai seorang Bidan dalam melakukan asuhan kebidanan harus berdasarkan prinsip sesuai tugas pokok dan fungsinya agar apa yang dilakukan tidak melanggar kewenangan atau mal praktik. Bidan dalam melaksanakan asuhan harus berpegang pada Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 tahun 1992, Kepmenkes 900 tahun 2002 tentang registrasi dan praktik Bidan, pelayanan dilaksanakan sesuai standar pelayanan kebidanan dan standar profesi Bidan. (Kusmiyati, 2009)

Ø  Mempromosikan dan menjaga kesehatan fisik, mental ibu dan kesehatan bayi dengan pendidikan, nutrisi, kebersihan diri dan proses kelahiran bayi
Ø  Mendeteksi dan menatalaksana komplikasi medis, bedah atau obstetri selama kehamilan
Ø  Mengembangkan persiapan persalinan serta kesiapan menghadapi komplikasi
Ø  Membantu menyiapkan ibu untuk menyusui dengan sukses, menjalankan nifas normal dan merawat anak secara fisik, psikologis dan sosial. (Kusmiyati, 2009)
Antenatal care akan efektif bila meliputi hal-hal sebagai berikut:
·         Asuhan diberikan oleh petugas yang terampil dan berkesinambungan
·         Persiapan menghadapi persalinan yang baik dengan memperkirakan komplikasi
·         Mempromosikan kesehatan dan pencegahan penyakit (tetanus toxoid, suplemen gizi, pencegahan konsumsi alkohol, rokok dan lainnya)
·         Mendeteksi dini komplikasi serta perawatan penyakit yang diderita ibu hamil (HIV, sifilis, tuberkulosis, penyakit medis lain yang diderita (misal: hipertensi, diabetes dan lain-lain)). (Kusmiyati, 2009)
Peran Bidan sebagai pelaksana memberi asuhan/ pelayanan. Bidan mempunyai tugas utama yaitu: mandiri, kolaborasi dan rujukan. Ada 7 langkah utama yang dilakukan: mengkaji, menentukan diagnosa, menyusun rencana tindakan, melaksanakan tindakan, evaluasi, tindak lanjut, dokumentasi.
Kewajiban Bidan:
·         Bidan wajib memberikan pelayanan asuhan kehamilan sesuai standar profesi dengan menghormati hak-hak klien
·         Wajib merujuk, menjaga rahasia. Memberi informasi, inform consent, dokumentasi, kerjasama pihak lain. (Kusmiyati, 2009)
Standar pelayanan ANC meliputi standar 14T, sehingga ibu hamil yang datang memperoleh pelayanan komprehensif dengan harapan antenatal care dengan standar 14T yaitu :
ü  5T :Ukur tinggi badan dan berat badan, ukur  tekanan darah, ukur  TFU, imunisasi TT, tablet zat besi (FE) minimal 90 tablet selama kehamilan
ü  7T : Tes PMS / VDRL, temu wicara / konseling
ü  12T:Pemeriksaan HB, pemeriksaan protein urin, pemeriksaan reduksi urine, perawatan payudara, pemeliharaan tingkat kebugaran.
Pemeriksaan HB untuk mengetahui apakah ibu anemia atau tidak. Bahaya anemia selama kehamilan dapat menimbulkan terjadinya abortus, persalinan prematuritas, hambatan tumbuh kembang janin dalam rahim dan mudah terjadinya infeksi.
ü     14T :Terapi yodium, pemeriksaan malaria (Pantiawati, 2010)

B. HIV (Human Immunodeficiency Virus)
1. Definisi
HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau sekunder atau infeksi kongenital melainkan oleh human immunodeficiency virus. Kausa sindrom imunodefisiensi ini adalah retrovirus DNA yaitu HIV-1 dan HIV-2 (Cunningham, 2006).
2. Etiologi
Penyebab dari virus ini adalah dari retrovirus golongan retroviridae, genus lenti virus.Terdiri dari HIV-1 dan HIV-2. Dimana HIV-1 memiliki 10 subtipe yang diberi dari kode A sampai J dan subtipe yang paling ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1.Secara morfologik, virus ini berbentuk bulat, terdiri dari bagian inti (core) yang berbentuk silindris dan selubung (envelope) yang berstruktur lipid bilayer yang membungkus bagian core, dimana didalam core ini terdapat RNA virus ini. Karena informasi genetik virus ini berupa RNA, maka virus ini harus mentransfer informasi genetiknya yang berupa RNA menjadi DNA sebelum diterjemahkan menjadi protein-protein. Dan untuk tujuan ini HIV memerlukan enzim reverse transkriptase (Maslow S, 1995).
3. Penularan
Kita masih belum mengetahui secara persis bagaimana HIV menular dari ibu ke bayi. Namun, kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir). Selain itu, bayi yang disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV. Hal ini ditunjukkan dalam gambar berikut:
Sumber: Green WC, 2009.
Ada beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi terinfeksi HIV. Yang paling mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang ada di dalam darah) ibunya. Oleh karena itu, salah satu tujuan utama terapi adalah mencapai viral load yang tidak dapat terdeteksi seperti juga ART (Antiretroviral Therapy) untuk siapa pun terinfeksi HIV. Viral load penting pada waktu melahirkan. Penularan dapat terjadi dalam kandungan yang dapat disebabkan oleh kerusakan pada plasenta, yang seharusnya melindungi janin dari infeksi HIV. Kerusakan tersebut dapat memungkinkan darah ibu mengalir pada janin. Kerusakan pada plasenta dapat disebabkan oleh penyakit lain pada ibu, terutama malaria dan TB (Green WC, 2009).
       Namun risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan, karena bayi tersentuh oleh darah dan cairan vagina ibu waktu melalui saluran kelahiran. Jelas, jangka waktu antara saat pecah ketuban dan bayi lahir juga merupakan salah satu faktor risiko untuk penularan. Juga intervensi untuk membantu persalinan yang dapat melukai bayi, misalnya vakum, dapat meningkatkan risiko. Karena air susu ibu (ASI) dari ibu terinfeksi HIV mengandung HIV, juga ada risiko penularan HIV melalui menyusui.
       Faktor risiko lain termasuk kelahiran prematur (bayi lahir terlalu dini) dan kekurangan perawatan HIV sebelum melahirkan. Sebenarnya semua faktor risiko menunjukkan satu hal, yaitu mengawasi kesehatan ibu. Beberapa pokok kunci yang penting adalah:
a.         status HIV bayi dipengaruhi oleh kesehatan ibunya,
b.         status HIV bayi tidak dipengaruhi sama sekali oleh status HIV ayahnya, dan
c.         status HIV bayi tidak dipengaruhi oleh status HIV anak lain dari ibu.
4. Faktor Resiko
Ada dua faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi:

1. Faktor ibu dan bayi
a.    Faktor ibu
       Kadar HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang ataupun saat persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya. Umumnya, satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV akan cepat sekali bertambah di tubuh seseorang. Risiko penularan akan lebih besar jika ibu memiliki kadar HIV yang tinggi pada menjelang ataupun saat persalinan. Jika ibu memiliki berat badan yang rendah selama kehamilan serta kekurangan vitamin dan mineral, maka risiko terkena berbagai penyakit infeksi juga meningkat. Biasanya, jika ibu menderita infeksi menular seksual atau infeksi reproduksi lainnya maupun malaria, maka kadar HIV akan meningkat (Depkes RI, 2006).
b.    Faktor bayi antara lain:
1.         Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah,
2.         Melalui ASI yang diberikan pada usia enam bulan pertama bayi, dan
3.         Bayi yang meminum ASI dan memiliki luka di mulutnya.
2. Faktor cara penularan (Obstetrik)
a.    Menular saat persalinan melalui percampuran darah ibu dan darah bayi.
b.    Bayi menelan darah ataupun lendir ibu.
c.    Persalinan yang berlangsung lama.
d.   Ketuban pecah lebih dari 4 jam.
e.    Penggunaan elektroda pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps, dan tindakan episiotomi
f.     Bayi yang lebih banyak mengonsumsi makanan campuran dari pada ASI.
Tabel 1. Faktor yang meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi
Masa kehamilan
Masa persalinan
Masa menyusui
Ibu baru terifeksi HIV
Ibu baru terinfeksi HIV
Ibu baru terinfeksi HIV
Ibu memiliki infeksi virus, bakteri, parasit.
Ibu mengalami pecah ketuban lebih dari 4 jam sebelum persalinan.
Ibu memberikan ASI dalam periode yang lama.
Ibu memiliki infeksi menular seksual.
Terdapat tindakan medis yang dapat meningkatkan kontak dengan darah ibu atau cairan tubuh ibu (seperti penggunaan elektroda pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps, dan episiotomi).
Ibu memberikan makanan campuran (mixed feeding) untuk bayi.

Ibu menderita kekurangan gizi.
Bayi merupakan janin pertama dari suatu kehamilan ganda (karena lebih dekat dengan leher rahim/serviks)
Ibu memiliki masalah pada payudara, seperti mastitis, abses, luka di puting payudara.

Ibu memiliki korioamniositis (dan IMS yang tak diobati atau infeksi lainnya).
Bayi memiliki luka di mulut.

5. Pengaruh Kehamilan Pada Perjalanan Penyakit HIV
Kehamilan tidak secara signifikan mempengaruhi resiko kematian, progresivitas menjadi AIDS atau progresivitas penurunan sel CD4 pada wanita yang terinfeksi HIV. Pengaruh kehamilan terhadap sel CD4 pertama kali dilaporkan oleh Burns, dkk. Pada kehamilan normal terjadi penurunan jumlah sel CD4 pada awal kehamilan untuk mempertahankan janin. Pada wanita yang tidak menderita HIV, presentase sel CD4 akan meningkat kembali mulai trisemester ketiga hingga 12 bulan setelah melahirkan. Sedangkan pada wanita yang terinfeksi HIV penurunan tetap terjadi pada kehamilan dan setelah melahirkan walaupun tidak bermakna secara statistik. Nemun penelitian dari European Collaborative Study dan Swiss HIV Pregnancy Cohort dengan jumlah sample yang lebih besar, menunjukkan presentase penurunan sel CD4 selama kehamilan sampai 6 bulan setelah melahirkan tetap stabil (Volderding, 1995).
Kehamilan ternyata hanya sedikit meningkatkan kadar virus (viral load) HIV. Kadar virus HIV meningkat terutama setelah 2 tahun persalinan, walaupun secara statistik tidak bermakna. Kehamilan juga tidak mempercepat progresivitas penyakit menjadi AIDS. Italian Seroconversion Study Group membandingkan wanita terinfeksi HIV dan pernah hamil ternyata tidak menunjukkan perbedaan resiko menjadi AIDS atau penurunan CD4 menjadi kurang dari 200 (McFarland, 2003).
a.    Pengaruh Infeksi HIV pada Kehamilan
Penelitian di negara maju sebelum era anti retrovirus menunjukkan bahwa HIV tidak menyebabkan peningkatan prematuritas, berat badan lahir rendah atau gangguan pertumbuhan intra uterin. Sedangkan di negara berkembang, infeksi HIV justru meningkatkan kejadian aborsi, prematuritas, gangguan pertumbuhan intra uterin dan kematian janin intra uterin terutama pada stadium lanjut. Selain karena kondisi fisik ibu yang lebih buruk juga karena kemungkinan penularan perinatalnya lebih tinggi (McFarland, 2003).


b.   Transmisi Vertikal HIV
Tanpa intervensi, resiko penularan HIV dari ibu ke janinnya yang dilaporkan berkisar antara 15%-45%. Resiko penularan ini lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju (21%-43% dibandingkan 14%-26%). Penularan dapat terjadi pada intra uterin, intrapartum dan post partum. Sebagian besar penularan terjadi intra partum. Pada ibu yang tidak menyusui, 24%-40% penularan terjadi intra uterin dan 60%-75% terjadi selama persalinan. Sedangkan pada ibu yang menyusui bayinya, sekitar 20%-25% penularan terjadi intra uterin, 60%-70% intra partum dan saat awal menyusui dan 10%-15% setelah persalinan. Resiko infeksi intra uterin, intra partum dan pasca persalinan adalah 6%, 18% dan 4% dari keseluruhan kelahian ibu dengan HIV positif (Yunihastuti, 2003).
1)      Transmisi Intra Uterin
Kejadian transmisi HIV pada janin kembar dan ditemukannya DNA HIV, IgM anti-HIV dan antigen p24 pada neonatus pada minggu pertama membuktikan bahwa transmisi dapat terjadi selama kehamilan. Walaupun masih belum jelas, mekanismenya diduga melalui plasenta. Pemeriksaan patologi menemukan HIV dalam plasenta ibu yang terinfeksi HIV. Sel limfosit atau monosit ibu yang terinfeksi HIV atau virus HIV itu sendiri dapat mencapai janin secara langsung melalui lapisan sinsitiotrofoblas, atau secara tidak langsung melalui trofoblas dan menginfeksi sel makrofag plasenta (sel Houfbauer) yang mempunyai reseptor CD4. Plasenta diduga juga mempunyai efek anti HIV-1 dengan mekanisme yang masih belum diketahui. Salah satu hormon plasenta yaitu human chorionic gonadotropin (hCG) diduga melindungi janin dari HIV-1 melalui beberapa cara, seperti menghambat penetrasi virus ke jaringan plasenta, mengkontrol replikasi virus di dalam sel plasenta, dan menginduksi apoptosis sel-sel yang terinfeksi HIV-1.Menurut Pediatric Virology Committee of the AIDS Clinical Trials Group (PACTG), transmisi dikatakan intra uterin/ infeksi awal, jika tes virology positif dalam 48 jam setelah kelahiran dan tes berikutnya juga positif (McFarland, 2003).
2). Transmisi Intrapartum
Transmisi intrapartum/ infeksi lambat didiagnosis jika pemeriksaan virologis negatif dalam 48 jam pertama setelah kelahiran dan tes 1 minggu berikutnya menjadi positif dan bayi tidak menyusui. Selama persalinan, bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal yang mengandung HIV melalui paparan trakheobronkial atau tertelan pada jalan lahir. HIV ditemukan pada cairan servikovaginal wanita terinfeksi HIV-AIDS sekitar 21% dan pada cairan aspirasi lambung bayi yang dilahirkan sekitar 10%. Terdapatnya HIV pada cairan servikovaginal berhubungan dengan tubuh vagina abnormal, kadar sel CD4 yang rendah dan defisiensi vitamin A. Selain menurunkan imunitas, defisiensi vitamin A akan menurunkan integritas plasenta dan permukaan mukosa jalan lahir, sehingga akan memudahkan terjadi trauma pada jalan lahir dan transmisi HIV secara vertikal. Besarnya paparan pada jalan lahir juga dikaitkan dengan ulkus serviks atau vagina, korioamnionitis, ketuban pecah sebelum waktunya, persalinan prematur, penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps, episiotomi dan rendahnya kadar CD4 ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan resiko transmisi antepartum sampai dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan. Diantara faktor-faktor tersebut, kadar HIV ibu pada saat persalinan atau menjelang persalinan merupakan prediktor paling penting. Karena itu, resiko penularan lebih tinggi terjadi pada ibu hamil dengan infeksi HIV primer. Namun, belum ada angka pasti pada kadar HIV berapa penularan dapat terjadi. Kadar HIV yang rendah atau tidak terdeteksi tidak menjamin bahwa bayi tidak akan tertular karena pada beberapa kasus penularan tetap terjadi. Selain itu, kadar HIV ibu sebelum dan saat persalinan juga akan menentukan kadar HIV pada bayi yang ditularkannya. Wiener, dkk mengemukakan hubungan linier kadar HIV ibu dan kadar HIV bayi pada 3 bulan pertama kehidupannya (McFarland, 2003).
3) Transmisi Post Partum
Air susu ibu diketahui mengandung HIV dalam cukup banyak. Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang menderita HIV adalah 1 per 104 sel. Partikel virus dapat ditemukan pada komponen sel dan non-sel air susu ibu. HIV ditemukan pada 58% pemeriksaan kolostrum dan air susu ibu. Kadar HIV tertinggi dalam air susu ibu terjadi mulai minggu pertama sampai tiga bulan setelah persalinan. HIV dalam konsentrasi rendah masih dapat dideteksi pada air susu ibu sampai 9 bulan setelah persalinan. Resiko penularan pada bayi yang disusui paling tinggi pada enam bulan pertama, kemudian menurun secara bertahap pada bulan-bulan berikutnya.
Kadar HIV pada air susu ibu dipengaruhi kadar serum ibu, sel CD4 ibu, defisiensi vitamin A. Kadar HIV di dalam air susu ibu lebih tinggi pada ibu yang anaknya terinfeksi HIV daripada yang tidak terinfeksi HIV. Berbagai macam faktor lain yang dapat mempertinggi resiko transmisi HIV melalui air susu ibu antara lain mastitis atau luka diputing susu, abses payudara, lesi dimukosa mulut bayi, prematuritas dan respon imun bayi.
Diagnosis infeksi HIV juga ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan hasil penemuan laboratorium. Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV misalnya :
Ø Lahir dengan ibu resiko tinggi.
Ø Lahir dari ibu dengan pasangan resiko tinggi.
Ø Penerima tranfusi darah atau komponennya, terutama bila berulang dan tanpa uji HIV.
Ø Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu narkotika)
Ø Homoseksual atau biseksual.
Ø Kebiasaan seksual yang keliru.
Gejala klinis yang mendukung misalnya infeksi oportunistik, penyakit menular seksual, infeksi yang berulang atau berat, terdapat gagal tumbuh, adanya ensefalopati yang menetap atau progresif, penyakit paru interstitiel, keganasan sekunder, kardiomiopati dan lain-lainnya. Untuk diagnostik yang pasti dikerjakan pemeriksaan laboratorium mulai dari yang relatif sederhana hingga yang relatif sulit dan mahal, yaitu mulai dari menentukan adanya antibodi anti-HIV misalnya dengan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbant Assay) yang dilanjutkan dengan uji yang lebih pasti seperti Western blot assay dan lain-lainnya (Suwendra, 2001).
Infeksi HIV pada wanita seringkali terdeteksi pada masa kehamilan, waktu dilakukan uji saring HIV antenatal. Uji serologis HIV-1 antibodi spesifik IgG merupakan tes dengan spesifikasi yang tinggi. Sera yang reaktif terhadap anti HIV pada uji saring, sebaiknya diuji ulang dan hasilnya dikonfirmasikan dengan sistem uji lainnya. Untuk diagnostik, contoh sera harus diambil ulang untuk mengkonfirmasi ada tidaknya infeksi. Pada umumnya wanita yang terinfeksi menampilkan kondisi sera yang reaktif 6-8 minggu setelah infeksi, meskipun pada beberapa kasus antibodi tersebut tidak timbul setelah 6-9 bulan kemudian. Hasil negatif tes antibodi berarti wanita tersebut tidak terkena infeksi HIV lebih dari 6 bulan yang lalu, tetapi dapat juga berarti uji negatif palsu (false negatif), bila wanita itu diuji pada waktu periode jendela (window periode) antara infeksi dan serokonversi (Maslow, 1995).
Sedangkan pada bayi pemeriksaan serologis standar seperti IgG anti-HIV dan Western Blot tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sebelum usia 18 bulan. Hal ini disebabkan masih dapat ditemukannya IgG anti-HIV ibu yang melewati plasenta di darah bayi, bahkan sampai usia 24 bulan. Sedangkan IgA dan IgM anti-HIV tidak dapat melewati plasenta, sehingga dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada bayi. Akan tetapi, sensitivitas kedua pemeriksaan ini masih rendah (Yunihastuti, dkk, 2003).
Pada bayi di bawah usia 18 bulan, pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain kultur HIV, teknik PCR (Polymerase chain Reaction) untuk mendeteksi DNA atau RNA HIV dan deteksi antigen p24.Infeksi HIV ditegakkan bila dua sample dari dua kali pemeriksaan yang berbeda dengan kultur, DNA HIV atau RNA HIV menunjukkan hasil positif. Disebut tidak terinfeksi bila dua macam sampel tes yang berbeda menunjukkan hasil negatif (McFarland, 2003).
Pemeriksaan antibodi HIV paling banyak menggunakan metode ELISA/EIA (enzyme linked immunoadsorbent assay). ELISA pada mulanya digunakan untuk skrining darah donor dan pemeriksan darah kelompok risiko tinggi. Pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV, tes ini efektif dilakukan pada bayi yang berusia 18 bulan keatas. Pemeriksaan ELISA harus menunjukkan hasil positif 2 kali (reaktif) dari 3 tes yang dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi yang biasanya dengan memakai metode Western Blot. Penggabungan tes ELISA yang sangat sensitif dan Western Blot yang sangat spesifik mutlak dilakukan untuk menentukan apakah seseorang positif AIDS.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan lainnya yaitu:
a)    Foto toraks
b)   Pemeriksaan fisik
• Penampilan umum tampak sakit sedang, berat.
• Tanda vital.
• Kulit: rush, Steven Jhonson.
• Mata: hiperemis, ikterik, gangguan penglihatan.
• Leher: pembesaran KGB.
• Telinga dan hidung: sinusitis, berdengung.
• Rongga mulut: candidiasis.
• Paru: sesak nafas, efusi pleura.
• Jantung: kardiomegali.
• Abdomen: asites, distensi abdomen, hepatomegali.
• Genetalia dan rektum: herpes.
• Neurologi: kejang, gangguan memori, neuropati.
c)      Mantoux test
d)     Pemeriksaan laboratorium darah (Kadar CD4, Hepatitis, Paps smear, Toxoplasma, Virus load.

Cara terbaik untuk memastikan bahwa bayi kita tidak terinfeksi dan kita tetap sehat adalah dengan memakai terapi antiretroviral (ART). Perempuan terinfeksi HIV di seluruh dunia sudah memakai obat antiretroviral (ARV) secara aman waktu hamil lebih dari sepuluh tahun. ART sudah berdampak besar pada kesehatan perempuan terinfeksi HIV dan anaknya. Oleh karena ini, banyak dari mereka yang diberi semangat untuk mempertimbangkan mendapatkan anak. Antiretrovirus direkomendasikan untuk semua wanita yang terinfeksi HIVAIDS yang sedang hamil untuk mengurangi resiko transmisi perinatal. Hal ini berdasarkan bahwa resiko transmisi perinatal meningkat sesuai dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi dapat diturunkan hingga 20% dengan terapi antiretrovirus (McFarland, 2003).
Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan adalah menekan perkembangan virus, memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki kualitas hidup, mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang menyertai HIV. Pada kehamilan, keuntungan pemberian antiretrovirus ini harus dibandingkan dengan potensi toksisitas, teratogenesis dan efek samping jangka lama. Akan tetapi, efek penelitian mengenai toksisitas, teratogenesis, dan efek samping jangka lama antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit. Efek samping tersebut diduga akan meningkat pada pemberian kombinasi antiretrovirus, seperti efek teratogenesis kombinasi antiretrovirus dan antagonis folat yang dilaporkan Jungmann, dkk. Namun penelitian terakhir oleh Toumala, dkk menunjukkan bahwa dibandingkan dengan monoterapi, terapi kombinasi antiretrovirus tidak meningkatkan resiko prematuritas, berat badan lahir rendah atau kematian janin intrauterine (Maslow, 1995).
Obat antiretrovirus yang pertama kali diteliti untuk mengurangi resiko transmisi perinatal adalah zidovudin (ZDV). Pada Pediatric Virology Committee of the AIDS Clinical Trials Group (PACTG) 076, zidovudin yang diberikan peroral mulai minggu ke-14 kehamilan, dilanjutkan zidovudin intravena pada saat intrapartum untuk ibu, diikuti dengan zidovudin sirup yang diberikan pada bayi sejak usia 6-12 jam sampai 6 minggu (McFarland, 2003).
Selain monoterapi dengan zidovudin, regimen lain yang sudah diteliti alah monoterapi dengan nevirapin dan terapi kombinasi zidovudin dan lamivudin.Lallement, dkk juga sedang meneliti kombinasi zidovudin dan nevirapin.Saat ini di Indonesia beberapa antiretrovirus tersebut sudah tersedia dalam bentuk generik dengan harga yang lebih murah antara lain zidovudin, lamivudin, nevirapin dan stavudin. Dapat diberikan dosis tunggal 200 mg bagi ibu pada saat melahirkan disertai pemberian nevirapin 2 mg/kgBB dosis tunggal bagi bayi pada usia 2 atau 3 hari. Selain karena harga obat generiknya yang cukup murah, seringkali wanita hamil terinfeksi HIV-AIDS baru dating pada saat melahirkan (McFarland, 2003).
Berdasarkan penelitian-penelitian Perinatal HIV Guidelines Working Group di Amerika Serikat mengajukan rekomendasi pemberian antiretrovirus. Rekomendasi ini tidak berbeda dengan yang direkomendasikan British HIV Association. Rekomendasi yang dianjurkan yaitu :
a.    Situasi kehamilan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang belum pernah menggunakan antiretrovirus sebelumnya.
Rekomendasi: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS menjalani pemeriksaan klinis, imunologis dan virologis standar. Pertimbangan inisiasi dan pemilihan antiretrovirus sama dengan wanita yang terinfeksi HIV-AIDS yang tidak hamil dengan pertimbangan efek terhadap kehamilan. Jika wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS datang pada trimester pertama kehamilan, pemberian antiretrovirus dapat ditunda sampai usia kehamilan 10-12 minggu.
b.   Situasi Kehamilan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV- AIDS yang sedang mendapatkan antiretrovirus.
Rekomendasi: Jika kehamilan diketahui setelah trimester pertama, terapi antiretrovirus sebelumnya diteruskan, sebaiknya dengan menyertakan zidovudin. Jika kehamilan diketahui pada trimester pertama, wanita hamil yang terinfeksi HIV- AIDS diberikan konseling tentang keuntungan dan resiko antiretrovirus pada trimester pertama. Jika wanita hamil yang terinfeksi HIV–AIDS memilih menghentikan antiretrovirus selama trimester pertama, semua obat harus dihentikan untuk kemudian diberikan secara simultan setelah trimester pertama untuk mencegah resistensi obat. Tanpa mempertimbangkan regimen sebelumnya, zidovudin dianjurkan untuk diberikan selama intrapartum dan pada bayi.
c.    Situasi Kehamilan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV- AIDS datang pada saat persalinan dan belum mendapat antiretrovirus.
Rekomendasi: Ada beberapa regimen yang dianjurkan :
Ø  Nevirapin dosis tunggal pada saat persalinan dan dosis tunggal pada bayi pada usia 48 jam;
Ø  Zidovudin dan lamivudin oral pada persalinan, diikuti zidovudin/ lamivudin pada bayi selama seminggu;
Ø  Zidovudin intravena intrapartum, diikuti zidovudin pada bayi selama 6 minggu;
Ø  Dua dosis nevirapin dikombinasi dengan zidovudin intravena selama persalinan diikuti zidovudin pada bayi selama 6 minggu.
Ø  Segera setelah persalinan, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS menjalani pemeriksaan seperti CD4 dan kadar HIV untuk menentukan apakah antiretrovirus akan dilanjutkan.
d.        Situasi Kehamilan: Jika bayi dari ibu wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS datang setelah persalinan, sedangkan ibu belum mendapatkan antiretrovirus selama kehamilan atau intrapartum.
Rekomendasi: Zidovudin sirup diberikan pada bayi selama 6 minggu, dimulai secepatnya dalam 6-12 jam setelah kelahiran (McFarland, 2003).
1)        Penatalaksanaan Obsterik
Untuk mengurangi resiko transmisi HIV yang terutama terjadi pada saat intrapartum, beberapa peneliti mencoba membandingkan transmisi antara wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang menjalani seksio sesarea dengan partus pervaginam. Persalinan dengan seksio sesarea dipikirkan dapat mengurangi paparan bayi dengan cairan servikovaginal yang mengandung HIV (Volderding, 1995).
Selain seksio sesarea, berbagai cara telah dicoba untuk menurunkan resiko transmisi intrapartum pada wanita yang terinfeksi HIV-AIDS. Salah satunya adalah pencucian jalan lahir dengan kassa yang direndam dengan 0,25% klorheksidin. Ternyata cara ini tidak dapat mengurangi resiko transmisi partus pervaginam. Perinatal HIV Guidelines Working Group di Amerika Serikat mengajukan rekomendasi penatalaksanaan obstetrik untuk mengurangi transmisi HIV vertikal. Rekomendasi yang dianjurkan adalah:
a.        Cara Persalinan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang datang pada kehamilan di atas 36 minggu, belum mendapat antiretrovirus, dan sedang menunggu hasil pemeriksaan kadar HIV dan CD4 yang diperkirakan ada sebelum persalinan.
Rekomendasi: Ada beberapa regimen yang harus didiskusikan dengan jelas. Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS harus mendapat terapi antiretrovirus seperti regimen PACTG 076. Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS dilakukan konseling tentang seksio sesarea untuk mengurangi resiko transmisi dan resiko komplikasi pascaoperasi, anestesi, dan resiko operasi lain padanya. Jika diputuskan seksio sesarea, seksio direncanakan pada minggu ke-38 kehamilan,. Selama seksio, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS mendapat zidovudin intravena yang dimulai 3 jam sebelumnya, dan bayi mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu. Keputusan akan meneruskan antiretrovirus setelah melahirkan atau tidak tergantung pada hasil pemeriksaan kadar virus dan CD4.
b.        Cara Persalinan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang datang pada kehamilan awal, sedang mendapat kombinasi antiretrovirus, dan kadar HIV tetap di atas 1000 kopi/mL pada minggu ke 36 kehamilan.
Rekomendasi: Regimen antiretrovirus yang digunakan tetap diteruskan. Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS harus mendapat konseling bahwa kadar HIV-nya mungkin tidak turun sampai kurang dari 1000 kopi/mL sebelum persalinan, sehingga dianjurkan untuk melakukan seksio sesarea. Demikian juga dengan resiko komplikasi seksio yang meningkat, seperti infeksi pascaoperasi, anestesi, dan operasi. Jika diputuskan seksio sesarea, seksio direncanakan pada minggu ke-38 kehamilan. Selama seksio, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS mendapat zidovudin intravena yang dimulai minimal 3 jam sebelumnya. antiretrovirus lain tetap diteruskan sebelum dan sesudah persalinan. Bayi mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu.
c.         Cara Persalinan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang sedang mendapat kombinasi antiretrovirus, dan kadar HIV tidak terdeteksi pada minggu ke 36 kehamilan.
Rekomendasi: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS diberikan konseling bahwa kemungkinan transmisi jika kadar HIV tidak terdeteksi mungkin kurang dari 2 %, bahkan pada persalinan pervaginam. Pemilihan cara persalinan harus mempertimbangkan keuntungan dan resiko komplikasi seksio.
d.        Cara Persalinan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang sudah direncanakan seksio sesarea elektif, namun datang pada awal persalinan atau setelah ketuban pecah.
Rekomendasi: Zidovudin intravena segera diberikan. Jika kemajuan persalinan cepat, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS ditawarkan untuk menjalani persalinan pervaginam. Jika dilatasi serviks minimal dan diduga persalinan akan berlangsung lama, dapat dipilih antara zidovudine intravena dan melakukan seksio sesarea atau memberikan pitosin untuk mempercepat persalinan. Jika diputuskan untuk menjalani persalinan pervaginam, elektrode kepala, monitor invasive dan alat bantu lain sebaiknya dihindari. Bayi sebaiknya mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu.
HIV adalah virus penyebab AIDS, dapat menular dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya. Tanpa upaya pencegahan, kurang-lebih 30 persen bayi dari ibu yang terinfeksi HIV menjadi tertular juga. Infeksi dapat terjadi kapan saja selama kehamilan, namun biasanya terjadi beberapa saat sebelum atau selama persalinan. Bayi lebih mungkin terinfeksi bila proses persalinan berlangsung lama. Selama persalinan, bayi yang baru lahir terpajan darah ibunya. (Ngwende, Stella, 2013)
Seperti diuraikan di atas, ART telah terbukti telah memainkan peran penting dalam menurunkan tingkat PMTCT dan di mana pedoman ada yang merekomendasikan, berdasarkan bukti, bahwa semua wanita hamil HIV positif harus sudah mulai ART pada minggu 24 kehamilan mereka, infeksi HIV di kalangan anak-anak meningkat jika jumlah CD4 ibu adalah ≤200 sel / uL dan jika anak itu terkena makan campuran. ASI eksklusif selama kurang dari enam bulan adalah pelindung. Direkomendasikan periode pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama dan berhenti menyusui setelah 6 bulan jika terjangkau, berkelanjutan dan aman. (Ngwende, Stella, 2013)
Sebagaimana telah kita lihat di atas, seorang wanita hamil yang positif HIV risiko menularkan virus kepada anaknya dalam rahim. Namun, seperti disebutkan sebelumnya, ada berbagai langkah yang dapat diambil untuk mengurangi risiko penularan. Ini termasuk ART menjalani dan pengiriman tepat. Namun, agar pengobatan yang tepat akan tersedia, tenaga profesional kesehatan perlu mengetahui status HIV dari ibu. Oleh karena itu, seperti diuraikan di atas, tes HIV antenatal telah menjadi bagian penting dalam proses mengurangi HIV ini termasuk dalam 14 standar T diantaranya adalah tes PMS. Sebagai seorang Bidan kita harus bisa melakukan deteksi dini terutama kepada ibu hamil yang beresiko tinggi untuk mengidap infeksi menular seksual. (Pantiawati, 2010)
Program untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, dilaksanakan secara komprehensif dengan menggunakan empat prong, yaitu:
Ø Prong 1: mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduktif.
Ø Prong 2: mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif.
Ø Prong 3: mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya.
Ø Prong 4: memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta bayi dan keluarganya (Kemenkes, 2012).
Prong 1: Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi
-        Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV pada anak adalah dengan mencegah penularan HIV pada perempuan usia reproduksi 15-49 tahun (pencegahan primer). Pencegahan primer bertujuan mencegah penularan HIV dari ibu ke anak secara dini, yaitu baik sebelum terjadinya perilaku hubungan seksual berisiko atau bila terjadi perilaku seksual berisiko maka penularan masih bisa dicegah, termasuk mencegah ibu dan ibu hamil agar tidak tertular oleh pasangannya yang terinfeksi HIV.
-        Upaya pencegahan ini tentunya harus dilakukan dengan penyuluhan dan penjelasan yang benar terkait penyakit HIV dan AIDS, dan penyakit IMS dan di dalam koridor kesehatan reproduksi. Isi pesan yang disampaikan tentunya harus memperhatikan usia, norma, dan adat istiadat setempat, sehingga proses edukasi termasuk peningkatan pengetahuan komprehensif terkait HIV dan AIDS dikalangan remaja semakin baik.
-        Untuk menghindari perilaku seksual yang berisiko upaya mencegah penularan HIV menggunakan strategi “ABCD”, yaitu:
o  A (Abstinence), artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah;
o  B (Be Faithful), artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak berganti-ganti pasangan);
o  C (Condom), artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan seksual dengan menggunakan kondom;
o  D (Drug No), artinya Dilarang menggunakan narkoba(Kemenkes, 2012).
Kegiatan yang dapat dilakukan pada pencegahan primer antara lain:
1)   Menyebarluaskan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) tentang HIV dan AIDS dan Kesehatan Reproduksi, baik secara individu maupun kelompok, untuk:
a.    Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang cara menghindari penularan HIV dan IMS
b.    Menjelaskan manfaat mengetahui status atau tes HIV sedini mungkin
c.    Meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan tentang tata laksana ODHA perempuan
d.   Meningkatkan keterlibatan aktif keluarga dan komunitas untuk meningkatkan pengetahuan komprehensif HIV dan IMS
Sebaiknya, pesan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak juga disampaikan kepada remaja, sehingga mereka mengetahui cara agar tidak terinfeksi HIV. Informasi tentang Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak juga penting disampaikan kepada masyarakat luas sehingga dukungan masyarakat kepada ibu dengan HIV dan keluarganya semakin kuat (Kemenkes, 2012).
2)   Mobilisasi masyarakat
a.    Melibatkan petugas lapangan (seperti kader kesehatan/PKK, Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), atau posyandu) sebagai pemberi informasi pencegahan HIV dan IMS kepada masyarakat dan untuk membantu klien mendapatkan akses layanan kesehatan .
b.    Menjelaskan tentang cara pengurangan risiko penularan HIV dan IMS, termasuk melalui penggunaan kondom dan alat suntik steril
c.    Melibatkan komunitas, kelompok dukungan sebaya, tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam menghilangkan stigma dan diskriminasi
3)   Layanan tes HIV
Konseling dan tes HIV dilakukan melalui pendekatan Konseling dan Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan (TIPK) dan Konseling dan Tes Sukarela (KTS), yang merupakan komponen penting dalam upaya Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak. Cara untuk mengetahui status HIV seseorang adalah melalui tes darah. Prosedur pelaksanaan tes darah dilakukan dengan memperhatikan 3 C yaitu Counselling, Confidentiality, dan informed consent. Jika status HIV ibu sudah diketahui:
a.    HIV positif: lakukan intervensi PPIA komprehensif agar ibu tidak menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya
b.    HIV negatif: lakukan konseling tentang cara menjaga agar tetap HIV negatif
Layanan konseling dan tes HIV diintegrasikan dengan pelayanan KIA sesuai dengan strategi Layanan Komprehensif Berkesinambungan, agar:
a.       Konseling dan tes HIV dapat ditawarkan kepada semua ibu hamil dalam paket pelayanan ANC terpadu, sehingga akan mengurangi stigma terhadap HIV dan AIDS;
b.      Layanan konseling dan tes HIV di layanan KIA akan menjangkau banyak ibu hamil, sehingga pencegahan penularan ibu ke anaknya dapat dilakukan lebih awal dan sedini mungkin.
c.       Penyampaian informasi dan tes HIV dapat dilakukan oleh semua petugas di fasilitas pelayanan kesehatan kepada semua ibu hamil dalam paket pelayanan ANC terpadu, sehingga akan mengurangi stigma terhadap HIV dan AIDS.
d.      Pelaksanaan konseling dan tes HIV mengikuti Pedoman Konseling dan Tes HIV; petugas wajib menawarkan tes HIV dan melakukan pemeriksaan IMS, termasuk tes sifilis, kepada semua ibu hamil mulai kunjungan antenatal pertama bersama dengan pemeriksaan laboratorium lain untuk ibu hamil (inklusif dalam paket pelayanan ANC terpadu).
e.       Tes HIV ditawarkan juga bagi pasangan laki-laki perempuan dan ibu hamil yang dites (couple conselling);
f.       Di setiap jenjang layanan kesehatan yang memberikan layanan PPIA dalam paket pelayanan KIA, harus ada petugas yang mampu melakukan konseling dan tes HIV;
g.      Di layanan KIA, konseling pasca tes bagi perempuan HIV negatif difokuskan pada informasi dan bimbingan agar klien tetap HIV negatif selama kehamilan, menyusui dan seterusnya;
h.      Konseling penyampaian hasil tes bagi perempuan atau ibu hamil yang HIV positif juga memberikan kesempatan untuk dilakukan konseling berpasangan dan penawaran tes HIV bagi pasangan laki-laki;
i.        Pada setiap jenjang pelayanan kesehatan, aspek kerahasiaan ibu hamil ketika mengikuti proses konseling sebelum dan sesudah tes HIV harus terjamin;
j.        Menjalankan konseling dan tes HIV di klinik KIA berarti mengintegrasikan juga program HIV dan AIDS dengan layanan lainnya, seperti pemeriksaan rutin untuk IMS, pengobatan IMS, layanan kesehatan reproduksi, pemberian gizi tambahan, dan keluarga berencana;
k.      Upaya pengobatan IMS menjadi satu paket dengan pemberian kondom sebagai bagian dari upaya pencegahan.
4)        Dukungan untuk perempuan yang HIV negatif
a.    Ibu hamil yang hasil tesnya HIV negatif perlu didukung agar status dirinya tetap HIV negatif;
b.    Menganjurkan agar pasangannya menjalani tes HIV;
c.    Membuat pelayanan KIA yang bersahabat untuk pria, sehingga mudah dan dapat diakses oleh suami/pasangan ibu hamil;
d.   Mengadakan kegiatan konseling berpasangan pada saat kunjungan ke layanan KIA;
e.    Peningkatan pemahaman tentang dampak HIV pada ibu hamil, dan mendorong dialog yang lebih terbuka antara suami dan istri/ pasangannya tentang perilaku seksual yang aman;
f.     Memberikan informasi kepada pasangan laki-laki atau suami bahwa dengan melakukan hubungan seksual yang tidak aman, dapat berakibat pada kematian calon bayi, istri dan dirinya sendiri;
g.    Menyampaikan informasi kepada pasangan laki-laki atau suami tentang pentingnya memakai kondom untuk mencegah penularan HIV.

Prong 2: Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV
Perempuan dengan HIV berpotensi menularkan virus kepada bayi yang dikandungnya jika hamil.Karena itu, ODHA perempuan disarankan untuk mendapatkan akses layanan yang menyediakan informasi dan sarana kontrasepsi yang aman dan efektif untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan. Konseling yang berkualitas,penggunaan alat kontrasepsi yang aman dan efektif serta penggunaan kondom secara konsisten akan membantu perempuan dengan HIV agar melakukan hubungan seksual yang aman, serta menghindari terjadinya kehamilan yang tidak direncanakan. Perlu diingat bahwa infeksi HIV bukan merupakan indikasi aborsi.
·         Perempuan dengan HIV yang tidak ingin hamil dapat menggunakan kontrasepsi yang sesuai dengan kondisinya dan disertai penggunaan kondom untuk mencegah penularan HIV dan IMS.
·         Perempuan dengan HIV yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak lagi disarankan untuk menggunakan kontrasepsi mantap dan tetap menggunakan kondom.
Sejalan dengan kemajuan pengobatan HIV dan intervensi PPIA, ibu dengan HIV dapat merencanakan kehamilannya dan diupayakan agar bayinya tidak terinfeksi HIV. Petugas kesehatan harus memberikan informasi yang lengkap tentang berbagai kemungkinan yang dapat terjadi, terkait kemungkinan terjadinya penularan, peluang anak untuk tidak terinfeksi HIV. Dalam konseling perlu juga disampaikan bahwa perempuan dengan HIV yang belum terindikasi untuk terapi ARV bila memutuskan untuk hamil akan menerima ARV seumur hidupnya. Jika ibu sudah mendapatkan terapi ARV, jumlah virus HIV di tubuhnya menjadi sangat rendah (tidak terdeteksi), sehingga risiko penularan HIV dari ibu ke anak menjadi kecil, artinya, ia mempunyai peluang besar untuk memiliki anak HIV negatif. Ibu dengan HIV berhak menentukan keputusannya sendiri atau setelah berdiskusi dengan pasangan, suami atau keluarganya. Perlu selalu diingatkan walau ibu/pasangannya sudah mendapatkan ARV demikian penggunaan kondom harus tetap dilakukan setiap hubungan seksual untuk pencegahan penularan HIV pada pasangannya. Beberapa kegiatan untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV antara lain:
o  Mengadakan KIE tentang HIV dan AIDS dan perilaku seks aman;
o  Menjalankan konseling dan tes HIV untuk pasangan;
o  Melakukan upaya pencegahan dan pengobatan IMS;
o  Melakukan promosi penggunaan kondom;
o  Memberikan konseling pada perempuan dengan HIV untuk ikut KB dengan menggunakan metode kontrasepsi dan cara yang tepat;
o  Memberikan konseling dan memfasilitasi perempuan dengan HIV yang ingin merencanakan kehamilan.
Prong 3: Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang dikandungnya
Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah terinfeksi HIV ini merupakan inti dari kegiatan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak yang komprehensif mencakup kegiatan sebagai berikut:
1. Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV;
2. Diagnosis HIV
3. Pemberian terapi antiretroviral;
4. Persalinan yang aman;
5. Tata laksana pemberian makanan bagi bayi dan anak;
6. Menunda dan mengatur kehamilan;
7. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak;
8. Pemeriksaan diagnostik HIV pada anak.
Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, diimplementasikan Prong 1 dan Prong 2. Pada daerah dengan prevalensi HIV yang terkonsentrasi, diimplementasikan semua prong. Ke-empat prong secara nasional dikoordinir dan dijalankan oleh pemerintah, serta dapat dilaksanakan institusi kesehatan swasta dan lembaga swadaya masyarakat.
Pedoman baru dari WHO mengenai pencegahan penularan dari ibu ke bayi (preventing mother-to-child transmission/ PMTCT) berpotensi meningkatkan ketahanan hidup anak dan kesehatan ibu, mengurangi risiko (mother-to-child transmission/MTCT) hingga 5% atau lebih rendah serta secara jelas memberantas infeksi HIV pediatrik.Pedoman itu memberikan perubahan yang bermakna pada beberapa tindakan di berbagai bidang. Anjuran kunci adalah:
-     ART untuk semua ibu hamil yang HIV-positif dengan jumlah CD4+ di bawah 350 atau penyakit WHO stadium 3 atau penyakit HIV stadium 4, tidak menunda mulai pengobatan dengan tulang punggung AZT dan 3TC atau tenofovir dan dengan 3TC atau FTC.
-     Penyediaan antiretroviral profilaksis yang lebih lama untuk ibu hamil yang HIV-positif yang membutuhkan ART untuk kesehatan ibu.
-     Apabila ibu menerima ART untuk kesehatan ibu, bayi harus menerima profilaksis nevirapine selama enam minggu setelah lahir apabila ibunya menyusui, dan profilaksis dengan nevirapine atau AZT selama enam minggu apabila ibu tidak menyusui.
-     Untuk pertama kalinya ada cukup bukti bagi WHO untuk mendukung pemberian ART kepada ibu atau bayi selama masa menyusui, dengan anjuran bahwa menyusui dan profilaksis harus dilanjutkan hingga bayi berusia 12 bulan apabila status bayi adalah HIV-negatif atau tidak diketahui.
-     Apabila ibu dan bayi adalah HIV-positif, menyusui harus didorong untuk paling sedikit dua tahun hidup, sesuai dengan anjuran bagi populasi umum.
Untuk mencegah penularan pada bayi, yang paling penting adalah mencegah penularan pada ibunya dulu. Harus ditekankan bahwa bayi hanya dapat tertular oleh ibunya. Jadi bila ibunya HIV-negatif, maka bayi juga tidak terinfeksi HIV. Status HIV ayah tidak mempengaruhi status HIV bayi.
Hal ini dapat dijelaskan karena sperma dari penderita HIV tidak mengandung virus, yang mengandung virus adalah air mani. Oleh sebab itu, telur ibu tidak dapat ditularkan sperma. Jelas, bila perempuan tidak terinfeksi, dan melakukan hubungan seks dengan laki-laki tanpa kondom dalam upaya membuat anak, ada risiko si perempuan tertular. Dan bila perempuan terinfeksi pada waktu tersebut, dia sendiri dapat menularkan virus pada bayi. Tetapi laki-laki tidak dapat langsung menularkan janin atau bayi. Hal ini menekankan pentingnya kita menghindari infeksi HIV pada perempuan.
Tetapi untuk ibu yang sudah terinfeksi, kehamilan yang tidak diinginkan harus dicegah. Bila kehamilan terjadi, harus ada usaha mengurangi viral load ibu di bawah 1.000 agar bayi tidak tertular dalam kandungan, mengurangi risiko kontak cairan ibunya dengan bayi waktu lahir agar penularan tidak terjadi waktu itu, dan hindari menyusui untuk mencegah penularan melalui ASI. Dengan semua upaya ini, kemungkinan si bayi terinfeksi dapat dikurangi jauh di bawah 8%.Jelas yang paling baik adalah mencegah penularan pada perempuan. Hal ini membutuhkan peningkatan pada program pencegahan, termasuk penyuluhan, pemberdayaan perempuan, penyediaan informasi dan kondom, harm reduction, dan hindari transfusi darah yang tidak benar-benar dibutuhkan.Untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, program tidak jauh berbeda dengan pencegahan infeksi HIV. ODHA perempuan yang memakai obat antiretroviral harus sadar bahwa kondom satu-satunya alat KB yang efektif. Dalam hal ini, mungkin kondom perempuan adalah satu sarana yang penting.
Prong 4: Pemberian Dukungan Psikologis, Sosial dan Perawatan kepada Ibu dengan HIV beserta Anak danKeluarganya
Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak tidak berhenti setelah ibu melahirkan.Ibu akan hidup dengan HIV di tubuhnya. Ia membutuhkan dukungan psikologis, sosialdan perawatan sepanjang waktu. Hal ini terutama karena si ibu akan menghadapimasalah stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA. Faktor kerahasiaanstatus HIV ibu sangat penting dijaga. Dukungan juga harus diberikan kepada anak dankeluarganya.Beberapa hal yang mungkin dibutuhkan oleh ibu dengan HIV antara lain:
· Pengobatan ARV jangka panjang
· Pengobatan gejala penyakitnya
· Pemeriksaan kondisi kesehatan dan pemantauan terapi ARV (termasuk CD4dan viral load)
· Konseling dan dukungan kontrasepsi dan pengaturan kehamilan
· Informasi dan edukasi pemberian makanan bayi
· Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik untuk diri sendiri dan bayinya.
· Penyuluhan kepada anggota keluarga tentang cara penularan HIV danpencegahannya
· Layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat
· Kunjungan ke rumah (home visit)
· Dukungan teman-teman sesama HIV positif, terlebih sesama ibu dengan HIV
· Adanya pendamping saat sedang dirawat
· Dukungan dari pasangan
· Dukungan kegiatan peningkatan ekonomi keluarga
· Dukungan perawatan dan pendidikan bagi anak
· Dengan dukungan psikososial yang baik, ibu dengan HIV akan bersikap optimis dan bersemangat mengisi kehidupannya.




















BAB III
LAPORAN KASUS


Kajian Asuhan Kebidanan  Pada Ny.”YG1P0A0H0 34-35 Minggu Dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) Di Ruang Poli Kebidanan RSUP Dr.M.Djamil Padang

A. PENGKAJIAN DATA
Tanggal           : 26-07-2016
Jam                  : 12.30 WIB
Tempat            : RSUP.Dr.M.Djamil Padang
No. RM           : 00868598

a.      Data Subyektif
1. Biodata
Nama ibu       : Ny “Y                       Nama suami    : Tn. “I
Umur             : 36 tahun                      Umur              :  35 tahun
Agama           : Islam                           Agama            :  Islam
Pendidikan    : SD                              Pendidikan     :  SMA
Pekerjaan       : IRT                             Pekerjaan        :  Swasta    
Alamat           : Sijunjung Komplek Citra Permai      

2. Keluhan utama
Ibu datang ke Poli Kebidanan RSUP.Dr. M.Djamil Padang tanggal 26-07-2016 pukul 12.15 WIB dan Ibu mengatakan hamil yang pertama dengan usia kehamilan 8 bulan mengatakan ingin kontrol kehamilan.
3. Riwayat kesehatan sekarang
Ibu mengatakan ingin kontrol kehamilan dan menderita infeksi virus.
4.Riwayat penyakit yang lalu
Ibu mengatakan sejak dua tahun yang lalu terkena infeksi virus.

5.Riwayat kesehatan keluarga
Ibu mengatakan suami juga menderita penyakit yang sama

6. Riwayat haid
Menarche                  :  13 tahun
Siklus haid                :  30 hari (teratur)
Lama haid                 :  3  hari
Banyaknya                :  2-3 softek / hari
Warna                       : merah
Bau                           : -
Konsistensi               : encer
Keluhan                    :  disminore      : -
                                    Flour albus  : -
HPHT                       :  (pertengahan)-11-2015
TP                             :  .. -08-2016

7. Riwayat Pernikahan
                 Nikah                : 1 X
                 Lama                 : 4 thn
                 Usia saat nikah : Suami : 32 th
                                            Istri     : 33 th

8. Riwayat Kehamilan Sekarang
TM I              : Puskesmas
TM II            : RSUD Sijunjung
TM III           : RS. M. Djamil

9. Riwayat Kehamilan, Persalinan, nifas yang lalu : ini kehamilan yang pertama



10. Pola kebiasaan sehari-hari
POLA
SEBELUM HAMIL
SELAMA HAMIL
NUTRISI


AKTIVITAS




ISTRAHAT

KEBERSIHAN


ELIMINASI
Makan 2 X /hari porsi nasi, lauk, sayur, kadang buah. Minum 7-8 gelas/hari
Sehari-hari ibu mengerjakan pekerjaan rumah seperti: memasak, mencuci,dll

Tidur malam 6-7 jam, tidur siang 1-2 jam
Mandi 2 x/hai, gosok gigi 2x/hari, ganti baju 2x/hari, ganti celana dalam tiap habis mandi/basah.
BAB 1x/hari, konsistensi lembek, warna kuning. BAK 4-5 x/hari
Makan 2 X /hari porsi nasi, lauk, sayur, kadang buah. Minum 7-8 gelas/hari
Sehari-hari ibu mengerjakan pekerjaan rumah seperti: memsak, mencuci, pekerjaan yang berat di bantu suami
Tidur malam 5-6 jam, tidur siang 1 jam
Mandi 2 x/hai, gosok gigi 2x/hari, ganti baju 2x/hari, ganti celana dalam tiap habis mandi/basah.
BAB 1x/hari, konsistensi lembek, warna kuning. BAK 5-6 x/hari

11.Riwayat Psikososial, Budaya, Spiritual
1.    Psikologi
Ibu merasa cemas dengan keadaannya saat ini
2.    Sosial
Hubungan ibu dengan suami, keluaga, tetangga baik
3.    Budaya
Ibu tidak berpantangan pada apapun,bila sakit selalu berobat ke Dokter.
4.    Spiritual
Ibu beragama Islam, menjalankan ibadah sesuai ajaran agamanya.

b.        Data Objektif
1.        Pemeriksaan Umum
a.         Kesadaran                 : composmentis – keadaan umum baik
b.         Tekanan darah          : 110/80 mmHg
c.         Denyut nadi              : 80 x/menit
d.        Pernapasan                : 24 x/menit
e.         Suhu                          : 37 oC
f.          BB                            : 60 Kg
2.        Pemeriksaan Fisik
·         Wajah
Simetris, tidak pucat, tidak oedema, tidak ada closma gravidarum.
·         Dada
Tidak ada whezzing dan ronchi
·         Abdomen
Membesar sesuai dengan usia kehamilan, adanya linea alba dan nigra, tidak ada strie gravidarum, tidak ada  luka bekas operasi.
·         Vulva/vagina             : fluxus (-)
·         Ekstremitas
Ekstremitas: Atas            : Simetris, tidak oedema, tidak ada varises, tidak ada kelainan jari
Bawah                             :  Simetris, tidak oedema, tidak ada varises, tadak ada kelainan jari
ekstremitas     :Tidak oedema
Reflek patella :+/+

3.        Pemeriksaan Penunjang
-          Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan hematologi
Darah :
Hb                        :11,5 gr/dl
Leukosit               : 8.100/mm³
Eritrosit                            :258.000/mm³
Hematokrit           : 35%
MCV                    : 93 fl
MCH                    : 31 pg
MCHC                             : 33 %
               Hasil pemeriksaan imunologi-serologi
                  HbsAg (Elisa)       : 0,00 (negatif)                        (< 0,13)
                  Anti HCV             : 0,30 (negatif)                        (< 1 )
                  CD 4                     : 108                            (≥ 600)
                Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik
                 Glukosa sewaktu    : 113 mg/dl                  (< 200)
Ureum darah           : 5 mg/dl                     
Kreatinin Darah      : 0,6 mg/dl                   (0,6-1,1)
Total Protein           : 7,3 g/dl                      (6,6-8,7)
Albumin   : 4,1 g/dl                                     (3,8-5,0)
Globulin   : 3,2 g/dl                                     (1,3-2,7)
SGOT    : 18 u/I                                          (<32)
SGPT     : 17 u/I                                          (<31)
Alkali fosfatase      72 u/I                          (<240)
USG      : 34-35 minggu, letak sungsang, air ketuban cukup




B.       Interprestasi Data Dasar
1.      Diagnosa : G1P0A0H0 usia kehamilan 34-35 minggu, Janin Tunggal Hidup, dengan HIV
2.      Masalah : ibu cemas mengenai kondisi diri dan janinnya
3.      Kebutuhan    :
a.         Pemberian KIE
b.         Kolaborasi dengan dokter Obgyn, untuk pengobatan
C.       Planning
1.      Menjelaskan pada ibu dan keluarga mengenai keadaannya saat ini
E/ ibu mengerti keadaannya; ibu dan keluarga mempercayakan penanganan kepada petugas
2.      Lakukan pendekatan pada ibu dan memberikan dukungan psikologis pada ibu
E/ Ibu sudah mulai tampak relaks

3.      Memberikan KIE mengenai
-            Pentingnya peran ibu hamil, terutama untuk memberikan nutrisi pada janinnya
-            PMTCT (Prevention Mother To Child Transmition) dan komplikasinya (IUGR, HIV pada bayi) yang meliputi rencana persalinan yang aman di rumah sakit
E/ ibu mengerti penjelasan petugas; ibu bersedia melahirkan di Rumah Sakit
4.      Menganjurkan ibu untuk melakukan kunjungan ulang 2 minggu lagi
E/ ibu bersedia melakukan kunjungan ulang 2 minggu lagi
5.      Melakukan kolaborasi dengan dokter untuk pengobatan selanjutnya
E/ advis dokter :
-          Duviral 2x1
-          Nevirapin 1x1 (14 hari) 2x1 seterusnya
-          SF 1x1
-          Calc 1x1

















BAB IV
ANALISA KASUS



Seorang pasien 36 tahun, datang ingin kontrol kehamilan mengaku hamil 8 bulan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan abdomen fundus uteri membesar sesuai usia kehamilan, riwayat ANC sebelumnya tanggal 16-06-2016 pemeriksaan imunologi-serologi HbsAg (Elisa): 0,00 (negatif), Anti HC: 0,30 (negatif) dan CD 4 : 108 rendah  dari nilai rujukan yaitu  ≥ 600.
Setelah melakukan pengumpulan data subjektif dan data obejktif maka dutegakkan diagnosa Asuhan Kebidanan Pada Ny”Y” GIP0A0H0 UK 34-35 minggu Janin Tunggal Hidup dengan HIV. Pada kasus ini juga di temukan masalah yaitu kecemasan ibu terhadap kondisi janin dan dirinya saat ini. Hal ini di karenakan karena penyakit yang ibu derita sejak dua tahun terakhir.
HIV adalah virus penyebab AIDS, dapat menular dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya. Tanpa upaya pencegahan, kurang-lebih 30 persen bayi dari ibu yang terinfeksi HIV menjadi tertular juga. Infeksi dapat terjadi kapan saja selama kehamilan, namun biasanya terjadi beberapa saat sebelum atau selama persalinan. Bayi lebih mungkin terinfeksi bila proses persalinan berlangsung lama. Selama persalinan, bayi yang baru lahir terpajan darah ibunya. (Ngwende, Stella, 2013). Pada kasus ini ibu dianjurkan untuk merencanakan persalinan di Rumah Sakit secara Seksio Caesaria. Mengingat risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan, karena bayi tersentuh oleh darah dan cairan vagina ibu waktu melalui saluran kelahiran. Jelas, jangka waktu antara saat pecah ketuban dan bayi lahir juga merupakan salah satu faktor risiko untuk penularan. Juga intervensi untuk membantu persalinan yang dapat melukai bayi, misalnya vakum, dapat meningkatkan risiko penularan.
Risiko penularan dari ibu-ke-bayi adalah lebih tinggi bila: viral load perempuan di atas 1.000, ada infeksi, perempuan terinfeksi suatu IMS dan bila gizi perempuan kurang. Oleh karena itu, pada kasus ini diberikan KIE mengenai gizi seimbang karena ibu dengan HIV rentan terkena infeksi. Viral load penting pada waktu melahirkan. Penularan dapat terjadi dalam kandungan yang dapat disebabkan oleh kerusakan pada plasenta, yang seharusnya melindungi janin dari infeksi HIV. Kerusakan tersebut dapat memungkinkan darah ibu mengalir pada janin. Kerusakan pada plasenta dapat disebabkan oleh penyakit lain pada ibu, terutama malaria dan TB (Green WC, 2009).
Kadar HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang ataupun saat persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya. Umumnya, satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV akan cepat sekali bertambah di tubuh seseorang. Risiko penularan akan lebih besar jika ibu memiliki kadar HIV yang tinggi pada menjelang ataupun saat persalinan. (Depkes RI, 2012).
Pada ibu hamil dengan HIV, hal yang perlu diperhatikan adalah resiko penularan terhadap janin. Pada penderita HIV, selama perjalanan penyakitnya akan mengalami penurunan kondisi tubuh jika tidak mendapatkan pemantauan dan penanganan yang adekuat dari petugas kesehatan. Masa ini juga merupakan tahap penyesuaian sebelum memasuki masa menjadi seorang ibu. Sehingga penting sekali dilakukannya konseling, terutama pada ibu hamil yang dideteksi dengan HIV/AIDS. Kondisi tersebut menunjukkan pentingnya implementasi program prevention of mother to child transmission of HIV (PMTCT) yang bertujuan untuk menyelamatkan ibu dan bayi dari infeksi HIV. Program PMTCT dapat berjalan dengan baik bila didukung sepenuhnya oleh tenaga kesehatan, salah satunya bidan. Bidan bertugas memberi KIE untuk meningkatkan pengetahuan ibu akan penularan HIV dari ibu positif HIV ke anaknya. (Kebijakan PMTCT Indonesia, 2008)
Kehamilan tidak secara signifikan mempengaruhi resiko kematian, progresivitas menjadi AIDS atau progresivitas penurunan sel CD4 pada wanita yang terinfeksi HIV. Pengaruh kehamilan terhadap sel CD4 pertama kali dilaporkan oleh Burns, dkk. Pada kehamilan normal terjadi penurunan jumlah sel CD4 pada awal kehamilan untuk mempertahankan janin. Pada wanita yang tidak menderita HIV, presentase sel CD4 akan meningkat kembali mulai trisemester ketiga hingga 12 bulan setelah melahirkan. Sedangkan pada wanita yang terinfeksi HIV penurunan tetap terjadi pada kehamilan dan setelah melahirkan walaupun tidak bermakna secara statistik. Namun penelitian dari European Collaborative Study dan Swiss HIV Pregnancy Cohort dengan jumlah sample yang lebih besar, menunjukkan presentase penurunan sel CD4 selama kehamilan sampai 6 bulan setelah melahirkan tetap stabil (Volderding, 1995).
Kehamilan ternyata hanya sedikit meningkatkan kadar virus (viral load) HIV. Kadar virus HIV meningkat terutama setelah 2 tahun persalinan, walaupun secara statistik tidak bermakna. Kehamilan juga tidak mempercepat progresivitas penyakit menjadi AIDS. Italian Seroconversion Study Group membandingkan wanita terinfeksi HIV dan pernah hamil ternyata tidak menunjukkan perbedaan resiko menjadi AIDS atau penurunan CD4 menjadi kurang dari 200 (McFarland, 2003).
Pengaruh pada kehamilan Penelitian di negara maju sebelum era anti retrovirus menunjukkan bahwa HIV tidak menyebabkan peningkatan prematuritas, berat badan lahir rendah atau gangguan pertumbuhan intra uterin. Sedangkan di negara berkembang, infeksi HIV justru meningkatkan kejadian aborsi, prematuritas, gangguan pertumbuhan intra uterin dan kematian janin intra uterin terutama pada stadium lanjut. Selain karena kondisi fisik ibu yang lebih buruk juga karena kemungkinan penularan perinatalnya lebih tinggi (McFarland, 2003).
Penggunaan terapi antiretroviral (ARV) telah memberikan kontribusi substansial untuk pencegahan penularan vertikal dan dengan perkembangan penggunaan kombinasi ART, dalam hubungannya dengan perawatan kebidanan yang komprehensif, menurun secara drastis angka infeksi neonatal  ARV terus menjadi standar perawatan untuk ibu hamil yang hidup dengan HIV. Penggunaan ARV lebih awal lebih baik karena Pemberian ARV dapat menurunkan angka kematian, harapan hidup meningkat dengan ARV, PMTCT menurunkan infeksi baru pada anak ( Konferensi IAS Juli 2013 Kuala Lumpur)
Perempuan terinfeksi HIV di seluruh dunia sudah memakai obat antiretroviral (ARV) secara aman waktu hamil lebih dari sepuluh tahun. ARV sudah berdampak besar pada kesehatan perempuan terinfeksi HIV dan anaknya. Oleh karena ini, banyak dari mereka yang diberi semangat untuk mempertimbangkan mendapatkan anak. Antiretrovirus direkomendasikan untuk semua wanita yang terinfeksi HIVAIDS yang sedang hamil untuk mengurangi resiko transmisi perinatal. Hal ini berdasarkan bahwa resiko transmisi perinatal meningkat sesuai dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi dapat diturunkan hingga 20% dengan terapi antiretrovirus. Keputusan akan meneruskan antiretrovirus setelah melahirkan atau tidak tergantung pada hasil pemeriksaan kadar virus dan CD4 (McFarland, 2003).
Seperti diuraikan di atas, ART telah terbukti telah memainkan peran penting dalam menurunkan tingkat PMTCT dan di mana pedoman ada yang merekomendasikan, berdasarkan bukti, bahwa semua wanita hamil HIV positif harus sudah mulai ART pada minggu 24 kehamilan mereka, infeksi HIV di kalangan anak-anak meningkat jika jumlah CD4 ibu adalah ≤200 sel / uL dan jika anak itu terkena makan campuran. ASI eksklusif selama kurang dari enam bulan adalah pelindung. Direkomendasikan periode pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama dan berhenti menyusui setelah 6 bulan jika terjangkau, berkelanjutan dan aman. (Ngwende, Stella, 2013)
Di Negara maju, ibu yang terinfeksi HIV akan lebih mungkin memilih susu formula. Tapi untuk rekan-rekan yang lebih miskin seperti Negara berkembang, pada wanita yang diwawancarai untuk penelitian ini dan orang lain dalam rangkaian yang sama, ASI eksklusif menjadi tepat dalam pandangan dari kondisi sanitasi yang buruk dan kemungkinan penggunaan susu formula yang tidak tepat yang dapat menyebabkan diare dan dehidrasi malah menjadi penyebab utama kematian bayi secara global. Oleh karena itu, penting promosi kesehatan untuk ibu HIV-positif untuk berlatih pemberian ASI eksklusif perlu dipahami terutama di negara berkembang. (Hazemba et al, 2016)
Hal diatas juga sejalan dengan Permenkes tahun 2013 pasal 8 bahwa ibu hamil dengan HIV dan AIDS serta keluarganya harus diberikan konseling mengenai: pemberian ARV kepada ibu, pilihan cara persalinan, pilihan pemberian ASI eksklusif kepada bayi hingga usia 6 bulan atau pemberian susu formula yang dapat diterima, layak, terjangkau, berkelanjutan, dan aman (acceptable, feasible, affordable, sustainable, and safe). Pemberian susu formula dan makanan tambahan kepada bayi setelah usia 6 bulan, pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksasol pada anak.
Sebagaimana telah kita lihat di atas, seorang wanita hamil yang positif HIV risiko menularkan virus kepada anaknya dalam rahim. Namun, seperti disebutkan sebelumnya, ada berbagai langkah yang dapat diambil untuk mengurangi risiko penularan. Ini termasuk ART menjalani dan pengiriman tepat. Namun, agar pengobatan yang tepat akan tersedia, tenaga profesional kesehatan perlu mengetahui status HIV dari ibu. Oleh karena itu, seperti diuraikan di atas, tes HIV antenatal telah menjadi bagian penting dalam proses mengurangi HIV ini termasuk dalam 14 standar T diantaranya adalah tes PMS. Sebagai seorang Bidan kita harus bisa melakukan deteksi dini terutama kepada ibu hamil yang beresiko tinggi untuk mengidap infeksi menular seksual. (Pantiawati, 2010)
Selain adanya pengaruh fisik terhadap ibu dan bayi, terdapat hal lain yang penting dan harus dipertimbangkan oleh tenaga kesehatan ketika memberikan asuhan adalah kondisi psikologis ibu yang kemungkinan akan mengalami cemas, depresi, dilema serta khawatir akan kesehatan bayinya. Pada kasus ini pasien mengaku cemas akan kondisinya dan bayinya. Oleh karena itu, konseling sangat bermanfaat untuk memberikan informasi dan nasehat serta dukungan sosial kepada pasangan usia subur terutama memperhatikan faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi hasil akhir kehamilan, wanita yang bersangkutan diberi nasihat tentang resiko yang ada pada dirinya dan diberikan suatu strategi untuk mengurangi atau mengeliminasi pengaruh infeksi HIV pada dirinya dan yang terpenting adalah mencegah penularan terhadap bayinya. (Kusmiyati, 2009)
Peran Bidan sebagai pelaksana memberi asuhan/ pelayanan. Bidan mempunyai tugas utama yaitu: mandiri, kolaborasi dan rujukan. Ada 7 langkah utama yang dilakukan: mengkaji, menentukan diagnosa, menyusun rencana tindakan, melaksanakan tindakan, evaluasi, tindak lanjut, dokumentasi. Kewajiban Bidan: Bidan wajib memberikan pelayanan asuhan kehamilan sesuai standar profesi dengan menghormati hak-hak klien. Bidan wajib merujuk, menjaga rahasia, memberi informasi, inform consent, dokumentasi dan kerjasama pihak lain.
Preventif pada antenatal care yang dapat dilakukan bidan adalah:
·      Asuhan diberikan oleh petugas yang terampil dan berkesinambungan
·      Persiapan menghadapi persalinan yang baik dengan memperkirakan komplikasi
·      Mempromosikan kesehatan dan pencegahan penyakit serta melaksanakan 14 T
·      Mendeteksi dini komplikasi serta perawatan penyakit yang diderita ibu hamil (HIV, sifilis, tuberkulosis, penyakit medis lain yang diderita (misal: hipertensi, diabetes dan lain-lain)) kemudian merujuk pasien (Kusmiyati, 2009)


















BAB V
PENUTUP


HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau sekunder atau infeksi kongenital melainkan oleh human immunodeficiency virus. Kausa sindrom imunodefisiensi ini adalah retrovirus DNA yaitu HIV-1 dan HIV2/
Upaya pencegahan penting secara umum adalah antiretroviral, kondom dan perubahan perilaku. Memulai pemberian ARV: Pada populasi umum jika jumlah CD4 < 350, tanpa melihat jumlah CD4 pada: bu hamil. Tes diprioritaskan pada : pengguna narkoba suntikan pasangan seksual, IMS, TBC, ibu hamil, anak yang lahir dari ibu HIV positif. Semakin dini diagnosis maka semakin kecil risiko infeksi oportunistik.
            Penggunaan ARV lebih awal lebih baik karena Pemberian ARV dapat menurunkan angka kematian, Harapan Hidup Meningkat Dengan ARV, PMTCT menurunkan infeksi baru pada anak.
Dalam pentalaksanaanyya pendekatan petugas kesehatan terhadap ibu sangat diperlukan, untuk mengurangi kecemasan ibu dan keluarga dalam keadaannya saat ini. Dengan demikian penulis memberikan asuhan kebidanan dengan memperhatikan gejala dan keluhan yang terjadi sehingga di harapkan tidak menimbulkan masalah lain yang bisa merugikan kesehatan pasien serta mengenali dengan cepat dan tepat tanda dari IMS/ jika ibu merupakan faktor resiko tertular IMS.

Hendaknya dalam asuhan kebidanan pada ibu dikumpulkan data yang lengkap dan valid agar kita sebagai parameter dapat memberikan asuhan yang optimal baik pada intervensi maupun implementasi terlebih dalam melakukan / mengidentifikasi / mendiagnosa / masalah sehigga kita dapat memahami kebutuhan segera dan mendapat penanganan yang secepatnya.


DAFTAR PUSTAKA



Anonim. Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi terbaru dari WHO. 2006. Diunduh dari: http://marhendraputra.co.cc/info-sehat/329-pedoman-pencegahan penularan-hiv-dari-ibu-ke-bayi-terbaru-dari-who-.html(Diakses tanggal 29 Juli 2016).
Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom, KD. Penyakit menular seksual. Dalam: Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom, KD. Obstetri Williams. EGC, Jakarta; 2006; 1680-1681.
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Informasi umum. Dalam: Pratomo H. et al. (eds). Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu dan bayi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2012.
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Dalam: Pratomo H. et al. (eds). Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu dan bayi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2012.
Green WC. Latar belakang dan masalah umum. Dalam: Green WC (eds). HIV, kehamilan, dan kesehatan perempuan. Yayasan spiritia, Jakarta;2009:4-6.
Hazemba et al. 2016. Promotion of exclusive breastfeeding among HIV-positive mothers: an exploratory qualitative study.I nternational Breastfeeding Journal (2016) 11:9 DOI 10.1186/s13006-016-0068-7
Kusmiyati. 2009. Perawatan Ibu Hamil. Yogyakarta. Fitramaya
Jaringan pencegahan HIV dari ibu ke anak. Kebijakan PMTCT Indonesia: PMTCT.net; 2008. h.1.
Maslow S. AIDS in Gynocology in Gynecology and Obstetrics Sciarra. Volume 1 Edisi Revisi.1995. J.B Lippincott Company 46. Philadelphia (1-12).
McFarland, Elizabeth J. Human Immunodeficiency Virus (HIV) Infection in : Current Pediatric Diagnosis&Treatment. 16th edition. 2003. McGraw&Hill Company. Singapore (1140-50).
Ngewende Stella. 2013. Factors associated with HIV infection among children born to mothers on the prevention of mother to child transmission programme at Chitungwiza Hospital, Zimbabwe, 2008. BMC Pubilc Health.
Pantiawati Ika,Saryono.2010. Asuhan Kebidanan I (Kehamilan).Yogyakarta: Nuhamedika
Suwendra, Putu.. Human Immunodeficiency Virus. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi&Penyakit Tropis. Edisi Pertama. 2001. IDAI. Jakarta (281-301).
Volderding A, Sande A.. The Medical Management of AIDS. 4th edition. 1995. WB Saunders Company. United State of America . (22-4, 614-32).
Yayasan Spiritia. Pencegahan penularan dari ibu-ke-bayi. (PMTCT). 2008. Diunduh dari: http://spiritia.or.id/cst/showart.php?cst=mtct [Diakses tanggal 27 Juli2016).
Yunihastuti E, Wibowo N, Djauzi S, Djoerban Z. Kelompok Studi Kasus AIDS FKUI/RSUPN dr.Ciptomangunkusumo. Infeksi HIV pada Kehamilan. 2003. FKUI. Jakarta (1 – 32).
World Health Organization. HIV/AIDS Fact Sheet. 2014

No comments: