Monday, March 26, 2018

Infeksi Virus pada Ibu Hamil dan Nifas


BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur status kesehatan ibu pada suatu wilayah, salah satunya yaitu angka kematian ibu (AKI). AKImerupakan salah satu indikator yang peka terhadap kualitas dan aksesibilitas fasilitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI (yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas) sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara–negara tetangga di Kawasan ASEAN. (Pofil kesehatan Indonesia, 2014).
Lima penyebab kematian ibu terbesar yaitu perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (HDK), infeksi, partus lama/macet dan abortus. Kematian ibu di Indonesia masih didominasi oleh tiga penyebab utama kematian yaitu perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (HDK), dan  infeksi. Namun proporsinya telah berubah, dimana perdarahan dan infeksi cenderung mengalami penurunan sedangkan HDK proporsinya semakin meningkat. Berdasarkan data yang diperoleh dari Profil Kesehatan Indonesia, infeksi menyumbang kematian ibu sebanyak 7,3 % pada tahun 2013, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 5,6%. (Profil Kesehatan Indonesia, 2014)
Infeksi yang terjadi pada manusia normal umunya singkat dan jarang meninggalkan kerusakan permanen. Hal ini disebabkan tubuh manusia memiliki suatu sistem  yaitu sistem imun yang melindungi tubuh terhadap unsur – unsur patogen.  Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang laus, melindungi tubuh dari infeksi bakteri, virus, fungus, protozoa dan parasit serta menghancurkan zat – zat  asing lain dan memusnahkan mereka dari sel yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa. Sistem imun yang sehat adalah jika dalam tubuh bisa membedakan antara diri sendiri dan benda asing yang masuk kedalam tubuh. Biasanya ketika ada benda asing yang memicu respon imun masuk kedalam tubuh (antigen) dikenali maka terjadilah proses pertahanan diri. (Karnen, 2006)
Beberapa virus dapat menginfeksi sel-sel sistem imun sehingga mengganggu fungsinya dan mengakibatkan imunodepresi, misalnya virus polio, influenza dan HIV atau penyakit AIDS. Sebagian besar virus membatasi diri (self-limiting), namun sebagian lain menyebabkan gejala klinik atau subklinik. Penyembuhan infeksi virus pada umumnya diikuti imunitas jangka panjang. Pengenalan sel target oleh sel T sitotoksik spesifik virus dapat melisis sel target yang mengekspresikan peptida antigen yang homolog dengan region berbeda dari protein virus yang sama, dari protein berbeda dari virus yang sama atau bahkan dari virus yang berbeda. Aktivasi oleh virus kedua tersebut dapat menimbulkan memori dan imunitas spontan dari virus lain setelah infeksi virus inisial dengan jenis silang. Demam dengue dan demam berdarah dengue merupakan infeksi virus akut yang disebabkan oleh empat jenis virus dengue. Imunitas yang terjadi cukup lama apabila terkena infeksi virus dengan serotipe yang sama, tetapi bila dengan serotipe yang berbeda maka imunitas yang terjadi akan berbeda. Gangguan pada organ hati pada demam berdarah dengue telah dibuktikan dengan ditemukannya RNA virus dengue dalam jaringan sel hati dan organ limfoid. Virus dengue ternyata menyerang sel kupffer dan hepatosit sehingga terjadi gangguan di hati.
Tujuan makalah
  1. Untuk mengetahui jenis-jenis infeksi virus pada ibu hamil dan nifas
  2. Untuk mengetahui pathogenesis virus
  3. Untuk mengetahui penanganan dan pencegahan infeksi virus









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
  1. DEFINISI
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi.
Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperand alam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun.
Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul dan bahan lainnya terhadap mikroba disebut respon imun.
Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Mikroba dapat hidup ekstraseluler, melepas enzim dan menggunakan makanan yang mengandung banyak gizi yang diperlukannya. Mikroba lain menginfeksi sel pejamu dan berkembangbiak intraselular dengan menggunakan sumber energi sel pejamu. Baik mikroba ekstraselular maupun intraselular dapat menginfeksi subjek lain, menimbulkan penyakit dan kematian, tetapi banyak juga yang tidak berbahaya bahkan berguna bagi pejamu.
Virus terdiri atas nuclead acid yang berada di dalam bungkus protein atau lippoprotein. Virus mampu mengadakan penetrasi ke dalam sel host dan dan memanfaatkan sel host untuk kepentingannya. Reproduksi-replikasi sel berlangsung dengan sejumlah proses biokemis dan mengakibatkan perubahan morfologis dalam sel yang biasanya mengakibatkan kematian sel.

  1. PATOGENESIS VIRUS
Keberlangsungan hidup virus memerlukan transmisi dari host ke host. Rute transmisi merupakan aspek penting pada kehidupan virus, karena akan menentukan awal infeksi sel dan sel mana yang akan memproduksi virus untuk transmisi berikutnya. Transmisi virus biasanya berlangsung pada daerah anatomi tertentu; hal ini memberi kesempatan untuk sistem imun tubuh membatasi infeksi di sejumlah tempat saja, misalnya virus influenza dan virus nafas yang lain akan bereplikasidalam sel kolumnar epitel sel atas; ditransmisikan hanya melalui pintu ini, dan dengan demikian respons imun lokal dapat mengeblok infeksi.  Penyebaran virus juga dapat dicegah dengan imunitas lokal sebagai organ tubuh terbesar dan paling luar, kulit merupakan target untuk awal infeksi virus. Namun cornified epithelium kulit merupakan barrier yang sangat efektif melawan transmisi virus dan hanya sedikit virus yang mampu menembus barier tersebut. Transmisi melalui kulit dapat terjadi secara fisik menembus keratinosit secara natural (melalui gigitan insekta atau binatang lainnya), atau artifisial (melalui suntikan hipodermik). 

  1. DAMPAK INFEKSI SEL  
Penetrasi virus ke dalam sel akan menghasilkan 4 kemungkinan.
1.      Sel tubuh manusia tidak dapat menerima virus; protein dan nucleid acid virus akan dieliminasi dengan minimal/tanpa gangguan pada sel tubuh.
2.      Terjadi replikasi virus namun gagal menghasilkan progeny yang infeksius, terdapat kemungkinan timbul perubahan sel dari yang minimal sampai kematian.
3.      Terjadi replikasi virus, menghasilkan progeny; sel mati atau tetap hidup namun terinfeksi persisten dan terus menghasilkan progeny virus.
4.      Virus berada dalam keadaan laten dan tampak seperti hilang; sampai ia terpicu untuk reaktivasi dengan menghasilkan progeny yang infeksius.

Dampak infeksi tersebut tidak mutually exclusive; pada seorang yang tidak terinfeksi virus, dapat terjadi simultan tergantung pada sifat sel yang terinfeksi dan kondisi infeksi (meliputi jumlah virus yang menginfeksi sel, eksposur sel terhadap sitokin).
Mekanisme hasil outcome sangat bervariasi di antara virus, namun virus harus memenuhi beberpa fungsi dasar:
1.      Menghasilkan mRNA untuk produksi viral protein pada ribosom seluler.
2.      Replikasi genom virus
3.      Assemble genom dengan viral-terkadang sel protein, dan melepas progeny dari sel.
4.      Modifikasi metabolisme selular host untuk replikasi sel yang optimum.

Infeksi virus yang produktif menghasilkan ratusan-ribuan progeny. Siklus infeksi yang terpendek berlangsung lengkap dalam 4 jam. Kapasitas replikasi ini merupakan tantangan besar untuk sistem imun, karena di dalam waktu sehari terjadinya 3-4 kali siklus infeksi dapat menghasilkan sejumlah virus untuk menginfeksi semua sel target organ. Host dengan demikian harus memberi respon yang memadai terhadap virus sitopatik.

  1. ASPEK KINETIK INFEKSI
Banyak virus bereplikasi dalam host dan menyebar dari satu organ ke organ lain. Penyebaran/diseminasi virus dapat terjadi melalui darah atau saluran limfe. Karena saluran limfe lebih mudah dicapai dibanding kapiler, cara ini lebih sering terjadi. Saluran limfe membawa bahan asing dari perifer ke lymph node. Virus dapat mencapai  aliran darah melalui saluran limfe bila tidak mengalami destruksi di lymph node.
Virion sering kali mengalami kesulitan untuk meluas dengan cara tersebut. Dan banyak kasus virus meluas dengan cara menginfeksi sel darah putih (eritrosit tidak dapat diinfeksi karena tidak mempunyai bahan untuk metabolisme virus). Karena sel tersebut mampu meninggalkan pembuluh darah atau saluran limfe, virus akan terbawa serta masuk langsung ke organ tubuh. Tanpa adanya cell carrier, virus harus mempunyai cara lain untuk melampaui barier yang mangawal jaringan.  Beberapa virus dapat mengalami transitosis oleh endothelial cell ke dalam sel dibawahnya.
Pada jaringan dengan sinusoid, virus dapat mengalami transitosis oleh makrofag setempat yang melapisi sinusoid, sehingga dapat penetrasi langsung ke jaringan. Beberapa jaringan ikat, otot dan sistem saraf pusat sangat resisten terhadap penetrasi langsung, karena sel endotel kapiler didukung oleh membran basalis yang kuat. Dalam hal ini, penetrasi virus terjadi secara diapedesis.
Virus yang mampu menginfeksi neuron dapat berjalan sepanjang saraf dari perifer ke ganglia atau sistem saraf pusat. Transpor dapat berjalan ke kedua arah. Herpes virus, yang berada dalam keadaan laten di ganglion spinalis dapat direaktivasi ke perifer dan ditularkan ke host lain dengan hubungan intim. Virus rabies berjalan ke sistem saraf pusat melalui saraf sensoris dari tempat gigitan binatang. Virus bermultiplikasi di sistem saraf pusat dan meninggalkan sistem saraf pusat melalui sabut eferent ke kelenjar liur, dimana virus dapat mengalami peyebaran bersama saliva. Replikasi virus di sistem saraf pusat, cukup spesifik sehingga menimbulkan perubahan behaviour host yang memudahkan transmisi.
Cara penularan virus yang lain adalah penularan  virus dari ibu ke janin. Untuk virus nonsitopatogenik, maka akan memberikan kelangsungan keberadaan virus di spesies. Untuk retrovirus, yang berintegrasi dengan genom, batas anatara virus dan host menjadi kabur, karena gen virus ditransmisikan ke genom. Untuk virus yang sitopatik, cara penularan ini mengakibatkan gangguan janin, namun tidak memberikan keuntungan bagi virus, karena fetus yang mati tidak akan berpotensi menularkan pada host lain. 

  1. IMUNOLOGI IBU DAN JANIN
  1. Perubahan imunologis akibat kehamilan
Ibu hamil sangat peka terhadap terjadinya infeksi dari berbagai mikroorganisme. Secara fisiologik sistem imun pada ibu hamil menurun, kemungkinan sebagai akibat dari toleransi sistem imun ibu terhadap bayi yang merupakan jaringan semi-alogenik, meskipun tidak memberikan pengaruh secara klinik.
Bayi intra uterin baru membentuk sistem imun pada usia kemahilan sekitar 12 minggu, kemudian meningkat dan pada kehamilan 26 minggu hampir sama dengan sistem imun pada ibu hamil itu sendiri. Pada perinatal bayi mendapat antibodi yang dimiliki oleh ibu, tetapi setelah 2 bulan antibodi akan menurun. Secara anatomik dan fisiologik ibu hamil juga mengalami perubahan, misalnya pada ginjal dan saluran kencing sehingga mempermudah terjadinya infeksi (Sarwono, 2010).  
Peningkatan pH sekresi vagina wanita hamil membuat wanita tersebut lebih rentan terhadap infeksi vagina. Sistem pertahanan tubuh ibu selama kehamilan akan tetap utuh, kadar imunoglobulin dalam kehamilan tidak berubah. HCG dapat menurunkan respon imun wanita hamil. Selain itu kadar Ig G, Ig A, dan Ig M serum menurun mulai dari minggu ke-10 kehamilan hingga mencapai kadar terendah pada minggu ke-30 dan tetap berada pada kadar ini hingga aterm. 
  1. Imunologi janin dan neonatus
Kapasitas imunologis aktif dan neonatus lebih lemah daripada yang dimiliki oleh anak yang lebih tua dan orag dewasa. Menurut Stirrat (1991), imunitas selular dan humoral janin mulai berkembang pada 9 sampai 15 minggu. Respons primer janin terhadap infeksi adalah pembentukan imunoglobulin M (Ig M). Imunitas aktif dihasilkan oleh IgG yang disalurkan melalui plasenta. Pada 16 minggu, penyaluran ini mulai meningkat pesat, dan pada 26 minggu konsentrasi di janin sama dengan konsentrasi di ibunya. Setelah persalinan, air susu bersifat protektif terhadap sebagian infeksi, meskipun proteksi ini mulai menurun pada usia 2 bulan (WHO collaborative study team, 2000).
Transmisi vertikal infeksi merujuk kepada penularan suatu infeksi dari ibu ke janin melalui plasenta, selama persalinan atau kelahiran, atau sewaktu menyusui. Ketuban pecah dini, partus lama, dan manipulasi obstetris dapat meningkatkan risiko infeksi neonatus.
Infeksi neonatus, khususnya pada tahap-tahap awal, mungkin sulit didiagnosis karena neonatus sering tidak menunjukkan tanda-tanda klasik penyakit. Jika janin terinfeksi in utero, mungkin terjadi depresi dan asidosi yang lahir tanpa sebab yang jelas. Neonatus mungkin tidak mau makan, muntah atau mengalami distensi abdomen. Dapat terjadi insufisiensi pernafasan, yang mungkin memberi gambaran serupa dengan sindrom distres pernafasan idiopatik. Bayi mungkin mudah terangsang. Respon terhadap sepsis mungkin berupa hiportermia dan bukan hipertermia, sementara hitung lekosit dan neutrofil mungkin menurun.
Infeksi yang diperoleh di rumah sakit berbahaya bagi neonatus kurang bulan, dan orang yang merawat mereka adalah sumber utama infeksi ( Stoll dan Hansen, 2003). Sistem ventilasi dan kateter vena dan arteri umbilikalis dapat menyebabkan infeksi yang mengancam nyawa. Bayi dengan berat lahir sangat rendah yang bertahan hidup selama beberapa hari pertama tetap beresiko tinggi meninggal akibat infeksi yang terjangkit di ruang perawatan intensif.

  1. INFEKSI VIRUS
1.      Virus varisela-Zoster (VZV)
Virus herpes DNA untai-ganda ini terutama diperoleh sewaktu masa kanak-kanak, dan 95% orang dewasa memperlihatkan bukti serologis imunitas (Plound dan Austi, 2005).  Infeksi primer varicella atau cacar air (chicken fox), ditularkan melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi, meskipun transmisi melalui udara pernah dilaporkan. Masa tunas adalah 10 sampai 21 hari, dan wanita non-imun memiliki risiko 60 sampai 95% terinfeksi setelah terpajan. Kemudian ia menularkan sejak sehari sebelum munculnya ruam hingga lesi mengalami krustasi.
a.       Manifestasi klinik
Infeksi varisella berawal sebagai gejala mirip flu yang berlangsung 1 atau 2 hari, yang diikuti oleh lesi-lesi vesikular gatal yang mengalami krustasi dalam 3 sampai 7 hari. Infeksi cenderung lebih parah pada orang dewasa, dan hampir separuh dari kematian akibat varisella terjadi pada orang dewasa, dan hampir separuh dari kematian akibat varisella terjadi pada orang dewasa non-imun yang jumlahnya 5%.
Kematian terutama disebabkan oleh pnemumonia varisella, yang diperkirakan lebih parah pada masa dewasa dan terutama selama kehamilan. Hager dkk (2002) melaporkan bahwa 5% wanita hamil yang terifeksi mengalami pneumonitis. Gejala pneumonia biasanya muncul 3 sampai 5 hari dari awitan penyakit. Gejala berupa demam, takipnu, batuk kering, dispnea , dan nyeri pleuritik. Infiltrat nodular serupa dengan virus pneumonia lainnya. Meskipun resolusi pneunomitis paralel dengan perbaikan lesi kulit namun demam dan gangguan fungsi paru dapat menetap hingga berminggu-miggu.
2.      Herpes zoster
Jika infeksi primer varisela tersebut mengalami reaktivasi beberapa tahun kemudian, timbullah herpes zoster atau shingles (cacar ular). Tidak terdapat bukti bahwa zooster lebih sering atau lebih parah pada wanita hamil. Zoster menular jika lepuh pecah, meskipun rendah daripada infeksi varisella primer.
a.       Infeksi varisella pada janin dan neonatus
Pada wanita dengan cacar air selama paruh waktu pertama kehamilan, janin dapat mengalami sindrom varisella kongenital. Beberapa kelainan yang ditimbulkan oleh korioretinitis, mikroftalmia, atrofi korteks serebrum, hambatan pertumbuhan, hidronefritis dan kelainan kulit dan kuku.
b.      Infeksi peripartum
Pajanan varisella perinatal tepat sebelum atau seaktu pelahiran, dan karenanya sebelum antibodi ibu terbentuk, menimbulkan ancaman serius bagi neonatus. Angka serangan berkisar dari 25 sampai 50%, dan angka kematian mencapai 25%. Pada beberapa kasus, nenoatus mengalami infeski susunan saraf pusat dan visera diseminata. Karena itu, globulin imun varisella-zoster perlu diberikan kepada neonatus yang lahir dari ibu dengan gejala klinis varisella 5 hari sebelum sampai 2 hari setelah persalinan. 
c.       Pajanan ke virus
Oleh karena sebagian besar orang dewasa (95%) seropositif VZV, bahkan wanita hamil tanpa riwayat varisella yang terpajan tetap perlu diperiksa untuk serologi VZV. Paling tidak 70% dari mereka akan seropositif, dan karenanya kebal. Wanita hamil yang terpajan dan rentan perlu diberi VariZIG dalam 96 jam pajanan untuk mencegah atau memperlemah infeksi varisella.
d.      Infeksi
Wanita hamil yang didiagnosis menderita infeksi varisella primer perlu diisolasi dari wanita hamil lainnya. Pneumonia sering tidak memperlihatkan banyak gejala sehingga perlu dipertimbangkan foto toraks. Sebagian besar wanita hanya memerlukan terapi supportif, tetapi mereka yang memerlukan cairan intravena dan khususnya mereka yang mengidap pneumonia perlu dirawat inap.
e.       Vaksinasi
Suatu vaksin virus hidup yang sudah dilemahkan-varivax- telah disetujui pemakaiannya pada tahun 1995. Dua dosis yang diberikan terpisah 4 sampai 8 minggu, dianjurkan untuk remaja dan dewasa tanpa riwayat varisella. Vaksinasi ini menghasilkan serokonversi 97%. Imunitas yang dipicu oleh vaksin berkurang seiring berjalan waktu, dan angka infeksi breakthrough adalah sekitar 5% pada 10 tahun (Chaves dkk, 2007). Vaksin ini tidak dianjurkan untuk wanita hamil dan jangan diberikan kepada wanita yang mungkin hamil dalam satu bulan setelah setiap pemberian dosis vaksin. Suatu data tentang 362 kehamilan yang terpajan vaksin tidak melaporkan adanya sindrom varisella  kongenital atau malformasi kongenital terkait lainnya (Shields dkk, 2001). Virus yang telah dilemahkan tersebut tidak disekresikan di air susu. Karena itu, vaksinasi pascapartum jangan ditunda dengan alasan menyusui (Bohlke dkk,2003). Vaksin untuk mencegah herpes zoster-zostavax-mendapat lisensi pada tahun 2006 tetapi saat ini tidak dianjurkan untuk orang yang berusia kurang dari 60 tahun (Centers for Disease Control and Prevention, 2007a).
3.      INFLUENZA
Infeksi pernafasan ini disebabkan oleh anggota dari famili Orthomiyxoviridae. Influenza A dan B membentuk suatu genus dari virus RNA ini, dan keduanya menyebabkan epidemi pada manusia. Virus influenza A disubklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan antigen permukaan hemaglutinin (H) dan neuraminidase (N). Gejala mencakup demam, batuk kering, dan gejala sistemik, dan ineksi dapat dipastikan dengan rapid enzyme immunoassy atau pemeriksaan immunofluoresensi (Salgaado dkk, 2002). Influenza A menimbulkan infeksi yang lebih serius dan biasanya timbul pada musim dingin. Infeksi biasanya tidak mengancam jiwa pada orang dewasa sehat tetapi wanita hamil tampaknya lebih rentan mengalami penyulit paru serius. Pada awwal tahun 2003, terjadi infeksi influenza A yang luas yang banyak menginfeksi wanita hamil. Di Parkland Hospital, lebih dari 100 wanita di rawat inap karena infeksi ini, dan 12% memperlihatkan infiltrat paru pada radiografi torax mereka.
a.       Efek pada janin
 Belum ada bukti kuat bahwa virus influenza A menyebabkan malformasi kongenital (Irving dkk, 2000) sebaliknya, Lynberg dkk, 1994 melaporkan peningkatan cacat tabung saraf pada neonatus yang lahir dari wanita dengan influenza pada awal kehamilannya yang mungkin  bahwa terpajannya janin ke virus influenza A dapat merupakan predisposisi untuk terjadinya skizofrenia pada kehidupan selanjutnya (Kunungi dkk, 1995).
b.      Pencegahan
Vaksinasi terhadap influenza sepanjang musim flu, tetapi secara optimal, pada bulan Oktober dan November, dianjurkan oleh Centers for Disease control and prevention (2007a), bagi semua wanita yang akan hamil selama musim ini. Hal ini terutama penting bagi mereka yang mengidap penyakit kronik, misalnya DM, penyakit jantung, asma, atau infeksi immunodefisiensi manusia (HIV). Vaksin inaktif mencegah penyakit klinis pada 70 smapai 90% orang dewasa sehat dan yang utama, tidak terdapat bukti teratogenisitas. Selain itu, Zaman dkk, (2008) mendapatkan penurunan angka influenza pada bayi hingga usia 6 bulan yang ibunya divaksinasi selama kehamilan.
Hanya 44% dokter kandungan yang disurvei menyediakan vaksinasi influenza pada kehamilan (Schrag dkk, 2008). Banyak yang tidak menawarkan vaksinasi karena masalah penggantian biaya atau ketersediaan vaksinasi di tempat lain. Meskipun sebagian besar dari mereka yang ditawari vaksinasi memilih vaksinasi, pada tahun 2004 hanya 14% dari wanita hamil sehat menerimanya (Centers for Disease Control and Prevention, 2007a). Pada tahun 2003 suatu vaksin hidup yang telah dilemahkan, beradaptasi dingin, dan trivalen telah disetujui untuk pemakaian intranasal tetapi tidak dianjurkan bagi wanita hamil.

4.      GONDONGAN
Infeksi pada orang dewasa yang jarang dijumpai ini disebabkan oleh suatu paramiksovirus RNA. Oleh karena imunisasi pada masa anak-anak maka hampir 90% orang dewasa seropositif (Haas dkk, 2005). Virus terutama menginfeksi kelenjar liur dan karena itu diberi nama mumps, yang dalam bahasa Latin berarti “meringis”. Infeksi ini juga dapat mengenai gonad, meningen, pankreas, dan organ lain. Virus ditularkan melalui kontak langsung dengan sekresi saluran napas, liur, atau barang yang tercemar. Terapi bersifat simtomatik dan gondongan selama kehamilan tidak lebih parah daripada orang dewasa tak-hamil.
Galur vaksin Jeryl-Lynn, yaitu virus hidup yang telah dilemahkan adalah bagian dari vaksin MMR-campak, gondongan, dan rubela-dan dikontraindikasikan untuk wanita hamil (America College of Obstetricians and Gynecologysts, 2003). Belum pernah dilaporkan adanya malformasi akibat vaksinasi MMR pada kehamilan, tetapi kehamilan harus dihindari selama 30 hari setelah vaksinasi gondongan. Vaksin dapat diberikan kepada wanita yang rentan pascapartum, dan menusui bukan kontraindikasi (Centers for Disease Control and Prevention, 2002a).
a.       Efek pada janin
Wanita yang terjangkit gondongan pada trimester I kehamilan mungkin mengalami peningkatan risiko abortus spontan. Infeksi pada kehamilan tidak berkaitan dengan malformasi kongenital, dan infeksi pada janin jarang terjadi.

5.      RUBELLA
Sebagian besar orang dewasa kebal terhadap gondongan karena imunisasi pada masa anak-anak. Dalam suatu studi terhadap wanita hamil, 17% ditemukan seronegatif (Haas dkk, 2005). Infeksi ini sangat menular, dan jika campak menjadi epidemik, wanita yang tidak divaksinasi memperlihatkan peningkatan resiko mengalami pneumonia dan diare berat disertai gangguan hasil akhir kehamilan (American Academy of Pediatrics, 2006). Campak paling sering terjadi pada akhir musim dingin dan semi ditandai dengan demam, coryza, konjungtivitis, dan batuk. Ruam khas-bercak koplik-timbul di wajah dan leher lalu menyebar ke punggung, badan dan ekstremitas. Terapi bersifat supportif.
Imunisasi pasif untuk ibu dapat diberikan dengan globulin serum imun 0,25 mL/kg dengan dosis maksimal 15 mL, yang diberikan secara Imdalam 6 hari pajanan. Vaksinasi  aktif tidak dilakukan selama kehamilan, tetapi wanita yang rentan dapat divaksinasi secara rutin pascapartum (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2003). Menyusui bukan merupakan kontraindikasi vaksinasi.
Efek pada janin
Virus tampaknya tidak teratogenik. Terjadi peningkatan frekuensi abortus, persalinan kurang bulan, dan berat lahir rendah pada wanita hamil dengan campak (American Academy of Pediatrics, 2006). Jika seorang wanita terjangkit campak segera sebelum melahirkan, terdapat resiko signifikan infeksi yang serius pada neonatus, khususnya neonatus kurang bulan.

6.      RUBELA (CAMPAK JERMAN)
Pada pasien tak hamil, togavirus RNA ini biasanya menyebabkan infeksi ringan. Namun, infeksi pada trimester I berperan langsung menyebabkan abortus dan malformasi kongenital berat. Penularan terjadi melalui sekresi nasofaring, dan angka penularan adalah 80% pada orang yang rentan.
a.       Gambaran klinis
Pada orang dewasa, rubela biasanya bermanifestasi sebagai penyakit demam ringan disertai ruam makulopapular generalisata yang dimulai di wajah dan menyebar ke badan dan ekstremitas. Gejala lain adalah artralgia atau artritis, limfadenopati kepala dan leher, dan konjungtivitis. Masa tunas adalah 12 sampai 23 hari. Viremia biasanya mendahului tanda-tanda klinis sekitar seminggu , dan orang dewasa dapat menularkan penyakit sejak viremia hingga 5 sampai 7 hari ruam. Hampir separuh infeksi pada ibu hamil bersifat subklinis meskipun terjadi viremia yang dapat menyebabkan infeksi dan malformasi pada janin.
b.      Sindrom rubela kongenital
Rubela adalah salah satu infeksi paling teratogenik yang dikenal dengan sekuele infeksi janin paling buruk selama fase organogenesis.
Menurut Reef, dkk 2000, sindrom rubela mencakup satu atau lebih dari keadaan berikut:
1.      Cacat mata-katarak dan glaukoma kongenital
2.      Penyakit jantung-duktus arteriosus paten dan stenosis arteri pulmonaris
3.      Tuli sensorineural-cacat tunggal tersering
4.      Cacat susunan saraf pusat-mikrosefalus, hambatan perkembangan, retardasi mental dan meningoensefalitis.
5.      Retinopati pigmentasi
6.      Purpura neonatus
7.      Hepatosplenomegali dan ikterus
8.      Penyakit tulang radiolusen

Neonatus yang lahir dengan rubela kongenital dapat mengeluarkan virus selama berbulan-bulan dan karena itu merupakan ancaman bagi bayi lain serta orang dewasa yang rentan yang berkontak dengan mereka.
Sindrom rubela memanjang (extended rubella syndrome) dengan panensefalitis progresif dan diabetes tipe I, mungkin belum muncul secara klinis sampai dekade kedua dan ketiga kehidupan. Hampir sepertiga neonatus yang asimtomatik saat lahir dapat memperlihatkan gangguan perkembangan (Webster, 1999).
c.       Diagnosis
Virus rubela dapat diisolasi dari urin, nasofaring, dan cairan serebrospinal. Tetapi diagnosis biasanya dibuat dari analisa serologis. Antibodi IgM spesifik dapat dideteksi dengan menggunakan enzyme-lynked immunoassary dari 4 sampai 5 hari setelah awitan gejala klinis, tetapi antibody ini dapat menetap hingga 8 minggu setelah munculnya ruam. Yang utama, reinfeksi rubela dapat menyebabkan terdeteksinya IgM berkadar rendah. (Best dkk, 2002) membahas kadar antibodi IgM spesifik-rubella yang rendah pada wanita hamil tanpa ras di daerah dimana rubela jarang dijumpai. Mereka mampu menyingkirkan infeksi rubela baru dengan dengan mendeteksi aviditas IgG rubela yang tinggi pada kebanyakan kasus. Pemeriksaan aviditas IgG rubela baru-baru ini diulas oleh Mubareka dkk, 2007.
Orang yang tak-imun memperhatikan titter antibodi IgG serum puncak 1 sampai 2 minggu setelah awitan viremia. Respon antibodi yang cepat ini dapat memperumit serodiagnosis kecuali jika dilakukan pengambilan sampel awal beberapa hari setelah awitan ruam, misalnya spesimen pertama diambil 10 hari setelah ruam, maka deteksi antibodi IgG tidak akan dapat membedakan antara infeksi baru dan imunitas terhadap rubela yang sudah ada.
Pada wanita hamil yang terinfeksi rubela, konfirmasi infeksi janin dapat dilakukan pada paruh pertama kehamilan. Beberapa kelainan yang dapat dideteksi dengan sonografi adalah hambatan pertumbuhan janin; ventrikulomegali, kalsifikasi intrakranium, mikrosefalus, dan mikroftalmia; malformasi jantung; peritonitis mekoneum; dan hepatosplenomegali.
d.      Penatalaksanaan dan pencegahan
Tidak ada terapi spesifik untuk rubela. Pasien dianjurkan untuk berhati-hati menjaga percikan ludah selama 7 hari awitan ruam. Pencegahan primer bergantung pada program vaksinasi menyeluruh. Untuk melenyapkan rubela dan mencegah sindrom rubela kongenital, dianjurkan pendekatan kompherensif untuk mengimunisasi populasi orang dewasa. Vaksin MMR perlu ditawarkan kepada wanita tak hamil usia subur yang tidak memperlihatkan bukti imunitas setiap kali mereka berhubungan dengan sistem pelayanan kesehatan.
Vaksinasi semua petugas rumah sakit yang rentan yang mungkin terpajan ke pasien rubela atau yang mungkin berkontak dengan wanita hamil penting dilakukan. Vaksinasi rubela harus dihindari 1 bulan sebelum atau selama kehamilan karena vaksin mengandung virus hidup yang telah dilemahkan. meskipun terdapat imunitas, baik yang dirangsang oleh vaksin maupun alami, dapat terjadi reinfeksi rubela subklinis pada wanita hamil ketika wabah. Dam meskipun infeksi janin dapat terjadi, belum pernah dilaporkan efek samping pada janin. 

7.      VIRUS PERNAFASAN
Lebih dari 200 virus pernafasan yang secara antigenis berbeda dapat menyebabkan common cold, faringitis, laringitis, bronkhitis dan pneumonia. Rhinovirus, koronavirus, dan adenovirus adalah penyebab utama common cold. Koronavirus dan rhinovirus yang mengandung RNA biasanya menyebabkan penyakit ringan yang ditandai dengan rinorea, berisn dan hidung tersumbat. Adenovirus yang mengandung DNA lebih besar kemungkinanya menyebabkan batuk dan infeksi saluran napas bawah, termasuk pneumonia.
a.       Efek janin
Efek teratogenik masih diperdebatkan. Wanita hamil dengan common cold memperlihatkan peningkatan empat sampai lima kali lipat anensefalus janin pada suatu penelitian kohort pada 393 wanita di Finnish Register of Congenital malformation (Kurppa dkk, 1991).
b.      HANTAVIRUS
Virus RNA ini adalah anggota dari famili Bunyaviridae. Virus-virus ini berkaitan dengan reservoar binatang pengerat, dan penularan terjadi melalui inhalasi virus yang diekskresikan dan tinja dan urin hewan pengerat. Suatu ledakan kasus terjadi di Amerika Serikat bagian Barat terjadi pada tahun 1993 akibat virus sin nombre. Sindrom paru Hantavirus yang terjadi ditandai oleh sindrom pernafasan dewasa berat dengan kematian kasus mencapai 45%.
Hantavirus adalah sekelompok heterogen virus dengan frekuensi penularan transplasenta yang rendah dan bervariasi. Howard dkk 1999 melaporkan syndrom ini menyebabkan kematian ibu, kematian janin dan persalinan kurang bulan.
c.       Enterovirus
Virus-virus ini adalah subkelompok besar pikornavirus RNA yang mencakup poliovirus, coxsackievirus, dan ekovirus. Virus-virus ini trofik untuk epitel usus tetapi juga dapat menyebabkan infeksi ibu, janin dan neonatus yang luas yang dapat mengenai susunan saraf pusat, kulit, jantung dan paru. Namun, sebagian besar infeksi pada wanita hamil brsifat subklinis, namun dapat mematikan bagi janin-neonatus. Hepatitis A merupakan sautu enterovirus 
d.      Coxsackievirus
Infeksi oleh coxsackievirus grup A dan B biasanya asimptomatik. Infeksi simtomatik biasanya dengan grup B mencakup meningitis aseptik, penyakit mirip polio, penyakit tangan, kaki, dan mulut, ruam, penyakit pernafasan, pleuritis, perikarditis dan miokarditis. Belum ada terapi dan vaksinasi. Virus ini dapat ditularkan melalui sekresi ibu ke janinny saat persalinan pada hampir separuh wanita yang mengalami serokonversi selama kehamilan. Penularan melalui transplasenta juga pernah dilaporkan. 
Malformasi kongenital mungkin sedikit meningkat pada wanita hamil yang memperlihatkan bukti serologis coxsackievirus. Viremia coxsackie dapat menyebabkan hepatitis, lesi kulit, miokarditis dan ensefalomielitis janin, yang semuanya dapat mematikan.
e.       Poliovirus
Sebagian besar dari infeksi yang sangat menular tetapi jarang ini bersifat subklinis atau ringan. Virus bersifat trofik bagi susunan saraf pusat serta dapat menyebabkan poliomielitis paralitik. Siegel dan Golberg (1955) memperlihatkan bahwa wanita hamil tidak saja lebih rentan terhadap polio tetapi juga memperlihatkan peningkatan angka kematian. Penularan perinatal pernah dijumpai, khususnya jika infeksi pada ibu terjadi pada trimester III. Vaksin polio inaktif subkutis dianjurkan untuk wanita hamil rentan yang harus bepergian ke daerah endemik atau ditempatkan di situasi berisiko tinggi lainnya.
f.       Pavovirus
Parvovirus manusia B19 menyebabkan eritema infeksiosum, atau fifth disease. Virus B19 adalah virus DNA untai tunggal kecil yang cepat berproliferasi di sel-sel misalnya prekursor eritroblas (Young and Brown, 2004). Hal ini dapat menyebabkan anemia, yang merupakan efek utama pada kehamilan. Pada wanita dengan anemia hemolitik berat-misalnya, penyakit sel sabit-infeksi parvovirus dapat menyebabkan krisis anaplastik. Cara utama penularan parvovirus adalah kontak tangan ke mulut atau respiratorik, dan infeksi umum yang terjadi di musim semi. Angka infeksi ibu paling tinggi pada wanita dengan usia anak sekolah dan petugas penitipan anak, tetapi guru sekolah biasanya tidak. Viremia terjadi 4 sampai 14 hari setelah terpajan. Pada orang dewasa hanya 40% wanita yang rentan.
g.      Manifestasi klinik
Pada 20 sampai 30% orang dewasa, infeksi tidak menimbulkan gejala. Mungkin timbul demam, nyeri kepala, dan gejala mirip flu dalam beberapa hari terakhir fase viremia. Beberapa hari kemudian, muncul ruam merah terang disertai eritroderma di wajah, menimbulkan gambaran pipi habis ditampar. Ruam kemudian menjadi seperti anyaman   dan menyebar ke badan dan ekstremitas. Orang dewasa umumnya memperlihatkan ruam yang lebih ringan dan mengalami poliartralgia simetris yang mungkin menetap beberapa minggu.
h.      Infeksi janin
Terjadi penularan vertikal ke janin pada sekitar sepertiga ineksi parvovirus pada ibu hamil. Parvovirus adalah infeksi tersering penyebab hidrops non-imun pada janin yang diotopsi. Meskipun demikian, penyulit ini hanya terjadi sekitar 1% dari wanita yang terinfeksi dan biasanya disebabkan oleh infeksi pada paruh pertama kehamilan (Crane, 2002)
Periode kritis untuk infeksi ibu yang menyebabkan hidrops janin diperkirakan antara 13 dan 16 minggu bersamaan dengan periode tertinggi hemopoiesis hati janin.
i.        Diagnosis
Diagnosis infeksi pada ibu umumnya dilakukan berdasarkan uji serologis untuk antibodi IgG dan IgM spesifik (Enders dkk, 2006). DNA virus mungkin terdeteksi selama pordromal tetapi tidak setelah ruam timbul. Infeksi janin dapat diketahui dengan mendeteksi DNA virus dalam cairan amnion atau IgM parvovirus serum janin dengan kordosentesis (Schild dkk, 1999).
j.        Pencegahan
Saat ini belum ada vaksin untuk parvovirus  B19 manusia yang telah disetujui, dan tidak ada bukti bahwa terapi antivirus dapat mencegah infeksi ibu atau janin (Broliden dkk, 2006). Keputusan untuk menghindari situasi kerja yang berisiko tinggi, kompleks dan memerlukan penilaian atas resiko pajanan. Wanita hamil perlu diberi penyuluhan bahwa resiko infeksi adalah 5% untuk kontak biasa yang tidak sering dan 50% untuk interaksi sering dan erat misalnya di rumah.

8.      SITOMEGALOVIRUS
Herpesvirus DNA yang ditemukan di berbagai tempat ini akhirnya menginfeksi sebagian besar manusia. Sitomegalovirus (CMV) adalah infeksi perinatal tersering di negara maju, dan bukti infeksi janin ditemukan pada 0,2 sampai 2% dari semua nenonatus (Revello dan Gerna, 2004). CMV terdapat pada cairan tubuh, dan penularan orang ke orang biasanya terjadi melalui kontak dengan sekresi nasofaring, urin, liur, semen, sekresi serviks dan darah yang terinfeksi. Mungkin terjadi infeksi intrauterus atau intrapartum atau infeksi neonatus melalui ASI.
Hingga 85% wanita dari golongan sosio-ekonomi lemah seropositif pada saat hamil, sementara hanya separuh dari wanita dari golongan sosio-ekonomi mampu yang imun. Namun, serupa dengan infeksi virus herpes lainnya, setelah infeksi primer, CMV menjadi laten dan terjadi pengaktifan berkala disertai pelepasan virus (viral shedding). Hal ini terjadi meskipun terdapat antibodi IgG serum, yang tidak mencegah infeksi kongenital.
a.       Gambaran klinis
Kehamilan tidak meningkatkan risiko atau keparahan infeksi CMV pada ibu. Sebagian besar infeksi tidak menimbulkan gejala, tetapi sekitar 15% orang dewasa yang terinfeksi memperlihatkan sindrom mirip-mononukleosis infeksiosa yang ditandai oleh demam, faringitis, limfadenopati, dan poliarteritis. Wanita dengan gangguan imunitas mungkin mengalami miokarditis, pneumonitis, hepatitis, retinitis, gastroenteritis, atau meningoensefalitis. Nigro dkk (2003) melaporkan bahwa sebagian besar wanita dalam suatu studi kohort dengan infeksi primer memperlihatkan peningkatan kadar amino transferase serum atau limfositosis. Reaktivasi penyakit biasanya asimtomati, meskipun pengeluaran virus sering terjadi.
Infeksi primer CMV pada ibu hamil ditularkan ke janinnya sekitar 40% kasus dan dapat menyebabkan morbiditas berat (Fowler dkk, 1992). Sebaliknya, infeksi rekuren pada ibu hanya menginfeksi janin pada 0,15 sampai 1% kasus. Infeksi janin transplasenta lebih besar kemungkinannya terjadi pada paruh pertama kehamilan. Imunitas  alami selama kehamilan menyebabkan penurunan risiko infeksi CMV kongenital pada kehamilan berikutnya sebesar 70% (Fowler dkk, 2003). Dan karena imunitas ibu tidak mencegah kekambuhan maka antibodi ibu tidak mencegah infeksi janin. Sebagian wanita seropositif juga dapat mengalami reinfeksi oleh galur virus yang berbeda yang dapat menyebabkan infeksi janin dan menimbulkan penyakit kongenital simtomatik (Boppana dkk, 2001).
b.      Infeksi kongenital
Infeksi CMV kongenital simtomatik-tampak adalah suatu sindrom yang mungkin mencakup hambatan pertumbuhan, mikrosefalus, kalsifikasi intrakranium, korioretinitis, retardasi mental dan motorik, defisit sensorineural, heaptosplenomegali, ikterus, anemia hemolitik, dan purpura trombositopenik. Patogenesis berbagai kelainan ini dari sekitar 40.000 neonatus yang terinfeksi setiap tahun, hanya 5 sampai 6% yang memperlihatkan sindrom ini (Fowler, dkk 1992). Sebagian besar bayi yang terinfeksi tidak memperlihatkan gejala saat lahir, tetapi sebagian besar mengalami sekuele yang muncul belakangan, misalnya gangguan pendengaran, defisit neurologis, korioretinitis, retardasi psikomotor dan gangguan belajar.
c.       Penanganan dan pencegahan
Penanganan wanita hamil imunokompeten dengan infeksi CMV primer atau rekuren terbatas pada terapi simtomatik. Jika dipastikan bahwa ibu hamil yang bersangkutan baru menderita infeksi CMV primer maka perlu ditawarkan pemeriksaan analisis cairan amnion. Penyuluhan mengenai hasil akhir janin bergantung pada stadium gestasi saat mana infeksi primer terdokumentasi. Bahkan dengan angka infeksi primer yang tinggi pada paruh pertama kehamilan, sebagian besar janin berkembang secara normal. Pada sebagian, pengakhiran kehamilan mungkin menjadi salah satu pilihan.
Kimberlin dkk, (2003)  memperlihatkan bahwa gansiklovir intravena yang diberikan selama 6 minggu kepada neonatus dengan gejala penyakit susunan saraf pusat mencegah perburukan gangguan pendengaran pada 6 bulan dan mungkin selanjutnya.
Tidak tersedia vaksin CMV. Pencegahan infeksi neonatus bergantung pada pencegahan infeksi primer pada ibu, khususnya pada awal kehamilan. Tindakan-tindakan dasar misalnya higiene yang baik dan mencuci tangan pernah dipromosikan, khususnya bagi wanita uang memiliki anak balita yang dititipkan di TPA.

9.      Infeksi virus PMS
1.      Virus Herpes Simpleks (HSV)
a.      Patogenesis Dan Penularan
Berdasarkan perbedaan imunologis dan klinis terdapat dua jenis HSV. Tipe 1 berperan menyebabkan sebagian besar infeksi non genital, namun lebih dari separuh kasus baru herpes genital pada remaja dan dewasa muda disebabkan oleh infeksi HSV-1. Hal ini disebabkan oleh peningkatan praktik seksual oro-genital. HSV tipe 2 ditemukan hampir hanya dari saluran genital dan biasanya ditularkan melalui hubungan seks. Sebagian besar kekambuhan lebih dari 90 persen disebabkan oleh HSV-2. Terdapat banyak homologi sekuens DNA diantara kedua virus dan riwayat infeksi oleh salah satu tipe akan memperlemah infeksi primer oleh tipe lainnya.
Penularan ke neonatus terjadi melalui tiga rute yaitu : 1. Intrauterus (5%), 2. Peripartum (85%), 3. Pascanatal (10%). Janin terinfeksi oleh virus yang keluar dari servik. Virus menginvasi uterus setelah ketuban pecah atau ditularkan melalui kontak dengan janin saat kelahiran. Angka penularan adalah 1 dalam 3200 sampai 1 dari 30.000 persalinan tergantung pada populasi yang diteliti. Herpes neonatus disebabkan oleh HSV-1 dan HSV-2 meskipun infeksi HSV-2 lebih dominan.
Resiko infeksi neonatus berkorelasi dengan keberadaan HSV disaluran genital, jenis HSV, tindakan obstetri invasif dan stadium infeksi pada ibu. Bayi yang lahir dari ibu yang terjangkit HSV menjelang wakyu persalinan memiliki 30 sampai 50 persen kemungkinan terinfeksi.hal ini disebabkan tingginya jumlah virus dan kurangnya antibodi protektif transplasenta.wanita dengan HSV rekuren memiliki risiko menginfeksi neonatus kurang dari 1 persen



b.      Manifestasi Klinik
Setelah ditularkan melalui kontak genital-genital dan oro-genital, HSV-1 atau HSV-2 bereplikasi ditempat masuk. Setelah infeksi muskokutis virus bergerak retrogard disepanjang saraf sensorik tempat virus ini kemudian laten di gangglion spinal dorsal atau saraf kranialis. Infeksi HSV dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
a.       Episode pertama infeksi primer adalah kasus HSV-1 atau HSV-2 diisolasi dari sekresi genital tanpa adanya antibodi HSV-1 atau HSV-2. Hanya sepertiga dari infeksi genital HSV-2 yang baru didapat menimbulkan gejala. Masa tunas biasanya 2 sampai 10 hari yang kemudian diikuti gambaran klasik berupa erupsi papular disertai gatal atau kesemutan yang kemudian menjadi nyeri dan vesikular. Lesi – lesi di vulva dan perineum dapat menyatu dan adenopati inguinal yang terjadi mungkin parah. Sering terjadi gejala sistemik seperti flu dan diperkirakan disebabkan oleh viremia. Hepatitis, ensefalitis atau pnemonia dapat timbul namun infeksi diseminata jarang dijumpai. Servik sering terkena meskipun secara klinis mungkin jarang terlihat. Beberapa kasus cukup parah sehingga pasien perlu dirawat inap. Dalam 2 sampai 4 minggu semua gejala dan tanda infeksi lenyap. Banyak wanita tidak memperlihatkakn lesi tipikal saat pertama kali datang mungkin ditemui erosi atau fisura yang gatal atau nyeri.
b.      Episode pertama infeksi non-primer didiagnosa jika HSV dapat diisolasi pada wanita yang hanya memiliki antibodi anti-HSV yang lain dalam serumnya. Sebagai contoh HSV-2 diisolasi dari sekresi genital wanita yang telah memiliki antibodi anti-HSV-1 dalam srumnya. Secara umum infeksi ini ditandai oleh lesi yang lebih sedikit ,manifestasi klinik yang lebih ringan, kurang nyeri dan durasi lesi dan pelepasan virus yang lebih singkat. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya imunitas parsial dari antibodi yang dapat bereaksi silang misalnya dari HSV-1 yang diperoleh ketika masa anak.
c.       Reaktivasi penyakit ditandai oleh isolasi HSV-1 atau HSV-2 dari saluran genital wanita yang memiliki antibodi dengan serotip sama.selama masa laten dimana partikel virus berdiam di gangglion saraf reaktivitas sering terjadi akibat berbagai rangsangan yang masih belum sepenuhnya belum dipahami. Reaktivitas disebut infeksi rekuren dan menyebabkan pengeluaran virus herpes. Sebagian besar herpes genitalis rekuren disebabkan oleh virus tipe 2.
Pengeluaran virus asimtomatik didefinisikan sebagai deteksi HSV dengan biakan atau pcr tanpa gejala atau tanda. Sebagian besar wanita yang terinfeksi mengeluarkan virus secara intermiten dan kebanyakan penularan HSV kepada pasangan seksual terjadi selama periode pengeluaran virus asimtomatik. Sebagian besar infeksi primer dan episode pertama pada awal kehamilan mungkin tidak menyebabkan peningkatan abortus atau lahir mati.
Dalam ulasan fragnant dan monif (1989) hanya menemukan 15 kasus infeksi herpes kongenital yang diperoleh selama keamilan. Brown dan baker (1989) melaporkan bahwa infeksi primer pada kehamilan tahap lanjut mungkinm menyebabkan persalinan kkurang bulan. Infeksi neonatus dapat bermanifestasi dalam beberapa cara. Infeksi munngkin terbatas dimata atau mulut pada sekitar 35 pesen kasus. Kelainan susunan saraf pusat disertai ensefalitis dijumpai pada 30 persen kasus. Penyakit diseminata disertai keterlibatan banyak organ utama ditemukan sekitar 25 persen . infeksi lokal bisanya berkaitan dengan hasil akhir yang baik. Sebaliknya bahkan dengan terapi asiklovir infeksi diseminata memperlihatkan angka kematian mendekati 30 persen. Hal yang utama gangguan perkembangan dan susunan saraf pusat serius dijumpai pada 20 sampai 50 persen neonatus yang selamat dari infeksi diseminata atau otak.
    1. Papiloma Virus Manusia
Papiloma virus manusia (HPV) telah menjadi salah satu IMS tersering dengan lebih dari 30 tipe menginfeksi daerah genital. Sebagian besar wanita usia subur terinfeksi dalam beberapa tahun setelah melakukakn hubungan seksual, meskipun kebanyakan infeksi bersifat asimtomatik dan  transien. HPV risiko tinggi tipe 16 dan 18 berkaitan dengan displasia. Kutil genital eksternal mukokutis biasanya disebabkan oleh tipe 6 dan 11 tetapi juga dapat disebabkan oleh tipe HPV dengan risiko onkogenik sedang sampai tinggi.
a.      Kutil Genital Eksernal
Oleh sebab yang belum diketahui kutil genital sering meningkat jumlah dan ukurannya selama kehamila. Akselerasi replikasi virus oleh perubahan – perubahan fisiologis kehamilan mungkin dapat menjelaskan pertumbuhan lesi perineum sehingga kelahiran pervaginam  atau episiotomi sulit dilakukan. Oleh karena infeksi HPV subklinis dan multifokus maka sebagian besar wanita dengan lesi di vulva juga menderita lesi serviks dan demikian sebaliknya.
b.      Infeksi Neonatus
Papilomatosis respiratorik rekuren awitan-juvenilis merupakan neoplasma larink jinak yang jarang. Penyakit ini dapat menyebabkan suara serak dan distres pernapasan pada anak dan sering disebabkan oleh HPV tipe 6 atau 11. Pada sebagian kasus, papilomatosis laring ini berkaitan dengan infeksi HPV di genitalia ibu, tetapi angka penularan neonatus dari berbagai penelitian sangat bervariasi. Meskipun sebagian melaporkan angka penularan hingga 50% kemungkinan besar bahwa temuan ini berasal dari kontaminasi ibu atau infeksi HPV transien. Suatu penelitian berbasis populasi di Denmark menunjukkan bahwa risiko penularan pada neonatus adalah 7 per 1000 wanita yang terinfeksi. Ketuban pecah lama dilaporkan berkaitan dengan peningkatan risiko dua kali lipat tetapi risiko tidak berkaitan cara kelahiran. Risiko penularan yang rendah ini telah dibuktikan dalam penelitian penelitian selanjutnya. Manfaat bedah caesar untuk menurunkan risiko penularan tidak diketahui dan karena itu saat ini hal tersebut tidak dianjurkan hanya atas indikasi untuk pencegahan HPV.

    
    1. Infeksi Virus Imunodefisiensi Manusia (HIV)
Sindrom immunodefisiensi didapat pertama kali pada tahun 1981 ketika sekelompok pasien diketahui mengalami defek imunitas selular dan pneumonia. Di seluruh dunia diperkirakan pada tahun 2007 terdapat 33 juta orang yang terinfeksi HIV/AIDS 2,7 juta kasus baru infeksi HIV dan 2 juta kematian terkait infeksi. Perkiraan jumlah kasus AIDS yang diperoleh secara perinatal telah menurun drastis dalam dua dekade terakhir. Hal ini terutama disebabkan oleh implementasi pemeriksaan HIV pranatal disertai terapi antivirus yang diberikan kepada wanita hamil dan kemudan neonatusnya.
a.      Etiopatogenesis
Penyebab AIDS adalah retrovirus RNA yang dinamai virus immunodefisiensi manusia (HIV), HIV-1 dan HIV-2. Sebagian besar kasus di seluruh dunia disebabkan oleh infeksi HIV-1. Penularan serupa dengan penularan virus hepatitis B dan hubungan seks adalah rute utama. Virus juga ditularkan melalui darah atau produk yang tercemar darah dan ibu dapat menginfeksi janin mereka.
Denominator umum penyakit klinis pada AIDS adalah imunosupresi berat yang menyebabkan timbulnya beragam infeksi opurtunistik dan neoplasma. Penularan seksual terjadi ketika sel dendritik mukosa berikatan dengan glikoprotein selubung HIV gp120. Sel – sel dendritik ini kemudian menyajikan partikel virus ke limfosit yang berasal dari timus atau limfosit T. Limfosit ini secara fenotip memiliki glikoprotein antigen permukaan cluster of differentiaion 4 (CD4). CD4 berfungsi sebagai reseptor bagi virus ini. Diperlukan ko-reseptor agar virus dapat masuk ke dalam sel dan dua reseptor kemokin-CCR5 dan CXCR4 adalah yang tersering di.identifikasi. Ko-reseptor CCR5 ditemukan dipermukaan sel positif CD4 dalam keadaan progesteron tinggi misalnya kehamilan dan ini mungkin mempermudah masuknya virus.
Setelah infeksi awal tingkat viremia biasanya menurun ke suatu set-point dan pasien dengan jumlah virus terbesar pada waktu ini akan lebih cepat berkembang menuju AIDS dan kematian. Seiring dengan waktu jula sel T turun secara perlahan dan progresif sehingga akhirnya terjadi imunosupresi berat. Meskipun diperkirakan bahwa kehamilan tidak banyak berefek pada jumlah sel T CD4+ dan kadar RNA HIV namun yang terakhir ini sering meningkat 6 bulan pascapartum dibandingkan dengan selama kehamilan.
b.      Gambaran Klinis  
Masa nutrisi dari pajanan ke penyakit klinis adalah dalam hitungan hari sampai minggu. Infeksi HIV akut serupa dengan banyak infeksi virus lain dan biasanya berlangsung kurang dari 10 hari. Gejala umum adalah demam dan keringat malam, lesu, ruam, nyeri kepala, limfadenopati, faringitis, mialgia, atralgia, mual, muntah dan diare. Setelah gejala mereda tercapai titik patokan untuk viremia kronik. Perkembangan viremia asimtomatik hingga AIDS memiliki waktu median sekitar 10 tahun. Rute infeksi patogenesitas jalur virus yang menginfeksi, inokulum virus awal dan status imunologis pejamu berperan menentukan kecepatan perkembangan penyakit.
Sejumlah manifestasi klinis dan laboratorium akan menandai perkembangan penyakit. Limfadenopati generalisata, oral hairy leukoplakia, ulkus aftosa dan trombositopenia sering dijumpai. Sejumlah infeksi oportunistik yang berkaitan dengan AIDS adalah kandidiasis asofagus atau paru, lesi herpes simpleks atau zoster yang menetap, penumonia, kondiloma akuminata, tuberkulosis paru, retinitis atau penyakit pencernan akibat sitomegalovirus, moluskum kontagiosum, pneumonia pneunocystis jiroveci, toksoplasmosis dan infeksi lain. Kelainan neurologis sering terjadi dan sekitar separuh pasien memperlihatan gejala susunan saraf pusat. Hitung CD4 + <200/mm3 juga dianggap definitif untuk diagnosis AIDS. Terdapat masalah – masalah ginekologik khas pada wanita dengan infeksi HIV misanya kelainan haid, kebuutuhan kontrasepsi dan neoplasia genital IMS lain yang mungkin menetap hingga kehamilan. Kehamilan berulang tidak berdampak signifikan pada perjalanan klinis atau imunologis infeksi virus.
c.       Penularan Ibu Dan Perinatal
Penularan HIV transplasenta dapat terjadi secara dini dan virus pernah ditemukan dalam spesimen dari abortus efektif. Namun pada kebanyakan kasus penularan ibu ke anak adalah penyebab tersering infeksi HIV pada anak. Antara 15 sampai 40 persen neonatus yang lahir dari ibu yang terinfeksi. Kourtis dkk (2001) mengajukan suatu model untuk memperkirakan distribusi waktu penularan vertikal. Mereka memperkirakan bahwa 20 persen penularan terjadi sebelum 36 minggu, 50 persen pada hari-hari sebelum persalinan dan 30 persen intrapartum. Angka penularan untuk menyusui dapat setinggi 30 sampai 40 persen. Penularan vertikal lebih sering pada kelahiran kurang bulan khususnya ketuban pecah lama. Dengan menganalisis data dari Perinatal AIDS Collaborative Transmission Study, Kuhn dkk (1999) melaporkan peningkatan risiko 3,7 pada persalinan kurang bulan.
Pada orang yang tidak hamil tedapat keterkaitan antara IMS lain dan penularan HIV horizontal. Terdapat bukti bahwa penularan perinatal vertikal juga meningkat. Cowan dkk (2008) memperlihatkakan bahwa wanita dengan antibodi HSV-2 memperlihatkan peningkatan risiko 50 persen penularan HIV-1 ibu ke anak intrapartum. Mereka berpendapat bahwa 25 persen vertikal disebabkan oleh ko-infeksi HSV-2 pada ibu.
Penularan HIV perinatal paling berkorelasi dengan jumlah RNA HIV plasma ibu. Infeksi neonatus kohort adalah 1 persen dengan <400 salinan/ml dan infeksi menjadi lebihdari 30 persen jika kadar RNA virus >100.000 salinan/ml. Yang penting terapi zidovudin (ZDV) yang menurunkan kadar ini menjadi <500 salinan/ml juga meminimalkan risiko penularan meskipun ZDV efektif menurunkan penularan pada  semua kadar RNA HIV. Para peneliti juga melaporkan bahwa infus globulin hiperimun HIV-1 ke ibu tidak mengubah risiko penularan. Namun, penularan pernah dijumpai pada semua tingkat kadar RNA HIV termasuk yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan yang ada sekarang. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketidaksamaan antara jumlah virus (viral load) dalam plasma di sekresi genital. Oleh karena temuan-temuan tersebut maka jumlah virus jangan digunakan untuk menentukan apakah terapi antiretrovirus akan dimulai pada kehamilan.
d.      Konseling Prakonsepsi
Suatu aspek penting dalam konseling prakonsepsi adalah bahwa jika kehamilan tidak diinginkan maka perlu digunakan kontrasepsi yang efektif. Obat antivirus tertentu menurunkan efektivitas kontrasepsi horman. Konseling juga perlu mencakup pendidikan untuk mengurangi perilaku risiko tinggi untuk mencegah penularan dan mengurangi kejangkitan penyakit menular seksual lainnya. Obat antiretrovirus yang saat ini dikonsumsi dibahas untuk memastikan bahwa obat dengan potensi teratogenik tinggi dihindarijika wanita yang bersangkutan ingin hamil.    
e.       Terapi  Antiretrovirus
Terapi dianjurkan untuk ibu yang terinfeksi HIV. Hal ini mungkin merupakan yang pertama bagi mereka tidak memenuhi kriteria tertentu. Terapi menurunkan risiko penularan perinatal berapapun jumlah sel T CD4+ atau kadar RNA HIV. Terapi antiretrovirus merupakan hal yang rumit dan kehamilan hanya menambah kompleksitas ini. Secara umum HAARTdimulai jika wanita yang bersangkutan belum mendapat salah satu resimen ini. Obat anturetrovirus dikelompokkan menjadi beberapa kelas dan digunakan untuk merancang regimen antiretrovirus. Wanita yang bersangkutan diberi penerangan tentang risiko dan manfaat obat antiretrovirus untuk membuat informed consent mengenai regimen pengobatannya. Regimen apapun yang digunakan kepatuhan merupakan hal penting karena risiko resistensi obat dapat dikurangi.
US Public Health Service Task Force (2009) telah mengeluarkan petunjuk yang merinci penanganan berbagai skenario selama kehamilan. Wanita yang sudah mendapat HAART sejak awal kehamilan didorong untuk melanjutkan regimen jika virus telah ditekan secara adekuat. Pengecualian yang telah dibahas adalah efavirenz yang harus dihentikan pada trimester pertama karena kekhawatiran akan efek teratogeniknya. Selama ini dianjurkan penambahan zidovudin ke semua regimen namun saat ini pada wanita dengan supresi viremia yang adekuat dengan regimen yang tidak mengandung zidovudin regimen tersebut dapat dilanjutkan. Pada semua wanita zidovudin diberikan secara intravena selama kehamilan dan persalinan.
Wanita yang belum pernah mendapat terapi antiretrovirus-antiretroviral naive digolongkan kedalam dua kategori :
1.      Mereka yang memenuhi kriteria untuk inisiasi terapi antiretrovirus pada orang dewasa tidak hamil diberikan HAART tanpa mempertimbangkan trimester dengan menggunakan regimen yang mengandung zidovudin jika mungkin. Karena meningkatnya risiko hepatotoksisitas, nevirapin digunakan bagi wanita dengan hitung sel CD4+  <250 sel/mm3. Secara umum regimen HAART awal adalah dua inhibitor reverse transcriptase non nukleosida atau inhibitor protase.
2.      Wanita hamil yang terinfeksi HIV yang treatment-naive yang tidak memenuhi kriteria tetapi antiretrovirus untuk orang dewasa tidak hamil diberi penyuluhan mengenai manfaat memulai terapi untuk mencegah penularan virus perinatal. Karena adanya kemungkinan efek teratogenik, terapi dapat ditunda sampai trimester kedua. Zidovudin harus menjadi komponen regimen jika memungkinkan. Monoterapi zidovudin merupakan salah satu pilihan bagi sebagian wanita yang ingin membatasi pajanan ke obat. Monoterapi ini kontroversial tetapi dapat digunakan pada wanita dengan kadar RNA HIV <1000 salinan/ml yang belum mendapat pengobatan.
Kelompok wanita yang lain pernah mendapat terapi antiretrovirus tetapi saat ini tidak mendapat pengobatan. Riwayat pemakaian antiretrovirus meningkatkan risiko resistensi obat HIV dan karenanya perludilakukan pemeriksaan resistensi. Regimen kemudian dapat disesuaikan berdasarkan riwyat pengobatan dan respon serta pola resistensi yang diperoleh.
f.       Penyulit HIV 
Penatalaksanaan sebagian dari penyulit HIV mungkin mengalami perubahan akibat kehamilan. Jika hitung limfosit T CD4+ <200/mm3 pasien diberi profilaksis primer untuk pneumonia P jiroveci dengan sulfametoksazol-trimetoprim atau dapson. Pneumonia diobati dengan sulfametoksazol-trimetropim oral atau intravena atau dapson trimetropim. Infeksi oportunistik simtomatik lainnya yang mungkin timbul adalah infeksi toksoplasma, virus herpes, mikobakteri dan kandida yang laten atau yang baru didapat.
g.      Penularan HIV Pranatal
Terapi ibu dengan HAART disertai profilaksis zidovudin intrapartum secara drastis menurunkan risiko penularan HIV perinatal dari sekitar 25 persen menjadi 2 persen tau kurang pada wanita. Penatalaksanaan persalinan yang sesuai masih belum diketahui pasti tetapi jika persalinan berjalan dengan ketuban utuh pemecahan ketuban dan pemantauan janin yang bersifat invasif dihindari. Penguat persalinan digunakan jika diperlukan untuk mempersingkat  waktu persalinan sehingga risiko penularan berkurang. Pelahiran operatif dengan ekstraksi cunam atau vakum dihindari jika mungkin. Perdarahann pasca partum ditangani dengan oksitosin dan analog prostaglandin karena metergin dan alkaloid ergot lainnya berinteraksi dengan reverse transcriptase dna inhibitor protease sehingga dapat terjadi vasokontraksi hebat.
Bedah ceasar direkomendasikan untuk mengurangi penularan HIV pranatal. Suatu meta analisis terhadap 15 studi kohort prospektif oleh Internasional Perinatal HIV Group yang melibatkan 8533 pasangan ibu neonatus mendapatkan bahwa penularan  HIV vertikal berkurang sekitar separuh pada bedah caesar dibandingkan dengan per vaginam. Jika terpai antiretrovirus diberikan pada periode perinatal, intrapartum dan neonatus bersama dengan bedah caesar kemungkinan penularan neonatus berkurang 87 persen dibandingkan dengan cara – cara lain kelahiran yang tanpa antiretrovirus.
Berdasarkan pengamatan – pengamatan ini American College of Obsetricians and Gynecoclogist (2000) menyimpulkan bahwa bedah caesar elektif perlu dibahas dan dianjurkan pada wanita terinfeksi HIV yang jumlah RNA HIV-1nya melebihi 1000/ml. Kelahiran terjadwal dianjurkan sedini 38 minggu untuk mengurangi kemungkinan ruptur kurang bulan membran. Meskipun data untuk memperkirakan manfaat bedah caesar ini bagi wanita yang kadar RNA HIV-nya kurang dari 1000/ml belum memadai namun kecil kemungkinannya bahwa seksio elektif menurunkan risiko tersebut lebih lanjut. Jika pasien dilakukan bedah caesar maka pasien dianjurkan diberi antimikroba perioperatif standar untuk profilaksis. 
h.      Menyusui
Transmisi vertikal meningkat dengan menyusui. Wanita positif HIV tidak dianjurkan untuk menyusui di negara ini. Kemungkinan penularan HIV per liter ASI yang diminum diperkirakan serupa dengan tingkat penularan heteroseksual melalui hubungan tanpa pelindung pada orang dewasa.seperti pajanan lainnya risiko bergantung pada kadar RNA HIV ibu status penyakit HIV, kesehatan payudara dan durasi menyusui. Sebagian besar penularan terjadi dalam 6 bulan pertama dan hampir dua pertiga infeksi pada bayi yang menyusui berasal dari ASI. Manfaat profilaktik regimen antivirus perinatal jangka pendek berkurung secara bermakna pada usia 18 bulan akibat menyusui. World Health Organization (2008) menganjurkan untuk melanjutkan promosi menyusui dengan penyapihan dini pada usia 6 bulan bagi wania yang tinggal di negara yang sedang berkembang dimana penyakit infeksi dan malnutrisi adalah penyebab utama kematian bayi. 
i.        Penatalaksanaan Pascapartum
Banyak wanita asimtomatik dengan hitung sel T CD4+ normal dan kadar RNA HIV rendah dapat menghentikan pengobatan setelah pesalinan dan dipantau secara ketat sesuai petunjuk untuk pasien dewasa.dukungan psikologis sangat penting selama waktu itu khususnya selagi menunggu hasil pemeriksaan diagnostik untuk infeksi anaknya. Kebutuhan kontrasepsi merupakan masalah kompleks dan mungkin mengharuskan pemakaian kondom jika pasangan tidak terinfeksi. Obat antiretrovirus dapat mempengaruhi kadar hormon kontrasepsi oral dan mungkin juga kontrasepsi suntik. Alat kontrasepsi dalam rahim mungkin merupakan pilihan yang tepat bagi sebagian wanita dengan imunokompetensi normal dan risiko PMS yang rendah.
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERJADINYA INFEKSI VIRUS
Diperkirakan 20% dari kehamilan akan mengalami komplikasi.Sebagian komplikasi ini dapat mengancam jiwa, tetapi sebagian besar komplikasi dapat dicegah dan ditangani bila :
  1. Ibu segera mencari pertolongan ketenagakesehatan;
  2. Tenaga kesehatan melakukan prosedur penanganan yang sesuai, antara lain penggunaan partograf untuk memantau perkembangan persalinan, dan pelaksanaan manajemen aktif kala III (MAK III) untuk mencegah perdarahan pasca-salin;
  3. tenaga kesehatan mampu melakukan identifikasi dini komplikasi;
  4. apabila komplikasi terjadi, tenaga kesehatan dapat memberikan pertolongan pertama dan melakukan tindakan stabilisasi pasien sebelum melakukan rujukan;
  5. proses rujukan efektif; 6) pelayanan di RS yang cepat dan tepat guna.
Terdapat tiga jenis area intervensi yang dilakukan untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan ibu dan neonatal  yaitu melalui :
1)      peningkatan pelayanan antenatal yang mampu mendeteksi dan menangani kasus risiko tinggi secara memadai;
2)      pertolongan persalinan yang bersih dan aman oleh tenaga kesehatan terampil, pelayanan pasca persalinan dan kelahiran; serta
3)      pelayanan emergensi obstetrik dan neonatal dasar (PONED) dan komprehensif (PONEK) yang dapat dijangkau secara tepat waktu oleh masyarakat yang membutuhkan.

Upaya terobosan dalam penurunan AKI dan AKB di Indonesia salah satunya dilakukan
melalui Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K). Program terse
but menitikberatkan kepedulian dan peran keluarga dan masyarakat dalam melakukan upaya deteksi dini, menghindari risiko kesehatan pada ibu hamil, serta menyediakan akses dan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal dasar di tingkat Puskesmas (PONED) dan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal komprehensif di Rumah Sakit (PONEK).
Dalam implementasinya, P4K merupakan salah satu unsur dari Desa Siaga. P4K mulai diperkenalkan oleh Menteri Kesehatan pada tahun 2007. Pelaksanaan P4K di desa-desa tersebut perlu dipastikan agar mampu membantu keluarga dalam membuat perencanaan persalinan yang
baik dan meningkatkan kesiapsiagaan keluarga dalam menghadapi tanda bahaya kehamilan,
persalinan, dan nifas agar dapat mengambil tindakan yang tepat.
Dilakukan pula kegiatan Audit Maternal Perinatal (AMP), yang merupakan upaya dalam
penilaian pelaksanaan serta peningkatan mutu pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Kegiatan ini dilakukan melalui pembahasan kasus kematian ibu atau bayi baru lahir sejak di level masyarakat sampai di level fasilitas pelayanan kesehatan. Salah satu hasil kajian yang didapat dari AMP adalah kendala yang timbul dalam upaya penyelamatan ibu pada saat terjadi kegawatdaruratan maternal dan bayi baru lahir. Kajian tersebut juga menghasilkan rekomendasi  intervensi dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan ibu dan bayi di masa mendatang.

  1. Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil
Pelayanan kesehatan ibu hamil diwujudkan melalui pemberian pelayanan antenatal sekurang-kurangnya empatkali selama masa kehamilan,dengan distribusi waktu minimal satu kali pada trimester pertama (usia kehamilan 0-12 minggu), satukali pada trimester kedua (usia kehamilan 12-24 minggu), dan dua kali pada trimester ketiga (usia kehamilan 24 minggu sampaipersalinan). Standar waktu pelayanan tersebut dianjurkan untuk menjamin perlindungan terhadap ibu hamil dan atau janin berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan,dan penanganan dini komplikasi kehamilan.

Pelayanan antenatal yang dilakukan diupayakan memenuhi standar kualitas, yaitu:
a.       Penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan
b.      Pengukuran tekanan darah;
c.       Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LiLA);
d.      Pengukuran tinggi puncak rahim (fundus uteri);
e.       Penentuan status imunisasi tetanus dan pemberian imunisasi tetanus toksoid sesuai status imunisasi;
f.       Pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan;
g.      Penentuan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ);
h.      Pelaksanaan temu wicara (pemberian komunikasi interpersonal dan konseling, termasuk keluarga berencana);
i.        Pelayanan tes laboratorium sederhana, minimal tes hemoglobindarah (Hb), pemeriksaan protein urin dan pemeriksaan golongan darah (bila belum pernah dilakukan sebelumnya); dan
j.        Tatalaksana kasus.

  1. Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas
Nifas adalah periode mulai dari enamjam sampai dengan 42 hari pasca persalinan. Pelayanan kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan pada ibu nifas sesuai standar, yang dilakukansekurang-kurangnya tiga kali sesuai jadwal yang dianjurkan, yaitu pada enamjam sampai dengan tigahari pasca persalinan, pada hari keempatsampai dengan hari ke-28 pasca persalinan, dan pada hari ke-29 sampai dengan hari ke-42 pasca persalinan.Jenis pelayanan kesehatan ibu nifas yang diberikan meliputi :
a.       Pemeriksaan tanda vital (tekanan darah, nadi, nafas, dan suhu);
b.      Pemeriksaan tinggi puncak rahim (fundus uteri);
c.       Pemeriksaan lokhia dan cairan per vaginam lain; Pemeriksaan payudara dan pemberian anjuran ASI eksklusif;
d.      Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kesehatan ibu nifas dan bayi baru lahir, termasuk keluarga berencana;
e.       Pelayanan keluarga berencana pasca persalinan.












BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
  1. Kesimpulan
Lima penyebab kematian ibu terbesar yaitu perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (HDK), infeksi, partus lama/macet dan abortus. Kematian ibu di Indonesia masih didominasi oleh tiga penyebab utama kematian yaitu perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (HDK), dan  infeksi.
Keberlangsungan hidup virus memerlukan transmisi dari host ke host. Rute transmisi merupakan aspek penting pada kehidupan virus, karena akan menentukan awal infeksi sel dan sel mana yang akan memproduksi virus untuk transmisi berikutnya. Transmisi virus biasanya berlangsung pada daerah anatomi tertentu; hal ini memberi kesempatan untuk sistem imun tubuh membatasi infeksi di sejumlah tempat saja, misalnya virus influenza dan virus nafas yang lain akan bereplikasidalam sel kolumnar epitel sel atas; ditransmisikan hanya melalui pintu ini, dan dengan demikian respons imun lokal dapat mengeblok infeksi.  Penyebaran virus juga dapat dicegah dengan imunitas lokal sebagai organ tubuh terbesar dan paling luar, kulit merupakan target untuk awal infeksi virus. Namun cornified epithelium kulit merupakan barrier yang sangat efektif melawan transmisi virus dan hanya sedikit virus yang mampu menembus barier tersebut
Diperkirakan 20% dari kehamilan akan mengalami komplikasi.Sebagian komplikasi ini dapat mengancam jiwa, tetapi sebagian besar komplikasi dapat dicegah dan ditangani bila :
  1. Ibu segera mencari pertolongan ketenagakesehatan;
  2. Tenaga kesehatan melakukan prosedur penanganan yang sesuai, antara lain penggunaan partograf untuk memantau perkembangan persalinan, dan pelaksanaan manajemen aktif kala III (MAK III) untuk mencegah perdarahan pasca-salin;
  3. tenaga kesehatan mampu melakukan identifikasi dini komplikasi;
  4. apabila komplikasi terjadi, tenaga kesehatan dapat memberikan pertolongan pertama dan melakukan tindakan stabilisasi pasien sebelum melakukan rujukan;
  5. proses rujukan efektif; 6) pelayanan di RS yang cepat dan tepat guna.
Terdapat tiga jenis area intervensi yang dilakukan untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan ibu dan neonatal  yaitu melalui :
4)      peningkatan pelayanan antenatal yang mampu mendeteksi dan menangani kasus risiko tinggi secara memadai;
5)      pertolongan persalinan yang bersih dan aman oleh tenaga kesehatan terampil, pelayanan pasca persalinan dan kelahiran; serta
6)      pelayanan emergensi obstetrik dan neonatal dasar (PONED) dan komprehensif (PONEK) yang dapat dijangkau secara tepat waktu oleh masyarakat yang membutuhkan.

No comments: