BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur
status kesehatan ibu pada suatu wilayah, salah satunya yaitu angka kematian ibu
(AKI). AKImerupakan salah satu indikator yang peka terhadap kualitas dan aksesibilitas
fasilitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI (yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan,
dan nifas) sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini masih cukup
tinggi jika dibandingkan dengan negara–negara tetangga di Kawasan ASEAN. (Pofil
kesehatan Indonesia, 2014).
Lima
penyebab kematian ibu terbesar yaitu perdarahan, hipertensi dalam kehamilan
(HDK), infeksi, partus lama/macet dan abortus. Kematian ibu di Indonesia masih didominasi
oleh tiga penyebab utama kematian yaitu perdarahan, hipertensi dalam kehamilan
(HDK), dan infeksi. Namun proporsinya telah
berubah, dimana perdarahan dan infeksi cenderung mengalami penurunan sedangkan
HDK proporsinya semakin meningkat. Berdasarkan data yang diperoleh dari Profil
Kesehatan Indonesia, infeksi menyumbang kematian ibu sebanyak 7,3 % pada tahun
2013, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 5,6%. (Profil Kesehatan
Indonesia, 2014)
Infeksi yang terjadi pada manusia normal umunya
singkat dan jarang meninggalkan kerusakan permanen. Hal ini disebabkan tubuh
manusia memiliki suatu sistem yaitu
sistem imun yang melindungi tubuh terhadap unsur – unsur patogen. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh
biologis luar yang laus, melindungi tubuh dari infeksi bakteri, virus, fungus,
protozoa dan parasit serta menghancurkan zat – zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel
yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa. Sistem imun
yang sehat adalah jika dalam tubuh bisa membedakan antara diri sendiri dan
benda asing yang masuk kedalam tubuh. Biasanya ketika ada benda asing yang
memicu respon imun masuk kedalam tubuh (antigen) dikenali maka terjadilah
proses pertahanan diri. (Karnen, 2006)
Beberapa virus dapat menginfeksi sel-sel sistem imun sehingga mengganggu
fungsinya dan mengakibatkan imunodepresi, misalnya virus polio, influenza dan
HIV atau penyakit AIDS. Sebagian besar virus membatasi diri (self-limiting),
namun sebagian lain menyebabkan gejala klinik atau subklinik. Penyembuhan
infeksi virus pada umumnya diikuti imunitas jangka panjang. Pengenalan sel
target oleh sel T sitotoksik spesifik virus dapat melisis sel target yang
mengekspresikan peptida antigen yang homolog dengan region berbeda dari protein
virus yang sama, dari protein berbeda dari virus yang sama atau bahkan dari
virus yang berbeda. Aktivasi oleh virus kedua tersebut dapat menimbulkan memori
dan imunitas spontan dari virus lain setelah infeksi virus inisial dengan jenis
silang. Demam dengue dan demam berdarah dengue merupakan infeksi virus akut
yang disebabkan oleh empat jenis virus dengue. Imunitas yang terjadi cukup lama
apabila terkena infeksi virus dengan serotipe yang sama, tetapi bila dengan
serotipe yang berbeda maka imunitas yang terjadi akan berbeda. Gangguan pada
organ hati pada demam berdarah dengue telah dibuktikan dengan ditemukannya RNA
virus dengue dalam jaringan sel hati dan organ limfoid. Virus dengue ternyata
menyerang sel kupffer dan hepatosit sehingga terjadi gangguan di hati.
Tujuan
makalah
- Untuk
mengetahui jenis-jenis infeksi virus pada ibu hamil dan nifas
- Untuk
mengetahui pathogenesis virus
- Untuk
mengetahui penanganan dan pencegahan infeksi virus
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
- DEFINISI
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit
terutama infeksi.
Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperand
alam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun.
Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul
dan bahan lainnya terhadap mikroba disebut respon imun.
Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan
keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam
lingkungan hidup. Mikroba dapat hidup ekstraseluler, melepas enzim dan
menggunakan makanan yang mengandung banyak gizi yang diperlukannya. Mikroba
lain menginfeksi sel pejamu dan berkembangbiak intraselular dengan menggunakan
sumber energi sel pejamu. Baik mikroba ekstraselular maupun intraselular dapat
menginfeksi subjek lain, menimbulkan penyakit dan kematian, tetapi banyak juga
yang tidak berbahaya bahkan berguna bagi pejamu.
Virus terdiri atas nuclead acid yang berada di dalam bungkus protein atau
lippoprotein. Virus mampu mengadakan penetrasi ke dalam sel host dan dan
memanfaatkan sel host untuk kepentingannya. Reproduksi-replikasi sel
berlangsung dengan sejumlah proses biokemis dan mengakibatkan perubahan
morfologis dalam sel yang biasanya mengakibatkan kematian sel.
- PATOGENESIS
VIRUS
Keberlangsungan hidup virus memerlukan transmisi
dari host ke host. Rute transmisi merupakan aspek penting pada kehidupan virus,
karena akan menentukan awal infeksi sel dan sel mana yang akan memproduksi
virus untuk transmisi berikutnya. Transmisi virus biasanya berlangsung pada
daerah anatomi tertentu; hal ini memberi kesempatan untuk sistem imun tubuh
membatasi infeksi di sejumlah tempat saja, misalnya virus influenza dan virus
nafas yang lain akan bereplikasidalam sel kolumnar
epitel sel atas; ditransmisikan hanya melalui pintu ini, dan dengan demikian
respons imun lokal dapat mengeblok infeksi.
Penyebaran virus juga dapat dicegah dengan imunitas lokal sebagai organ
tubuh terbesar dan paling luar, kulit merupakan target untuk awal infeksi
virus. Namun cornified epithelium
kulit merupakan barrier yang sangat efektif melawan transmisi virus dan hanya
sedikit virus yang mampu menembus barier tersebut. Transmisi melalui kulit
dapat terjadi secara fisik menembus keratinosit secara natural (melalui gigitan
insekta atau binatang lainnya), atau artifisial (melalui suntikan
hipodermik).
- DAMPAK
INFEKSI SEL
Penetrasi virus
ke dalam sel akan menghasilkan 4 kemungkinan.
1.
Sel tubuh manusia tidak dapat
menerima virus; protein dan nucleid acid
virus akan dieliminasi dengan minimal/tanpa gangguan pada sel tubuh.
2.
Terjadi replikasi virus namun
gagal menghasilkan progeny yang
infeksius, terdapat kemungkinan timbul perubahan sel dari yang minimal sampai
kematian.
3.
Terjadi replikasi virus,
menghasilkan progeny; sel mati atau
tetap hidup namun terinfeksi persisten dan terus menghasilkan progeny virus.
4.
Virus berada dalam keadaan laten
dan tampak seperti hilang; sampai ia terpicu untuk reaktivasi dengan
menghasilkan progeny yang infeksius.
Dampak infeksi tersebut tidak mutually exclusive; pada seorang yang tidak terinfeksi virus, dapat
terjadi simultan tergantung pada sifat sel yang terinfeksi dan kondisi infeksi
(meliputi jumlah virus yang menginfeksi sel, eksposur sel terhadap sitokin).
Mekanisme hasil outcome
sangat bervariasi di antara virus, namun virus harus memenuhi beberpa fungsi
dasar:
1.
Menghasilkan mRNA untuk produksi
viral protein pada ribosom seluler.
2.
Replikasi genom virus
3.
Assemble genom dengan
viral-terkadang sel protein, dan melepas progeny
dari sel.
4.
Modifikasi metabolisme selular
host untuk replikasi sel yang optimum.
Infeksi virus yang produktif menghasilkan
ratusan-ribuan progeny. Siklus infeksi yang terpendek berlangsung lengkap dalam
4 jam. Kapasitas replikasi ini merupakan tantangan besar untuk sistem imun,
karena di dalam waktu sehari terjadinya 3-4 kali siklus infeksi dapat
menghasilkan sejumlah virus untuk menginfeksi semua sel target organ. Host
dengan demikian harus memberi respon yang memadai terhadap virus sitopatik.
- ASPEK
KINETIK INFEKSI
Banyak virus bereplikasi dalam host dan menyebar
dari satu organ ke organ lain. Penyebaran/diseminasi virus dapat terjadi melalui
darah atau saluran limfe. Karena saluran limfe lebih mudah dicapai dibanding
kapiler, cara ini lebih sering terjadi. Saluran limfe membawa bahan asing dari
perifer ke lymph node. Virus dapat
mencapai aliran darah melalui saluran
limfe bila tidak mengalami destruksi di lymph
node.
Virion sering kali mengalami kesulitan untuk meluas
dengan cara tersebut. Dan banyak kasus virus meluas dengan cara menginfeksi sel
darah putih (eritrosit tidak dapat diinfeksi karena tidak mempunyai bahan untuk
metabolisme virus). Karena sel tersebut mampu meninggalkan pembuluh darah atau
saluran limfe, virus akan terbawa serta masuk langsung ke organ tubuh. Tanpa
adanya cell carrier, virus harus mempunyai cara lain untuk melampaui barier
yang mangawal jaringan. Beberapa virus
dapat mengalami transitosis oleh endothelial cell ke dalam sel dibawahnya.
Pada jaringan dengan sinusoid, virus dapat
mengalami transitosis oleh makrofag setempat yang melapisi sinusoid, sehingga
dapat penetrasi langsung ke jaringan. Beberapa jaringan ikat, otot dan sistem
saraf pusat sangat resisten terhadap penetrasi langsung, karena sel endotel
kapiler didukung oleh membran basalis yang kuat. Dalam hal ini, penetrasi virus
terjadi secara diapedesis.
Virus yang mampu menginfeksi neuron dapat berjalan
sepanjang saraf dari perifer ke ganglia atau sistem saraf pusat. Transpor dapat
berjalan ke kedua arah. Herpes virus,
yang berada dalam keadaan laten di ganglion
spinalis dapat direaktivasi ke perifer dan ditularkan ke host lain dengan
hubungan intim. Virus rabies berjalan ke sistem saraf pusat melalui saraf
sensoris dari tempat gigitan binatang. Virus bermultiplikasi di sistem saraf
pusat dan meninggalkan sistem saraf pusat melalui sabut eferent ke kelenjar
liur, dimana virus dapat mengalami peyebaran bersama saliva. Replikasi virus di
sistem saraf pusat, cukup spesifik sehingga menimbulkan perubahan behaviour
host yang memudahkan transmisi.
Cara penularan virus yang lain adalah
penularan virus dari ibu ke janin. Untuk
virus nonsitopatogenik, maka akan memberikan kelangsungan keberadaan virus di
spesies. Untuk retrovirus, yang berintegrasi dengan genom, batas anatara virus
dan host menjadi kabur, karena gen virus ditransmisikan ke genom. Untuk virus
yang sitopatik, cara penularan ini mengakibatkan gangguan janin, namun tidak
memberikan keuntungan bagi virus, karena fetus yang mati tidak akan berpotensi
menularkan pada host lain.
- IMUNOLOGI
IBU DAN JANIN
- Perubahan
imunologis akibat kehamilan
Ibu hamil sangat peka terhadap
terjadinya infeksi dari berbagai mikroorganisme. Secara fisiologik sistem imun
pada ibu hamil menurun, kemungkinan sebagai akibat dari toleransi sistem imun
ibu terhadap bayi yang merupakan jaringan semi-alogenik, meskipun tidak
memberikan pengaruh secara klinik.
Bayi intra uterin baru membentuk sistem
imun pada usia kemahilan sekitar 12 minggu, kemudian meningkat dan pada
kehamilan 26 minggu hampir sama dengan sistem imun pada ibu hamil itu sendiri.
Pada perinatal bayi mendapat antibodi yang dimiliki oleh ibu, tetapi setelah 2
bulan antibodi akan menurun. Secara anatomik dan fisiologik ibu hamil juga
mengalami perubahan, misalnya pada ginjal dan saluran kencing sehingga
mempermudah terjadinya infeksi (Sarwono, 2010).
Peningkatan pH sekresi vagina wanita
hamil membuat wanita tersebut lebih rentan terhadap infeksi vagina. Sistem
pertahanan tubuh ibu selama kehamilan akan tetap utuh, kadar imunoglobulin
dalam kehamilan tidak berubah.
HCG dapat
menurunkan respon imun wanita hamil. Selain itu kadar Ig G, Ig A, dan Ig M
serum menurun mulai dari minggu ke-10 kehamilan hingga mencapai kadar terendah
pada minggu ke-30 dan tetap berada pada kadar ini hingga aterm.
- Imunologi
janin dan neonatus
Kapasitas imunologis aktif dan neonatus lebih lemah
daripada yang dimiliki oleh anak yang lebih tua dan orag dewasa. Menurut
Stirrat (1991), imunitas selular dan humoral janin mulai berkembang pada 9
sampai 15 minggu. Respons primer janin terhadap infeksi adalah pembentukan
imunoglobulin M (Ig M). Imunitas aktif dihasilkan oleh IgG yang disalurkan
melalui plasenta. Pada 16 minggu, penyaluran ini mulai meningkat pesat, dan
pada 26 minggu konsentrasi di janin sama dengan konsentrasi di ibunya. Setelah
persalinan, air susu bersifat protektif terhadap sebagian infeksi, meskipun
proteksi ini mulai menurun pada usia 2 bulan (WHO collaborative study team,
2000).
Transmisi vertikal infeksi merujuk kepada penularan
suatu infeksi dari ibu ke janin melalui plasenta, selama persalinan atau
kelahiran, atau sewaktu menyusui. Ketuban pecah dini, partus lama, dan
manipulasi obstetris dapat meningkatkan risiko infeksi neonatus.
Infeksi neonatus, khususnya pada tahap-tahap awal,
mungkin sulit didiagnosis karena neonatus sering tidak menunjukkan tanda-tanda
klasik penyakit. Jika janin terinfeksi in utero, mungkin terjadi depresi dan
asidosi yang lahir tanpa sebab yang jelas. Neonatus mungkin tidak mau makan,
muntah atau mengalami distensi abdomen. Dapat terjadi insufisiensi pernafasan,
yang mungkin memberi gambaran serupa dengan sindrom distres pernafasan
idiopatik. Bayi mungkin mudah terangsang. Respon terhadap sepsis mungkin berupa
hiportermia dan bukan hipertermia, sementara hitung lekosit dan neutrofil
mungkin menurun.
Infeksi yang diperoleh di rumah sakit berbahaya
bagi neonatus kurang bulan, dan orang yang merawat mereka adalah sumber utama
infeksi ( Stoll dan Hansen, 2003). Sistem ventilasi dan kateter vena dan arteri
umbilikalis dapat menyebabkan infeksi yang mengancam nyawa. Bayi dengan berat
lahir sangat rendah yang bertahan hidup selama beberapa hari pertama tetap beresiko
tinggi meninggal akibat infeksi yang terjangkit di ruang perawatan intensif.
- INFEKSI
VIRUS
1.
Virus varisela-Zoster (VZV)
Virus herpes DNA untai-ganda ini terutama diperoleh
sewaktu masa kanak-kanak, dan 95% orang dewasa memperlihatkan bukti serologis
imunitas (Plound dan Austi, 2005).
Infeksi primer varicella atau
cacar air (chicken fox), ditularkan
melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi, meskipun transmisi
melalui udara pernah dilaporkan. Masa tunas adalah 10 sampai 21 hari, dan
wanita non-imun memiliki risiko 60 sampai 95% terinfeksi setelah terpajan.
Kemudian ia menularkan sejak sehari sebelum munculnya ruam hingga lesi
mengalami krustasi.
a.
Manifestasi klinik
Infeksi varisella berawal sebagai gejala mirip flu
yang berlangsung 1 atau 2 hari, yang diikuti oleh lesi-lesi vesikular gatal
yang mengalami krustasi dalam 3 sampai 7 hari. Infeksi cenderung lebih parah
pada orang dewasa, dan hampir separuh dari kematian akibat varisella terjadi
pada orang dewasa, dan hampir separuh dari kematian akibat varisella terjadi
pada orang dewasa non-imun yang jumlahnya 5%.
Kematian terutama disebabkan oleh pnemumonia
varisella, yang diperkirakan lebih parah pada masa dewasa dan terutama selama
kehamilan. Hager dkk (2002) melaporkan bahwa 5% wanita hamil yang terifeksi
mengalami pneumonitis. Gejala pneumonia biasanya muncul 3 sampai 5 hari dari
awitan penyakit. Gejala berupa demam, takipnu, batuk kering, dispnea , dan
nyeri pleuritik. Infiltrat nodular serupa dengan virus pneumonia lainnya.
Meskipun resolusi pneunomitis paralel dengan perbaikan lesi kulit namun demam
dan gangguan fungsi paru dapat menetap hingga berminggu-miggu.
2.
Herpes zoster
Jika infeksi primer varisela tersebut mengalami
reaktivasi beberapa tahun kemudian, timbullah herpes zoster atau shingles
(cacar ular). Tidak terdapat bukti bahwa zooster lebih sering atau lebih parah
pada wanita hamil. Zoster menular jika lepuh pecah, meskipun rendah daripada
infeksi varisella primer.
a.
Infeksi varisella pada janin dan
neonatus
Pada wanita dengan cacar air selama paruh waktu
pertama kehamilan, janin dapat mengalami sindrom varisella kongenital. Beberapa
kelainan yang ditimbulkan oleh korioretinitis, mikroftalmia, atrofi korteks
serebrum, hambatan pertumbuhan, hidronefritis dan kelainan kulit dan kuku.
b.
Infeksi peripartum
Pajanan varisella perinatal tepat sebelum atau
seaktu pelahiran, dan karenanya sebelum antibodi ibu terbentuk, menimbulkan
ancaman serius bagi neonatus. Angka serangan berkisar dari 25 sampai 50%, dan
angka kematian mencapai 25%. Pada beberapa kasus, nenoatus mengalami infeski
susunan saraf pusat dan visera diseminata. Karena itu, globulin imun
varisella-zoster perlu diberikan kepada neonatus yang lahir dari ibu dengan
gejala klinis varisella 5 hari sebelum sampai 2 hari setelah persalinan.
c.
Pajanan ke virus
Oleh karena sebagian besar orang dewasa (95%)
seropositif VZV, bahkan wanita hamil tanpa riwayat varisella yang terpajan
tetap perlu diperiksa untuk serologi VZV. Paling tidak 70% dari mereka akan
seropositif, dan karenanya kebal. Wanita hamil yang terpajan dan rentan perlu
diberi VariZIG dalam 96 jam pajanan untuk mencegah atau memperlemah infeksi
varisella.
d.
Infeksi
Wanita hamil yang didiagnosis menderita infeksi
varisella primer perlu diisolasi dari wanita hamil lainnya. Pneumonia sering
tidak memperlihatkan banyak gejala sehingga perlu dipertimbangkan foto toraks.
Sebagian besar wanita hanya memerlukan terapi supportif, tetapi mereka yang
memerlukan cairan intravena dan khususnya mereka yang mengidap pneumonia perlu
dirawat inap.
e.
Vaksinasi
Suatu vaksin virus hidup yang sudah dilemahkan-varivax- telah disetujui pemakaiannya
pada tahun 1995. Dua dosis yang diberikan terpisah 4 sampai 8 minggu,
dianjurkan untuk remaja dan dewasa tanpa riwayat varisella. Vaksinasi ini
menghasilkan serokonversi 97%. Imunitas yang dipicu oleh vaksin berkurang
seiring berjalan waktu, dan angka infeksi breakthrough
adalah sekitar 5% pada 10 tahun (Chaves dkk, 2007). Vaksin ini tidak dianjurkan
untuk wanita hamil dan jangan diberikan kepada wanita yang mungkin hamil dalam
satu bulan setelah setiap pemberian dosis vaksin. Suatu data tentang 362
kehamilan yang terpajan vaksin tidak melaporkan adanya sindrom varisella kongenital atau malformasi kongenital terkait
lainnya (Shields dkk, 2001). Virus yang telah dilemahkan tersebut tidak
disekresikan di air susu. Karena itu, vaksinasi pascapartum jangan ditunda
dengan alasan menyusui (Bohlke dkk,2003). Vaksin untuk mencegah herpes zoster-zostavax-mendapat lisensi pada
tahun 2006 tetapi saat ini tidak dianjurkan untuk orang yang berusia kurang
dari 60 tahun (Centers for Disease
Control and Prevention, 2007a).
3.
INFLUENZA
Infeksi pernafasan ini disebabkan oleh anggota dari
famili Orthomiyxoviridae. Influenza A
dan B membentuk suatu genus dari virus RNA ini, dan keduanya menyebabkan
epidemi pada manusia. Virus influenza A disubklasifikasikan lebih lanjut
berdasarkan antigen permukaan hemaglutinin (H) dan neuraminidase (N). Gejala
mencakup demam, batuk kering, dan gejala sistemik, dan ineksi dapat dipastikan
dengan rapid enzyme immunoassy atau
pemeriksaan immunofluoresensi (Salgaado dkk, 2002). Influenza A menimbulkan
infeksi yang lebih serius dan biasanya timbul pada musim dingin. Infeksi
biasanya tidak mengancam jiwa pada orang dewasa sehat tetapi wanita hamil
tampaknya lebih rentan mengalami penyulit paru serius. Pada awwal tahun 2003,
terjadi infeksi influenza A yang luas yang banyak menginfeksi wanita hamil. Di
Parkland Hospital, lebih dari 100 wanita di rawat inap karena infeksi ini, dan
12% memperlihatkan infiltrat paru pada radiografi torax mereka.
a.
Efek pada janin
Belum ada
bukti kuat bahwa virus influenza A menyebabkan malformasi kongenital (Irving
dkk, 2000) sebaliknya, Lynberg dkk, 1994 melaporkan peningkatan cacat tabung
saraf pada neonatus yang lahir dari wanita dengan influenza pada awal
kehamilannya yang mungkin bahwa
terpajannya janin ke virus influenza A dapat merupakan predisposisi untuk
terjadinya skizofrenia pada kehidupan selanjutnya (Kunungi dkk, 1995).
b.
Pencegahan
Vaksinasi terhadap influenza sepanjang musim flu,
tetapi secara optimal, pada bulan Oktober dan November, dianjurkan oleh Centers for Disease control and prevention
(2007a), bagi semua wanita yang akan hamil selama musim ini. Hal ini terutama
penting bagi mereka yang mengidap penyakit kronik, misalnya DM, penyakit
jantung, asma, atau infeksi immunodefisiensi manusia (HIV). Vaksin inaktif
mencegah penyakit klinis pada 70 smapai 90% orang dewasa sehat dan yang utama,
tidak terdapat bukti teratogenisitas. Selain itu, Zaman dkk, (2008) mendapatkan
penurunan angka influenza pada bayi hingga usia 6 bulan yang ibunya divaksinasi
selama kehamilan.
Hanya 44% dokter kandungan yang disurvei
menyediakan vaksinasi influenza pada kehamilan (Schrag dkk, 2008). Banyak yang
tidak menawarkan vaksinasi karena masalah penggantian biaya atau ketersediaan
vaksinasi di tempat lain. Meskipun sebagian besar dari mereka yang ditawari
vaksinasi memilih vaksinasi, pada tahun 2004 hanya 14% dari wanita hamil sehat
menerimanya (Centers for Disease Control
and Prevention, 2007a). Pada tahun 2003 suatu vaksin hidup yang telah
dilemahkan, beradaptasi dingin, dan trivalen telah disetujui untuk pemakaian
intranasal tetapi tidak dianjurkan bagi wanita hamil.
4.
GONDONGAN
Infeksi pada orang dewasa yang jarang dijumpai ini
disebabkan oleh suatu paramiksovirus RNA. Oleh karena imunisasi pada masa
anak-anak maka hampir 90% orang dewasa seropositif (Haas dkk, 2005). Virus
terutama menginfeksi kelenjar liur dan karena itu diberi nama mumps, yang dalam bahasa Latin berarti
“meringis”. Infeksi ini juga dapat mengenai gonad, meningen, pankreas, dan
organ lain. Virus ditularkan melalui kontak langsung dengan sekresi saluran
napas, liur, atau barang yang tercemar. Terapi bersifat simtomatik dan
gondongan selama kehamilan tidak lebih parah daripada orang dewasa tak-hamil.
Galur vaksin Jeryl-Lynn, yaitu virus hidup yang
telah dilemahkan adalah bagian dari vaksin MMR-campak, gondongan, dan
rubela-dan dikontraindikasikan untuk wanita hamil (America College of Obstetricians and Gynecologysts, 2003). Belum
pernah dilaporkan adanya malformasi akibat vaksinasi MMR pada kehamilan, tetapi
kehamilan harus dihindari selama 30 hari setelah vaksinasi gondongan. Vaksin
dapat diberikan kepada wanita yang rentan pascapartum, dan menusui bukan
kontraindikasi (Centers for Disease
Control and Prevention, 2002a).
a.
Efek pada janin
Wanita yang terjangkit gondongan pada trimester I
kehamilan mungkin mengalami peningkatan risiko abortus spontan. Infeksi pada
kehamilan tidak berkaitan dengan malformasi kongenital, dan infeksi pada janin
jarang terjadi.
5.
RUBELLA
Sebagian besar orang dewasa kebal terhadap
gondongan karena imunisasi pada masa anak-anak. Dalam suatu studi terhadap
wanita hamil, 17% ditemukan seronegatif (Haas dkk, 2005). Infeksi ini sangat
menular, dan jika campak menjadi epidemik, wanita yang tidak divaksinasi
memperlihatkan peningkatan resiko mengalami pneumonia dan diare berat disertai
gangguan hasil akhir kehamilan (American Academy of Pediatrics, 2006). Campak
paling sering terjadi pada akhir musim dingin dan semi ditandai dengan demam, coryza, konjungtivitis, dan batuk. Ruam
khas-bercak koplik-timbul di wajah dan leher lalu menyebar ke punggung, badan
dan ekstremitas. Terapi bersifat supportif.
Imunisasi pasif untuk ibu dapat diberikan dengan
globulin serum imun 0,25 mL/kg dengan dosis maksimal 15 mL, yang diberikan
secara Imdalam 6 hari pajanan. Vaksinasi
aktif tidak dilakukan selama kehamilan, tetapi wanita yang rentan dapat
divaksinasi secara rutin pascapartum (American College of Obstetricians and
Gynecologists, 2003). Menyusui bukan merupakan kontraindikasi vaksinasi.
Efek pada janin
Virus tampaknya tidak teratogenik. Terjadi
peningkatan frekuensi abortus, persalinan kurang bulan, dan berat lahir rendah
pada wanita hamil dengan campak (American Academy of Pediatrics, 2006). Jika
seorang wanita terjangkit campak segera sebelum melahirkan, terdapat resiko
signifikan infeksi yang serius pada neonatus, khususnya neonatus kurang bulan.
6.
RUBELA (CAMPAK JERMAN)
Pada pasien tak hamil, togavirus RNA ini biasanya
menyebabkan infeksi ringan. Namun, infeksi pada trimester I berperan langsung
menyebabkan abortus dan malformasi kongenital berat. Penularan terjadi melalui
sekresi nasofaring, dan angka penularan adalah 80% pada orang yang rentan.
a.
Gambaran klinis
Pada orang dewasa, rubela biasanya bermanifestasi
sebagai penyakit demam ringan disertai ruam makulopapular generalisata yang
dimulai di wajah dan menyebar ke badan dan ekstremitas. Gejala lain adalah
artralgia atau artritis, limfadenopati kepala dan leher, dan konjungtivitis.
Masa tunas adalah 12 sampai 23 hari. Viremia biasanya mendahului tanda-tanda
klinis sekitar seminggu , dan orang dewasa dapat menularkan penyakit sejak
viremia hingga 5 sampai 7 hari ruam. Hampir separuh infeksi pada ibu hamil bersifat
subklinis meskipun terjadi viremia yang dapat menyebabkan infeksi dan
malformasi pada janin.
b.
Sindrom rubela kongenital
Rubela adalah salah satu infeksi paling teratogenik
yang dikenal dengan sekuele infeksi janin paling buruk selama fase organogenesis.
Menurut Reef, dkk 2000, sindrom rubela mencakup
satu atau lebih dari keadaan berikut:
1.
Cacat mata-katarak dan glaukoma
kongenital
2.
Penyakit jantung-duktus
arteriosus paten dan stenosis arteri pulmonaris
3.
Tuli sensorineural-cacat tunggal
tersering
4.
Cacat susunan saraf
pusat-mikrosefalus, hambatan perkembangan, retardasi mental dan
meningoensefalitis.
5.
Retinopati pigmentasi
6.
Purpura neonatus
7.
Hepatosplenomegali dan ikterus
8.
Penyakit tulang radiolusen
Neonatus yang lahir dengan rubela kongenital dapat mengeluarkan
virus selama berbulan-bulan dan karena itu merupakan ancaman bagi bayi lain
serta orang dewasa yang rentan yang berkontak dengan mereka.
Sindrom rubela memanjang (extended rubella syndrome) dengan panensefalitis progresif dan
diabetes tipe I, mungkin belum muncul secara klinis sampai dekade kedua dan
ketiga kehidupan. Hampir sepertiga neonatus yang asimtomatik saat lahir dapat
memperlihatkan gangguan perkembangan (Webster, 1999).
c.
Diagnosis
Virus rubela dapat diisolasi dari urin, nasofaring,
dan cairan serebrospinal. Tetapi diagnosis biasanya dibuat dari analisa
serologis. Antibodi IgM spesifik dapat dideteksi dengan menggunakan enzyme-lynked immunoassary dari 4 sampai
5 hari setelah awitan gejala klinis, tetapi antibody ini dapat menetap hingga 8
minggu setelah munculnya ruam. Yang utama, reinfeksi rubela dapat menyebabkan
terdeteksinya IgM berkadar rendah. (Best dkk, 2002) membahas kadar antibodi IgM
spesifik-rubella yang rendah pada wanita hamil tanpa ras di daerah dimana
rubela jarang dijumpai. Mereka mampu menyingkirkan infeksi rubela baru dengan
dengan mendeteksi aviditas IgG rubela yang tinggi pada kebanyakan kasus.
Pemeriksaan aviditas IgG rubela baru-baru ini diulas oleh Mubareka dkk, 2007.
Orang yang tak-imun memperhatikan titter antibodi
IgG serum puncak 1 sampai 2 minggu setelah awitan viremia. Respon antibodi yang
cepat ini dapat memperumit serodiagnosis kecuali jika dilakukan pengambilan
sampel awal beberapa hari setelah awitan ruam, misalnya spesimen pertama
diambil 10 hari setelah ruam, maka deteksi antibodi IgG tidak akan dapat
membedakan antara infeksi baru dan imunitas terhadap rubela yang sudah ada.
Pada wanita hamil yang terinfeksi rubela,
konfirmasi infeksi janin dapat dilakukan pada paruh pertama kehamilan. Beberapa
kelainan yang dapat dideteksi dengan sonografi adalah hambatan pertumbuhan
janin; ventrikulomegali, kalsifikasi intrakranium, mikrosefalus, dan
mikroftalmia; malformasi jantung; peritonitis mekoneum; dan hepatosplenomegali.
d.
Penatalaksanaan dan pencegahan
Tidak ada terapi spesifik untuk rubela. Pasien
dianjurkan untuk berhati-hati menjaga percikan ludah selama 7 hari awitan ruam.
Pencegahan primer bergantung pada program vaksinasi menyeluruh. Untuk
melenyapkan rubela dan mencegah sindrom rubela kongenital, dianjurkan
pendekatan kompherensif untuk mengimunisasi populasi orang dewasa. Vaksin MMR
perlu ditawarkan kepada wanita tak hamil usia subur yang tidak memperlihatkan
bukti imunitas setiap kali mereka berhubungan dengan sistem pelayanan
kesehatan.
Vaksinasi semua petugas rumah sakit yang rentan
yang mungkin terpajan ke pasien rubela atau yang mungkin berkontak dengan
wanita hamil penting dilakukan. Vaksinasi rubela harus dihindari 1 bulan
sebelum atau selama kehamilan karena vaksin mengandung virus hidup yang telah
dilemahkan. meskipun terdapat imunitas, baik yang dirangsang oleh vaksin maupun
alami, dapat terjadi reinfeksi rubela subklinis pada wanita hamil ketika wabah.
Dam meskipun infeksi janin dapat terjadi, belum pernah dilaporkan efek samping
pada janin.
7.
VIRUS PERNAFASAN
Lebih dari 200 virus pernafasan yang secara
antigenis berbeda dapat menyebabkan common
cold, faringitis, laringitis, bronkhitis dan pneumonia. Rhinovirus,
koronavirus, dan adenovirus adalah penyebab utama common cold. Koronavirus dan rhinovirus yang mengandung RNA
biasanya menyebabkan penyakit ringan yang ditandai dengan rinorea, berisn dan
hidung tersumbat. Adenovirus yang mengandung DNA lebih besar kemungkinanya
menyebabkan batuk dan infeksi saluran napas bawah, termasuk pneumonia.
a.
Efek janin
Efek teratogenik masih diperdebatkan. Wanita hamil
dengan common cold memperlihatkan
peningkatan empat sampai lima kali lipat anensefalus janin pada suatu
penelitian kohort pada 393 wanita di Finnish
Register of Congenital malformation (Kurppa dkk, 1991).
b.
HANTAVIRUS
Virus RNA ini adalah anggota dari famili Bunyaviridae. Virus-virus ini berkaitan
dengan reservoar binatang pengerat, dan penularan terjadi melalui inhalasi
virus yang diekskresikan dan tinja dan urin hewan pengerat. Suatu ledakan kasus
terjadi di Amerika Serikat bagian Barat terjadi pada tahun 1993 akibat virus
sin nombre. Sindrom paru Hantavirus yang terjadi ditandai oleh sindrom
pernafasan dewasa berat dengan kematian kasus mencapai 45%.
Hantavirus adalah sekelompok heterogen virus dengan
frekuensi penularan transplasenta yang rendah dan bervariasi. Howard dkk 1999
melaporkan syndrom ini menyebabkan kematian ibu, kematian janin dan persalinan
kurang bulan.
c.
Enterovirus
Virus-virus ini adalah subkelompok besar
pikornavirus RNA yang mencakup poliovirus, coxsackievirus, dan ekovirus.
Virus-virus ini trofik untuk epitel usus tetapi juga dapat menyebabkan infeksi
ibu, janin dan neonatus yang luas yang dapat mengenai susunan saraf pusat,
kulit, jantung dan paru. Namun, sebagian besar infeksi pada wanita hamil
brsifat subklinis, namun dapat mematikan bagi janin-neonatus. Hepatitis A
merupakan sautu enterovirus
d.
Coxsackievirus
Infeksi oleh coxsackievirus grup A dan B biasanya
asimptomatik. Infeksi simtomatik biasanya dengan grup B mencakup meningitis
aseptik, penyakit mirip polio, penyakit tangan, kaki, dan mulut, ruam, penyakit
pernafasan, pleuritis, perikarditis dan miokarditis. Belum ada terapi dan
vaksinasi. Virus ini dapat ditularkan melalui sekresi ibu ke janinny saat
persalinan pada hampir separuh wanita yang mengalami serokonversi selama
kehamilan. Penularan melalui transplasenta juga pernah dilaporkan.
Malformasi kongenital mungkin sedikit meningkat
pada wanita hamil yang memperlihatkan bukti serologis coxsackievirus. Viremia
coxsackie dapat menyebabkan hepatitis, lesi kulit, miokarditis dan
ensefalomielitis janin, yang semuanya dapat mematikan.
e.
Poliovirus
Sebagian besar dari infeksi yang sangat menular
tetapi jarang ini bersifat subklinis atau ringan. Virus bersifat trofik bagi
susunan saraf pusat serta dapat menyebabkan poliomielitis paralitik. Siegel dan
Golberg (1955) memperlihatkan bahwa wanita hamil tidak saja lebih rentan
terhadap polio tetapi juga memperlihatkan peningkatan angka kematian. Penularan
perinatal pernah dijumpai, khususnya jika infeksi pada ibu terjadi pada
trimester III. Vaksin polio inaktif subkutis dianjurkan untuk wanita hamil
rentan yang harus bepergian ke daerah endemik atau ditempatkan di situasi
berisiko tinggi lainnya.
f.
Pavovirus
Parvovirus manusia B19 menyebabkan eritema infeksiosum, atau fifth disease. Virus B19 adalah virus
DNA untai tunggal kecil yang cepat berproliferasi di sel-sel misalnya prekursor
eritroblas (Young and Brown, 2004). Hal ini dapat menyebabkan anemia, yang
merupakan efek utama pada kehamilan. Pada wanita dengan anemia hemolitik
berat-misalnya, penyakit sel sabit-infeksi parvovirus dapat menyebabkan krisis
anaplastik. Cara utama penularan parvovirus adalah kontak tangan ke mulut atau
respiratorik, dan infeksi umum yang terjadi di musim semi. Angka infeksi ibu
paling tinggi pada wanita dengan usia anak sekolah dan petugas penitipan anak,
tetapi guru sekolah biasanya tidak. Viremia terjadi 4 sampai 14 hari setelah
terpajan. Pada orang dewasa hanya 40% wanita yang rentan.
g.
Manifestasi klinik
Pada 20 sampai 30% orang dewasa, infeksi tidak
menimbulkan gejala. Mungkin timbul demam, nyeri kepala, dan gejala mirip flu
dalam beberapa hari terakhir fase viremia. Beberapa hari kemudian, muncul ruam
merah terang disertai eritroderma di wajah, menimbulkan gambaran pipi habis
ditampar. Ruam kemudian menjadi seperti anyaman dan menyebar ke badan dan ekstremitas. Orang
dewasa umumnya memperlihatkan ruam yang lebih ringan dan mengalami
poliartralgia simetris yang mungkin menetap beberapa minggu.
h.
Infeksi janin
Terjadi penularan vertikal ke janin pada sekitar
sepertiga ineksi parvovirus pada ibu hamil. Parvovirus adalah infeksi tersering
penyebab hidrops non-imun pada janin yang diotopsi. Meskipun demikian, penyulit
ini hanya terjadi sekitar 1% dari wanita yang terinfeksi dan biasanya
disebabkan oleh infeksi pada paruh pertama kehamilan (Crane, 2002)
Periode kritis untuk infeksi ibu yang menyebabkan
hidrops janin diperkirakan antara 13 dan 16 minggu bersamaan dengan periode
tertinggi hemopoiesis hati janin.
i.
Diagnosis
Diagnosis infeksi pada ibu umumnya dilakukan
berdasarkan uji serologis untuk antibodi IgG dan IgM spesifik (Enders dkk,
2006). DNA virus mungkin terdeteksi selama pordromal tetapi tidak setelah ruam
timbul. Infeksi janin dapat diketahui dengan mendeteksi DNA virus dalam cairan
amnion atau IgM parvovirus serum janin dengan kordosentesis (Schild dkk, 1999).
j.
Pencegahan
Saat ini belum ada vaksin untuk parvovirus B19 manusia yang telah disetujui, dan tidak
ada bukti bahwa terapi antivirus dapat mencegah infeksi ibu atau janin
(Broliden dkk, 2006). Keputusan untuk menghindari situasi kerja yang berisiko
tinggi, kompleks dan memerlukan penilaian atas resiko pajanan. Wanita hamil
perlu diberi penyuluhan bahwa resiko infeksi adalah 5% untuk kontak biasa yang
tidak sering dan 50% untuk interaksi sering dan erat misalnya di rumah.
8.
SITOMEGALOVIRUS
Herpesvirus DNA yang ditemukan di berbagai tempat
ini akhirnya menginfeksi sebagian besar manusia. Sitomegalovirus (CMV) adalah
infeksi perinatal tersering di negara maju, dan bukti infeksi janin ditemukan
pada 0,2 sampai 2% dari semua nenonatus (Revello dan Gerna, 2004). CMV terdapat
pada cairan tubuh, dan penularan orang ke orang biasanya terjadi melalui kontak
dengan sekresi nasofaring, urin, liur, semen, sekresi serviks dan darah yang
terinfeksi. Mungkin terjadi infeksi intrauterus atau intrapartum atau infeksi
neonatus melalui ASI.
Hingga 85% wanita dari golongan sosio-ekonomi lemah
seropositif pada saat hamil, sementara hanya separuh dari wanita dari golongan
sosio-ekonomi mampu yang imun. Namun, serupa dengan infeksi virus herpes
lainnya, setelah infeksi primer, CMV menjadi laten dan terjadi pengaktifan
berkala disertai pelepasan virus (viral
shedding). Hal ini terjadi meskipun terdapat antibodi IgG serum, yang tidak
mencegah infeksi kongenital.
a.
Gambaran klinis
Kehamilan tidak meningkatkan risiko atau keparahan
infeksi CMV pada ibu. Sebagian besar infeksi tidak menimbulkan gejala, tetapi
sekitar 15% orang dewasa yang terinfeksi memperlihatkan sindrom
mirip-mononukleosis infeksiosa yang ditandai oleh demam, faringitis,
limfadenopati, dan poliarteritis. Wanita dengan gangguan imunitas mungkin
mengalami miokarditis, pneumonitis, hepatitis, retinitis, gastroenteritis, atau
meningoensefalitis. Nigro dkk (2003) melaporkan bahwa sebagian besar wanita
dalam suatu studi kohort dengan infeksi primer memperlihatkan peningkatan kadar
amino transferase serum atau limfositosis. Reaktivasi penyakit biasanya
asimtomati, meskipun pengeluaran virus sering terjadi.
Infeksi primer CMV pada ibu hamil ditularkan ke
janinnya sekitar 40% kasus dan dapat menyebabkan morbiditas berat (Fowler dkk,
1992). Sebaliknya, infeksi rekuren pada ibu hanya menginfeksi janin pada 0,15
sampai 1% kasus. Infeksi janin transplasenta lebih besar kemungkinannya terjadi
pada paruh pertama kehamilan. Imunitas
alami selama kehamilan menyebabkan penurunan risiko infeksi CMV
kongenital pada kehamilan berikutnya sebesar 70% (Fowler dkk, 2003). Dan karena
imunitas ibu tidak mencegah kekambuhan maka antibodi ibu tidak mencegah infeksi
janin. Sebagian wanita seropositif juga dapat mengalami reinfeksi oleh galur
virus yang berbeda yang dapat menyebabkan infeksi janin dan menimbulkan
penyakit kongenital simtomatik (Boppana dkk, 2001).
b.
Infeksi kongenital
Infeksi CMV kongenital simtomatik-tampak adalah
suatu sindrom yang mungkin mencakup hambatan pertumbuhan, mikrosefalus,
kalsifikasi intrakranium, korioretinitis, retardasi mental dan motorik, defisit
sensorineural, heaptosplenomegali, ikterus, anemia hemolitik, dan purpura
trombositopenik. Patogenesis berbagai kelainan ini dari sekitar 40.000 neonatus
yang terinfeksi setiap tahun, hanya 5 sampai 6% yang memperlihatkan sindrom ini
(Fowler, dkk 1992). Sebagian besar bayi yang terinfeksi tidak memperlihatkan gejala
saat lahir, tetapi sebagian besar mengalami sekuele yang muncul belakangan,
misalnya gangguan pendengaran, defisit neurologis, korioretinitis, retardasi
psikomotor dan gangguan belajar.
c.
Penanganan dan pencegahan
Penanganan wanita hamil imunokompeten dengan
infeksi CMV primer atau rekuren terbatas pada terapi simtomatik. Jika
dipastikan bahwa ibu hamil yang bersangkutan baru menderita infeksi CMV primer
maka perlu ditawarkan pemeriksaan analisis cairan amnion. Penyuluhan mengenai
hasil akhir janin bergantung pada stadium gestasi saat mana infeksi primer
terdokumentasi. Bahkan dengan angka infeksi primer yang tinggi pada paruh
pertama kehamilan, sebagian besar janin berkembang secara normal. Pada
sebagian, pengakhiran kehamilan mungkin menjadi salah satu pilihan.
Kimberlin dkk, (2003) memperlihatkan bahwa gansiklovir intravena
yang diberikan selama 6 minggu kepada neonatus dengan gejala penyakit susunan
saraf pusat mencegah perburukan gangguan pendengaran pada 6 bulan dan mungkin
selanjutnya.
Tidak tersedia vaksin CMV. Pencegahan infeksi
neonatus bergantung pada pencegahan infeksi primer pada ibu, khususnya pada
awal kehamilan. Tindakan-tindakan dasar misalnya higiene yang baik dan mencuci
tangan pernah dipromosikan, khususnya bagi wanita uang memiliki anak balita
yang dititipkan di TPA.
9.
Infeksi virus PMS
1.
Virus
Herpes Simpleks (HSV)
a.
Patogenesis
Dan Penularan
Berdasarkan
perbedaan imunologis
dan klinis terdapat dua jenis
HSV. Tipe 1 berperan
menyebabkan sebagian besar infeksi non genital, namun lebih dari separuh kasus
baru herpes genital pada remaja dan dewasa muda disebabkan oleh infeksi HSV-1.
Hal ini disebabkan oleh peningkatan praktik seksual oro-genital. HSV tipe 2
ditemukan hampir hanya dari saluran genital dan biasanya ditularkan melalui
hubungan seks. Sebagian besar kekambuhan lebih dari 90 persen disebabkan oleh
HSV-2. Terdapat banyak homologi sekuens DNA diantara kedua virus dan riwayat
infeksi oleh salah satu tipe akan memperlemah infeksi primer oleh tipe lainnya.
Penularan
ke neonatus terjadi melalui tiga rute yaitu : 1. Intrauterus (5%), 2.
Peripartum (85%), 3. Pascanatal (10%). Janin terinfeksi oleh virus yang keluar
dari servik. Virus menginvasi uterus setelah ketuban pecah atau ditularkan
melalui kontak dengan janin saat kelahiran. Angka penularan adalah 1 dalam 3200
sampai 1 dari 30.000 persalinan tergantung pada populasi yang diteliti. Herpes
neonatus disebabkan oleh HSV-1 dan HSV-2 meskipun infeksi HSV-2 lebih dominan.
Resiko
infeksi neonatus berkorelasi dengan keberadaan HSV disaluran genital, jenis
HSV, tindakan obstetri invasif dan stadium infeksi pada ibu. Bayi yang lahir
dari ibu yang terjangkit HSV menjelang wakyu persalinan memiliki 30 sampai 50
persen kemungkinan terinfeksi.hal ini disebabkan tingginya jumlah virus dan
kurangnya antibodi protektif transplasenta.wanita dengan HSV rekuren memiliki
risiko menginfeksi neonatus kurang dari 1 persen
b.
Manifestasi
Klinik
Setelah
ditularkan melalui kontak genital-genital dan oro-genital, HSV-1 atau HSV-2
bereplikasi ditempat masuk. Setelah infeksi muskokutis virus bergerak retrogard
disepanjang saraf sensorik tempat virus ini kemudian laten di gangglion spinal
dorsal atau saraf kranialis. Infeksi HSV dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
a. Episode
pertama infeksi primer adalah kasus HSV-1 atau HSV-2 diisolasi dari sekresi
genital tanpa adanya antibodi HSV-1 atau HSV-2. Hanya sepertiga dari infeksi
genital HSV-2 yang baru didapat menimbulkan gejala. Masa tunas biasanya 2
sampai 10 hari yang kemudian diikuti gambaran klasik berupa erupsi papular disertai
gatal atau kesemutan yang kemudian menjadi nyeri dan vesikular. Lesi – lesi di
vulva dan perineum dapat menyatu dan adenopati inguinal yang terjadi mungkin
parah. Sering terjadi gejala sistemik seperti flu dan diperkirakan disebabkan
oleh viremia. Hepatitis, ensefalitis atau pnemonia dapat timbul namun infeksi
diseminata jarang dijumpai. Servik sering terkena meskipun secara klinis
mungkin jarang terlihat. Beberapa kasus cukup parah sehingga pasien perlu
dirawat inap. Dalam 2 sampai 4 minggu semua gejala dan tanda infeksi lenyap.
Banyak wanita tidak memperlihatkakn lesi tipikal saat pertama kali datang
mungkin ditemui erosi atau fisura yang gatal atau nyeri.
b. Episode
pertama infeksi non-primer didiagnosa jika HSV dapat diisolasi pada wanita yang
hanya memiliki antibodi anti-HSV yang lain dalam serumnya. Sebagai contoh HSV-2
diisolasi dari sekresi genital wanita yang telah memiliki antibodi anti-HSV-1
dalam srumnya. Secara umum infeksi ini ditandai oleh lesi yang lebih sedikit
,manifestasi klinik yang lebih ringan, kurang nyeri dan durasi lesi dan
pelepasan virus yang lebih singkat. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya
imunitas parsial dari antibodi yang dapat bereaksi silang misalnya dari HSV-1
yang diperoleh ketika masa anak.
c. Reaktivasi
penyakit ditandai oleh isolasi HSV-1 atau HSV-2 dari saluran genital wanita
yang memiliki antibodi dengan serotip sama.selama masa laten dimana partikel
virus berdiam di gangglion saraf reaktivitas sering terjadi akibat berbagai
rangsangan yang masih belum sepenuhnya belum dipahami. Reaktivitas disebut
infeksi rekuren dan menyebabkan pengeluaran virus herpes. Sebagian besar herpes
genitalis rekuren disebabkan oleh virus tipe 2.
Pengeluaran virus asimtomatik
didefinisikan sebagai deteksi HSV dengan biakan atau pcr tanpa gejala atau
tanda. Sebagian besar wanita yang terinfeksi mengeluarkan virus secara
intermiten dan kebanyakan penularan HSV kepada pasangan seksual terjadi selama
periode pengeluaran virus asimtomatik. Sebagian besar infeksi primer dan
episode pertama pada awal kehamilan mungkin tidak menyebabkan peningkatan
abortus atau lahir mati.
Dalam ulasan fragnant dan monif
(1989) hanya menemukan 15 kasus infeksi herpes kongenital yang diperoleh selama
keamilan. Brown dan baker (1989) melaporkan bahwa infeksi primer pada kehamilan
tahap lanjut mungkinm menyebabkan persalinan kkurang bulan. Infeksi neonatus
dapat bermanifestasi dalam beberapa cara. Infeksi munngkin terbatas dimata atau
mulut pada sekitar 35 pesen kasus. Kelainan susunan saraf pusat disertai
ensefalitis dijumpai pada 30 persen kasus. Penyakit diseminata disertai
keterlibatan banyak organ utama ditemukan sekitar 25 persen . infeksi lokal
bisanya berkaitan dengan hasil akhir yang baik. Sebaliknya bahkan dengan terapi
asiklovir infeksi diseminata memperlihatkan angka kematian mendekati 30 persen.
Hal yang utama gangguan perkembangan dan susunan saraf pusat serius dijumpai
pada 20 sampai 50 persen neonatus yang selamat dari infeksi diseminata atau
otak.
- Papiloma
Virus Manusia
Papiloma virus manusia (HPV) telah
menjadi salah satu IMS tersering dengan lebih dari 30 tipe menginfeksi daerah
genital. Sebagian besar wanita usia subur terinfeksi dalam beberapa tahun
setelah melakukakn hubungan seksual, meskipun kebanyakan infeksi bersifat
asimtomatik dan transien. HPV risiko
tinggi tipe 16 dan 18 berkaitan dengan displasia. Kutil genital eksternal
mukokutis biasanya disebabkan oleh tipe 6 dan 11 tetapi juga dapat disebabkan
oleh tipe HPV dengan risiko onkogenik sedang sampai tinggi.
a.
Kutil
Genital Eksernal
Oleh sebab yang belum diketahui
kutil genital sering meningkat jumlah dan ukurannya selama kehamila. Akselerasi
replikasi virus oleh perubahan – perubahan fisiologis kehamilan mungkin dapat
menjelaskan pertumbuhan lesi perineum sehingga kelahiran pervaginam atau episiotomi sulit dilakukan. Oleh karena
infeksi HPV subklinis dan multifokus maka sebagian besar wanita dengan lesi di
vulva juga menderita lesi serviks dan demikian sebaliknya.
b.
Infeksi
Neonatus
Papilomatosis respiratorik rekuren
awitan-juvenilis merupakan neoplasma larink jinak yang jarang. Penyakit ini
dapat menyebabkan suara serak dan distres pernapasan pada anak dan sering
disebabkan oleh HPV tipe 6 atau 11. Pada sebagian kasus, papilomatosis laring
ini berkaitan dengan infeksi HPV di genitalia ibu, tetapi angka penularan
neonatus dari berbagai penelitian sangat bervariasi. Meskipun sebagian
melaporkan angka penularan hingga 50% kemungkinan besar bahwa temuan ini
berasal dari kontaminasi ibu atau infeksi HPV transien. Suatu penelitian
berbasis populasi di Denmark menunjukkan bahwa risiko penularan pada neonatus
adalah 7 per 1000 wanita yang terinfeksi. Ketuban pecah lama dilaporkan
berkaitan dengan peningkatan risiko dua kali lipat tetapi risiko tidak
berkaitan cara kelahiran. Risiko penularan yang rendah ini telah dibuktikan
dalam penelitian penelitian selanjutnya. Manfaat bedah caesar untuk menurunkan
risiko penularan tidak diketahui dan karena itu saat ini hal tersebut tidak
dianjurkan hanya atas indikasi untuk pencegahan HPV.
- Infeksi
Virus Imunodefisiensi Manusia (HIV)
Sindrom immunodefisiensi didapat
pertama kali pada tahun 1981 ketika sekelompok pasien diketahui mengalami defek
imunitas selular dan pneumonia. Di seluruh dunia diperkirakan pada tahun 2007
terdapat 33 juta orang yang terinfeksi HIV/AIDS 2,7 juta kasus baru infeksi HIV
dan 2 juta kematian terkait infeksi. Perkiraan jumlah kasus AIDS yang diperoleh
secara perinatal telah menurun drastis dalam dua dekade terakhir. Hal ini
terutama disebabkan oleh implementasi pemeriksaan HIV pranatal disertai terapi
antivirus yang diberikan kepada wanita hamil dan kemudan neonatusnya.
a.
Etiopatogenesis
Penyebab AIDS adalah retrovirus RNA
yang dinamai virus immunodefisiensi manusia (HIV), HIV-1 dan HIV-2. Sebagian
besar kasus di seluruh dunia disebabkan oleh infeksi HIV-1. Penularan serupa
dengan penularan virus hepatitis B dan hubungan seks adalah rute utama. Virus
juga ditularkan melalui darah atau produk yang tercemar darah dan ibu dapat
menginfeksi janin mereka.
Denominator umum penyakit klinis
pada AIDS adalah imunosupresi berat yang menyebabkan timbulnya beragam infeksi
opurtunistik dan neoplasma. Penularan seksual terjadi ketika sel dendritik
mukosa berikatan dengan glikoprotein selubung HIV gp120. Sel – sel dendritik
ini kemudian menyajikan partikel virus ke limfosit yang berasal dari timus atau
limfosit T. Limfosit ini secara fenotip memiliki glikoprotein antigen permukaan
cluster of differentiaion 4 (CD4). CD4 berfungsi sebagai reseptor bagi virus
ini. Diperlukan ko-reseptor agar virus dapat masuk ke dalam sel dan dua
reseptor kemokin-CCR5 dan CXCR4 adalah yang tersering di.identifikasi.
Ko-reseptor CCR5 ditemukan dipermukaan sel positif CD4 dalam keadaan
progesteron tinggi misalnya kehamilan dan ini mungkin mempermudah masuknya
virus.
Setelah infeksi awal tingkat
viremia biasanya menurun ke suatu set-point dan pasien dengan jumlah virus
terbesar pada waktu ini akan lebih cepat berkembang menuju AIDS dan kematian.
Seiring dengan waktu jula sel T turun secara perlahan dan progresif sehingga
akhirnya terjadi imunosupresi berat. Meskipun diperkirakan bahwa kehamilan
tidak banyak berefek pada jumlah sel T CD4+ dan kadar RNA HIV namun
yang terakhir ini sering meningkat 6 bulan pascapartum dibandingkan dengan
selama kehamilan.
b.
Gambaran
Klinis
Masa nutrisi dari pajanan ke
penyakit klinis adalah dalam hitungan hari sampai minggu. Infeksi HIV akut
serupa dengan banyak infeksi virus lain dan biasanya berlangsung kurang dari 10
hari. Gejala umum adalah demam dan keringat malam, lesu, ruam, nyeri kepala,
limfadenopati, faringitis, mialgia, atralgia, mual, muntah dan diare. Setelah
gejala mereda tercapai titik patokan untuk viremia kronik. Perkembangan viremia
asimtomatik hingga AIDS memiliki waktu median sekitar 10 tahun. Rute infeksi
patogenesitas jalur virus yang menginfeksi, inokulum virus awal dan status
imunologis pejamu berperan menentukan kecepatan perkembangan penyakit.
Sejumlah manifestasi klinis dan
laboratorium akan menandai perkembangan penyakit. Limfadenopati generalisata, oral hairy leukoplakia, ulkus aftosa dan
trombositopenia sering dijumpai. Sejumlah infeksi oportunistik yang berkaitan
dengan AIDS adalah kandidiasis asofagus atau paru, lesi herpes simpleks atau
zoster yang menetap, penumonia, kondiloma akuminata, tuberkulosis paru,
retinitis atau penyakit pencernan akibat sitomegalovirus, moluskum kontagiosum,
pneumonia pneunocystis jiroveci,
toksoplasmosis dan infeksi lain. Kelainan neurologis sering terjadi dan sekitar
separuh pasien memperlihatan gejala susunan saraf pusat. Hitung CD4 + <200/mm3
juga dianggap definitif untuk diagnosis AIDS. Terdapat masalah – masalah
ginekologik khas pada wanita dengan infeksi HIV misanya kelainan haid,
kebuutuhan kontrasepsi dan neoplasia genital IMS lain yang mungkin menetap
hingga kehamilan. Kehamilan berulang tidak berdampak signifikan pada perjalanan
klinis atau imunologis infeksi virus.
c.
Penularan
Ibu Dan Perinatal
Penularan HIV transplasenta dapat
terjadi secara dini dan virus pernah ditemukan dalam spesimen dari abortus
efektif. Namun pada kebanyakan kasus penularan ibu ke anak adalah penyebab
tersering infeksi HIV pada anak. Antara 15 sampai 40 persen neonatus yang lahir
dari ibu yang terinfeksi. Kourtis dkk (2001) mengajukan suatu model untuk
memperkirakan distribusi waktu penularan vertikal. Mereka memperkirakan bahwa
20 persen penularan terjadi sebelum 36 minggu, 50 persen pada hari-hari sebelum
persalinan dan 30 persen intrapartum. Angka penularan untuk menyusui dapat
setinggi 30 sampai 40 persen. Penularan vertikal lebih sering pada kelahiran
kurang bulan khususnya ketuban pecah lama. Dengan menganalisis data dari
Perinatal AIDS Collaborative Transmission Study, Kuhn dkk (1999) melaporkan
peningkatan risiko 3,7 pada persalinan kurang bulan.
Pada orang yang tidak hamil tedapat
keterkaitan antara IMS lain dan penularan HIV horizontal. Terdapat bukti bahwa
penularan perinatal vertikal juga meningkat. Cowan dkk (2008) memperlihatkakan
bahwa wanita dengan antibodi HSV-2 memperlihatkan peningkatan risiko 50 persen
penularan HIV-1 ibu ke anak intrapartum. Mereka berpendapat bahwa 25 persen
vertikal disebabkan oleh ko-infeksi HSV-2 pada ibu.
Penularan HIV perinatal paling
berkorelasi dengan jumlah RNA HIV plasma ibu. Infeksi neonatus kohort adalah 1
persen dengan <400 salinan/ml dan infeksi menjadi lebihdari 30 persen jika
kadar RNA virus >100.000 salinan/ml. Yang penting terapi zidovudin (ZDV)
yang menurunkan kadar ini menjadi <500 salinan/ml juga meminimalkan risiko
penularan meskipun ZDV efektif menurunkan penularan pada semua kadar RNA HIV. Para peneliti juga melaporkan
bahwa infus globulin hiperimun HIV-1 ke ibu tidak mengubah risiko penularan.
Namun, penularan pernah dijumpai pada semua tingkat kadar RNA HIV termasuk yang
tidak terdeteksi dengan pemeriksaan yang ada sekarang. Hal ini mungkin
disebabkan oleh ketidaksamaan antara jumlah virus (viral load) dalam plasma di
sekresi genital. Oleh karena temuan-temuan tersebut maka jumlah virus jangan
digunakan untuk menentukan apakah terapi antiretrovirus akan dimulai pada
kehamilan.
d.
Konseling
Prakonsepsi
Suatu aspek penting dalam konseling
prakonsepsi adalah bahwa jika kehamilan tidak diinginkan maka perlu digunakan
kontrasepsi yang efektif. Obat antivirus tertentu menurunkan efektivitas
kontrasepsi horman. Konseling juga perlu mencakup pendidikan untuk mengurangi perilaku
risiko tinggi untuk mencegah penularan dan mengurangi kejangkitan penyakit
menular seksual lainnya. Obat antiretrovirus yang saat ini dikonsumsi dibahas
untuk memastikan bahwa obat dengan potensi teratogenik tinggi dihindarijika
wanita yang bersangkutan ingin hamil.
e.
Terapi Antiretrovirus
Terapi
dianjurkan untuk ibu yang terinfeksi HIV. Hal ini mungkin merupakan yang
pertama bagi mereka tidak memenuhi kriteria tertentu. Terapi menurunkan risiko
penularan perinatal berapapun jumlah sel T CD4+ atau kadar RNA HIV.
Terapi antiretrovirus merupakan hal yang rumit dan kehamilan hanya menambah
kompleksitas ini. Secara umum HAARTdimulai jika wanita yang bersangkutan belum
mendapat salah satu resimen ini. Obat anturetrovirus dikelompokkan menjadi
beberapa kelas dan digunakan untuk merancang regimen antiretrovirus. Wanita
yang bersangkutan diberi penerangan tentang risiko dan manfaat obat
antiretrovirus untuk membuat informed
consent mengenai regimen pengobatannya. Regimen apapun yang digunakan
kepatuhan merupakan hal penting karena risiko resistensi obat dapat dikurangi.
US
Public Health Service Task Force (2009) telah mengeluarkan petunjuk yang
merinci penanganan berbagai skenario selama kehamilan. Wanita yang sudah
mendapat HAART sejak awal kehamilan didorong untuk melanjutkan regimen jika
virus telah ditekan secara adekuat. Pengecualian yang telah dibahas adalah efavirenz yang harus dihentikan pada
trimester pertama karena kekhawatiran akan efek teratogeniknya. Selama ini
dianjurkan penambahan zidovudin ke semua regimen namun saat ini pada wanita
dengan supresi viremia yang adekuat dengan regimen yang tidak mengandung
zidovudin regimen tersebut dapat dilanjutkan. Pada semua wanita zidovudin
diberikan secara intravena selama kehamilan dan persalinan.
Wanita
yang belum pernah mendapat terapi antiretrovirus-antiretroviral naive digolongkan kedalam dua kategori :
1. Mereka
yang memenuhi kriteria untuk inisiasi terapi antiretrovirus pada orang dewasa
tidak hamil diberikan HAART tanpa mempertimbangkan trimester dengan menggunakan
regimen yang mengandung zidovudin jika mungkin. Karena meningkatnya risiko
hepatotoksisitas, nevirapin digunakan
bagi wanita dengan hitung sel CD4+ <250 sel/mm3. Secara umum
regimen HAART awal adalah dua inhibitor reverse
transcriptase non nukleosida atau inhibitor protase.
2. Wanita
hamil yang terinfeksi HIV yang treatment-naive
yang tidak memenuhi kriteria tetapi antiretrovirus untuk orang dewasa tidak
hamil diberi penyuluhan mengenai manfaat memulai terapi untuk mencegah
penularan virus perinatal. Karena adanya kemungkinan efek teratogenik, terapi
dapat ditunda sampai trimester kedua. Zidovudin harus menjadi komponen regimen
jika memungkinkan. Monoterapi zidovudin merupakan salah satu pilihan bagi
sebagian wanita yang ingin membatasi pajanan ke obat. Monoterapi ini
kontroversial tetapi dapat digunakan pada wanita dengan kadar RNA HIV <1000
salinan/ml yang belum mendapat pengobatan.
Kelompok wanita yang lain pernah
mendapat terapi antiretrovirus tetapi saat ini tidak mendapat pengobatan.
Riwayat pemakaian antiretrovirus meningkatkan risiko resistensi obat HIV dan
karenanya perludilakukan pemeriksaan resistensi. Regimen kemudian dapat
disesuaikan berdasarkan riwyat pengobatan dan respon serta pola resistensi yang
diperoleh.
f.
Penyulit
HIV
Penatalaksanaan sebagian dari
penyulit HIV mungkin mengalami perubahan akibat kehamilan. Jika hitung limfosit
T CD4+ <200/mm3 pasien diberi profilaksis primer untuk
pneumonia P jiroveci dengan
sulfametoksazol-trimetoprim atau dapson. Pneumonia diobati dengan sulfametoksazol-trimetropim
oral atau intravena atau dapson trimetropim. Infeksi oportunistik simtomatik
lainnya yang mungkin timbul adalah infeksi toksoplasma, virus herpes,
mikobakteri dan kandida yang laten atau yang baru didapat.
g.
Penularan
HIV Pranatal
Terapi ibu dengan HAART disertai
profilaksis zidovudin intrapartum secara drastis menurunkan risiko penularan
HIV perinatal dari sekitar 25 persen menjadi 2 persen tau kurang pada wanita.
Penatalaksanaan persalinan yang sesuai masih belum diketahui pasti tetapi jika
persalinan berjalan dengan ketuban utuh pemecahan ketuban dan pemantauan janin
yang bersifat invasif dihindari. Penguat persalinan digunakan jika diperlukan
untuk mempersingkat waktu persalinan
sehingga risiko penularan berkurang. Pelahiran operatif dengan ekstraksi cunam
atau vakum dihindari jika mungkin. Perdarahann pasca partum ditangani dengan
oksitosin dan analog prostaglandin karena metergin dan alkaloid ergot lainnya
berinteraksi dengan reverse transcriptase dna inhibitor protease sehingga dapat
terjadi vasokontraksi hebat.
Bedah ceasar direkomendasikan untuk
mengurangi penularan HIV pranatal. Suatu meta analisis terhadap 15 studi kohort
prospektif oleh Internasional Perinatal HIV Group yang melibatkan 8533 pasangan
ibu neonatus mendapatkan bahwa penularan
HIV vertikal berkurang sekitar separuh pada bedah caesar dibandingkan
dengan per vaginam. Jika terpai antiretrovirus diberikan pada periode
perinatal, intrapartum dan neonatus bersama dengan bedah caesar kemungkinan
penularan neonatus berkurang 87 persen dibandingkan dengan cara – cara lain
kelahiran yang tanpa antiretrovirus.
Berdasarkan pengamatan – pengamatan
ini American College of Obsetricians and Gynecoclogist (2000) menyimpulkan
bahwa bedah caesar elektif perlu dibahas dan dianjurkan pada wanita terinfeksi
HIV yang jumlah RNA HIV-1nya melebihi 1000/ml. Kelahiran terjadwal dianjurkan
sedini 38 minggu untuk mengurangi kemungkinan ruptur kurang bulan membran.
Meskipun data untuk memperkirakan manfaat bedah caesar ini bagi wanita yang
kadar RNA HIV-nya kurang dari 1000/ml belum memadai namun kecil kemungkinannya
bahwa seksio elektif menurunkan risiko tersebut lebih lanjut. Jika pasien
dilakukan bedah caesar maka pasien dianjurkan diberi antimikroba perioperatif standar untuk
profilaksis.
h. Menyusui
Transmisi vertikal meningkat dengan
menyusui. Wanita positif HIV tidak dianjurkan untuk menyusui di negara ini.
Kemungkinan penularan HIV per liter ASI yang diminum diperkirakan serupa dengan
tingkat penularan heteroseksual melalui hubungan tanpa pelindung pada orang
dewasa.seperti pajanan lainnya risiko bergantung pada kadar RNA HIV ibu status
penyakit HIV, kesehatan payudara dan durasi menyusui. Sebagian besar penularan
terjadi dalam 6 bulan pertama dan hampir dua pertiga infeksi pada bayi yang menyusui
berasal dari ASI. Manfaat profilaktik regimen antivirus perinatal jangka pendek
berkurung secara bermakna pada usia 18 bulan akibat menyusui. World Health
Organization (2008) menganjurkan untuk melanjutkan promosi menyusui dengan
penyapihan dini pada usia 6 bulan bagi wania yang tinggal di negara yang sedang
berkembang dimana penyakit infeksi dan malnutrisi adalah penyebab utama
kematian bayi.
i.
Penatalaksanaan
Pascapartum
Banyak wanita asimtomatik dengan
hitung sel T CD4+ normal dan kadar RNA HIV rendah dapat menghentikan
pengobatan setelah pesalinan dan dipantau secara ketat sesuai petunjuk untuk
pasien dewasa.dukungan psikologis sangat penting selama waktu itu khususnya selagi
menunggu hasil pemeriksaan diagnostik untuk infeksi anaknya. Kebutuhan kontrasepsi
merupakan masalah kompleks dan mungkin mengharuskan pemakaian kondom jika
pasangan tidak terinfeksi. Obat antiretrovirus dapat mempengaruhi kadar hormon
kontrasepsi oral dan mungkin juga kontrasepsi suntik. Alat kontrasepsi dalam
rahim mungkin merupakan pilihan yang tepat bagi sebagian wanita dengan
imunokompetensi normal dan risiko PMS yang rendah.
PENCEGAHAN
DAN PENANGANAN TERJADINYA INFEKSI VIRUS
Diperkirakan
20% dari kehamilan akan mengalami komplikasi.Sebagian komplikasi ini dapat
mengancam jiwa, tetapi sebagian besar komplikasi dapat dicegah dan ditangani
bila :
- Ibu segera mencari pertolongan ketenagakesehatan;
- Tenaga kesehatan melakukan
prosedur penanganan yang sesuai, antara lain penggunaan partograf untuk
memantau perkembangan persalinan, dan pelaksanaan manajemen aktif kala III
(MAK III) untuk mencegah perdarahan pasca-salin;
- tenaga kesehatan mampu
melakukan identifikasi dini komplikasi;
- apabila komplikasi terjadi,
tenaga kesehatan dapat memberikan pertolongan pertama dan melakukan tindakan
stabilisasi pasien sebelum melakukan rujukan;
- proses rujukan efektif; 6) pelayanan di RS yang cepat dan tepat guna.
Terdapat tiga jenis area intervensi yang dilakukan untuk
menurunkan angka kematian dan kesakitan ibu dan neonatal yaitu melalui :
1) peningkatan pelayanan antenatal yang
mampu mendeteksi dan menangani kasus risiko tinggi secara memadai;
2) pertolongan persalinan yang bersih
dan aman oleh tenaga kesehatan terampil, pelayanan pasca persalinan dan
kelahiran; serta
3) pelayanan emergensi obstetrik dan
neonatal dasar (PONED) dan komprehensif (PONEK) yang dapat dijangkau secara
tepat waktu oleh masyarakat yang membutuhkan.
Upaya terobosan dalam penurunan AKI dan AKB di Indonesia
salah satunya dilakukan
melalui
Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K). Program terse
but
menitikberatkan kepedulian dan peran keluarga dan masyarakat dalam melakukan
upaya deteksi dini, menghindari risiko kesehatan pada ibu hamil, serta
menyediakan akses dan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal dasar di
tingkat Puskesmas (PONED) dan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal
komprehensif di Rumah Sakit (PONEK).
Dalam
implementasinya, P4K merupakan salah satu unsur dari Desa Siaga. P4K mulai
diperkenalkan oleh Menteri Kesehatan pada tahun 2007. Pelaksanaan P4K di desa-desa
tersebut perlu dipastikan agar mampu membantu keluarga dalam membuat
perencanaan persalinan yang
baik
dan meningkatkan kesiapsiagaan keluarga dalam menghadapi tanda bahaya
kehamilan,
persalinan,
dan nifas agar dapat mengambil tindakan yang tepat.
Dilakukan pula kegiatan Audit Maternal Perinatal (AMP), yang
merupakan upaya dalam
penilaian
pelaksanaan serta peningkatan mutu pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
Kegiatan ini dilakukan melalui pembahasan kasus kematian ibu atau bayi baru lahir
sejak di level masyarakat sampai di level fasilitas pelayanan kesehatan. Salah
satu hasil kajian yang didapat dari AMP adalah kendala yang timbul dalam upaya
penyelamatan ibu pada saat terjadi kegawatdaruratan maternal dan bayi baru
lahir. Kajian tersebut juga menghasilkan rekomendasi intervensi dalam upaya peningkatan mutu
pelayanan kesehatan ibu dan bayi di masa mendatang.
- Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil
Pelayanan
kesehatan ibu hamil diwujudkan melalui pemberian pelayanan antenatal
sekurang-kurangnya empatkali selama masa kehamilan,dengan distribusi waktu
minimal satu kali pada trimester pertama (usia kehamilan 0-12 minggu), satukali
pada trimester kedua (usia kehamilan 12-24 minggu), dan dua kali pada trimester
ketiga (usia kehamilan 24 minggu sampaipersalinan). Standar waktu pelayanan tersebut
dianjurkan untuk menjamin perlindungan terhadap ibu hamil dan atau janin berupa
deteksi dini faktor risiko, pencegahan,dan penanganan dini komplikasi
kehamilan.
Pelayanan
antenatal yang dilakukan diupayakan memenuhi standar kualitas, yaitu:
a. Penimbangan berat badan dan
pengukuran tinggi badan
b. Pengukuran tekanan darah;
c. Pengukuran Lingkar Lengan Atas
(LiLA);
d. Pengukuran tinggi puncak rahim
(fundus uteri);
e. Penentuan status imunisasi tetanus
dan pemberian imunisasi tetanus toksoid sesuai status imunisasi;
f. Pemberian tablet tambah darah
minimal 90 tablet selama kehamilan;
g. Penentuan presentasi janin dan
denyut jantung janin (DJJ);
h. Pelaksanaan temu wicara (pemberian
komunikasi interpersonal dan konseling, termasuk keluarga berencana);
i.
Pelayanan tes laboratorium sederhana, minimal tes
hemoglobindarah (Hb), pemeriksaan protein urin dan pemeriksaan golongan darah
(bila belum pernah dilakukan sebelumnya); dan
j.
Tatalaksana
kasus.
- Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas
Nifas adalah periode mulai dari enamjam sampai dengan 42
hari pasca persalinan. Pelayanan kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan
pada ibu nifas sesuai standar, yang dilakukansekurang-kurangnya tiga kali
sesuai jadwal yang dianjurkan, yaitu pada enamjam sampai dengan tigahari pasca
persalinan, pada hari keempatsampai dengan hari ke-28 pasca persalinan, dan
pada hari ke-29 sampai dengan hari ke-42 pasca persalinan.Jenis pelayanan
kesehatan ibu nifas yang diberikan meliputi :
a. Pemeriksaan tanda vital (tekanan
darah, nadi, nafas, dan suhu);
b. Pemeriksaan tinggi puncak rahim
(fundus uteri);
c. Pemeriksaan lokhia dan cairan per
vaginam lain; Pemeriksaan payudara dan pemberian anjuran ASI eksklusif;
d. Pemberian komunikasi, informasi, dan
edukasi (KIE) kesehatan ibu nifas dan bayi baru lahir, termasuk keluarga
berencana;
e. Pelayanan keluarga berencana pasca
persalinan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
- Kesimpulan
Lima
penyebab kematian ibu terbesar yaitu perdarahan, hipertensi dalam kehamilan
(HDK), infeksi, partus lama/macet dan abortus. Kematian ibu di Indonesia masih didominasi
oleh tiga penyebab utama kematian yaitu perdarahan, hipertensi dalam kehamilan
(HDK), dan infeksi.
Keberlangsungan hidup virus memerlukan transmisi dari host ke host. Rute
transmisi merupakan aspek penting pada kehidupan virus, karena akan menentukan
awal infeksi sel dan sel mana yang akan memproduksi virus untuk transmisi
berikutnya. Transmisi virus biasanya berlangsung pada daerah anatomi tertentu;
hal ini memberi kesempatan untuk sistem imun tubuh membatasi infeksi di
sejumlah tempat saja, misalnya virus influenza dan virus nafas yang lain akan
bereplikasidalam sel kolumnar epitel
sel atas; ditransmisikan hanya melalui pintu ini, dan dengan demikian respons
imun lokal dapat mengeblok infeksi.
Penyebaran virus juga dapat dicegah dengan imunitas lokal sebagai organ
tubuh terbesar dan paling luar, kulit merupakan target untuk awal infeksi
virus. Namun cornified epithelium
kulit merupakan barrier yang sangat efektif melawan transmisi virus dan hanya
sedikit virus yang mampu menembus barier tersebut
Diperkirakan 20% dari kehamilan akan mengalami
komplikasi.Sebagian komplikasi ini dapat mengancam jiwa, tetapi sebagian besar komplikasi
dapat dicegah dan ditangani bila :
- Ibu segera mencari pertolongan
ketenagakesehatan;
- Tenaga kesehatan melakukan
prosedur penanganan yang sesuai, antara lain penggunaan partograf untuk
memantau perkembangan persalinan, dan pelaksanaan manajemen aktif kala III
(MAK III) untuk mencegah perdarahan pasca-salin;
- tenaga kesehatan mampu
melakukan identifikasi dini komplikasi;
- apabila komplikasi terjadi,
tenaga kesehatan dapat memberikan pertolongan pertama dan melakukan
tindakan stabilisasi pasien sebelum melakukan rujukan;
- proses rujukan efektif; 6) pelayanan di RS yang cepat dan tepat guna.
Terdapat tiga jenis area intervensi yang dilakukan untuk
menurunkan angka kematian dan kesakitan ibu dan neonatal yaitu melalui :
4) peningkatan pelayanan antenatal yang
mampu mendeteksi dan menangani kasus risiko tinggi secara memadai;
5) pertolongan persalinan yang bersih
dan aman oleh tenaga kesehatan terampil, pelayanan pasca persalinan dan
kelahiran; serta
6) pelayanan emergensi obstetrik dan
neonatal dasar (PONED) dan komprehensif (PONEK) yang dapat dijangkau secara
tepat waktu oleh masyarakat yang membutuhkan.
No comments:
Post a Comment