LAPORAN KASUS
KAJIAN ASUHAN
KEBIDANAN PADA BAYI NY. D DENGAN
HIPERBILIRUBINEMIA
DAN EARLY ONSET SEPSIS DI RUANG
PERINATOLOGI RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG
Diajukan Sebagai Syarat Memenuhi Tugas Residensi
Praktik Klinik
Di RSUP. Dr. M. Djamil Padang Periode 18 Juli – 12 Agustus 2016
Oleh :
Anjelina Puspita Sari
BP. 1420332011
Pembimbing :
dr. Gustina Lubis, Sp.A (K)
PROGRAM STUDI
MAGISTER ILMU KEBIDANAN
UNIVERSITAS ANDALAS PADANG
TAHUN 2016
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Hiperbilirubinemia
merupakan penyakit hemilitik pada bayi baru lahir. Penyakit ini merupakan penyebab
tersering dari ikterus neonatorum. Berbeda dengan dewasa, bayi baru lahir
memproduksi bilirubin dua sampai tiga kali lebih banyak (6 sampai 10 mg/kg/24
jam dan 3 mg/kg/24 jam). Peningkatan produksi ini disebabkan antara lain karena
masa sel darah merah meningkat (hematokrit lebih tinggi) dan usia eritrosit
lebih pendek yaitu 70 hari sampai 90 hari dibandingkan usia eritrosit dewasa
yaitu 120 hari.(Marcdante et al, 2011)
Indikator angka kematian yang berhubungan anak adalah
Angka Kematian Neonatal (AKN), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Kematian
Balita (AKABA). Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2012, angka Kematian Neonatus (AKN) pada tahun 2012 sebesar 19 per
1000 kelahiran hidup menurun dari 20 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2007.
Perhatian terhadap upaya penurunan angka kematian
neonatal (0-28 hari) menjadi penting karena kematian neonatal memberi
kontribusi terhadap 56% kematian bayi. Untuk mencapai target penurunan AKB pada
MDG 2015 yaitu sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup maka peningkatan akses dan
kualitas pelayanan bagi bayi baru lahir (neonatal) menjadi prioritas utama.(Profil
Kesehatan Indonesia, 2014)
Di
Indonesia, ikterus masih merupakan masalah pada bayi baru lahir yang sering
dihadapi tenaga kesehatan terjadi pada sekitar 25-50% bayi cukup bulan dan
lebih tinggi pada neonatus kurang bulan. Oleh sebab itu, memeriksa ikterus pada
bayi harus dilakukan pada waktu melakukan kunjungan neonatal/pada saat
memeriksa bayi di klinik (Depkes RI, 2006).
Hiperbilirubinemia seringkali dianggap menakutkan, baik oleh
dokter maupun keluarga sehingga dibutuhkan panduan yang jelas agar tidak
terjadi overtreatment maupun underdiagnosis. Pemahaman yang baik
mengenai patofisiologi dan tata laksana hiperbilirubinemia dapat meminimalisir
hal-hal yang tidak diharapkan, seperti kecemasan, penghentian menyusui, terapi
yang tidak perlu, dan biaya yang berlebihan.(Pedoman Pelayanan Medis IDAI, 2008)
Sepsis adalah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan respons sistemik terhadap infeksi pada bayi
baru lahir (Behrman, 2000). Sepsis adalah sindrom yang dikarekteristikkan
oleh tanda-tanda klinis dan gejala-gejala infeksi yang parah yang dapat
berkembang kearah septikemia dan syok septik (Dongoes, 2000)
Sepsis neonatorum adalah infeksi bakteri pada
aliran darah pada bayi selama empat minggu pertama kehidupan. Insiden sepsis
bervariasi yaitu antara 1 dalam 500 atau 1 dalam 600 kelahiran hidup (Bobak,
2005).
Berdasarkan data diatas maka penulis tertarik
untuk mengambil laporan kasus yang berjudul “ Kajian Asuhan Kebidanan pada Bayi
Ny “D” Dengan Hiperbilirubinemia dan Early Onset Sepsis di Ruang Perinatologi
RSUP Dr. M. Djamil Padang”.
1.2 Tujuan
Penulisan
Mahasiswa mampu menyelesaikan masalah secara ilmiah
dan melakukan perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi kebidanan.
1. Mahasiswa mampu melaksanakan alternatif pemenuhan
kebutuhan dan penyelesaian masalah yang disepakati oleh bersama staff di unit
pelayanan kebidanann di Rumah Sakit.
2. Mampu mengevaluasi pelaksanaan kegiatan pada aspek
masukan, proses, hasil dan dampak pada manajemen asuhan kebidanan.
3. Mampu mempertahankan dan memperbaiki hasil melalui
kerjasama dengan unit terkait di Rumah Sakit.
2.1
Hiperbilirubinemia
2.1.1
Definisi
Hiperbilirubinemia
adalah penyakit hemilitik pada bayi baru lahir, penyakit ini merupakan penyebab
tersering dari ikterus neonatorum. Berbeda dengan dewasa, bayi baru lahir
memproduksi bilirubin dua sampai tiga kali lebih banyak (6 sampai 10 mg/kg/24
jam dan 3 mg/kg/24 jam). Peningkatan produksi ini disebabkan antara lain karena
masa sel darah merah meningkat (hematokrit lebih tinggi) dan usia eritrosit
lebih pendek yaitu 70 hari sampai 90 hari dibandingkan usia eritrosit dewasa
yaitu 120 hari.(Marcdante et al, 2011)
Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai
kadar bilirubin serum total ≥5 mg/dL (86 μmol/L). Ikterus atau jaundice adalah
warna kuning pada kulit, konjungtiva, dan mukosa akibat penumpukan bilirubin
tak terkonjugasi pada jaringan. Ikterus pada neonatus akan terlihat bila kadar
bilirubin serum >5 mg/dL. Istilah hiperbilirubinemia sering disalahartikan
sebagai ikterus berat yang membutuhkan terapi segera. Sesungguhnya,
hiperbilirubinemia dan ikterus/ jaundice merupakan terminologi yang
merujuk pada keadaan yang sama. (Pedoman
Pelayanan Medis IDAI, 2008)
Batasan-Batasan
hiperbillirubin adalah sebagai berikut :
a. Ikterus
Fisiologis
Ikterus yang
terjadi pada neonatus tidak selamanya patologis bisa juga bersifat fisiologis.
Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
1) Timbul
pada hari kedua-ketiga
2) Kadar
Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup
bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.
3) Kecepatan
peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
4) Kadar
Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
5) Ikterus
hilang pada 10 hari pertama kelahiran
6) Tidak
terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu
b. Ikterus
Patologis/ Hiperbilirubinemia
Pada
keadaan ini kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai
potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus jika tidak ditanggulangi dengan baik,
atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan
Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin
mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly
menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
c. Kern
Ikterus
Suatu
kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama pada
Korpus Striatum, Talamus, Nukleus
Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah dan Nukleus pada dasar Ventrikulus
IV. (FK UI, 2007)
2.1.2
Etiologi
Metabolisme bilirubin bayi baru lahir
berada dalam transisi dari stadium janin yang selama waktu tersebut plasenta
merupakan tempat utama eliminasi bilirubin yang larut lemak, ke stadium dewasa,
yang selama waktu tersebut bentuk bilirubin terkonjugasi yang larut air
diekskresikan dari sel hati ke dalam sistem biliaris dan kemudian ke dalam
saluran pencernaan.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
dapat disebabkan atau diperberat oleh setiap faktor yang :
1)
Menambah beban bilirubin untuk
dimetabolisasi oleh hati (anemia hemolitik), waktu hidup sel darah menjadi
pendek akibat imaturitas atau akibat sel yang ditransfusikan, penambahan
sirkulasi enterohepatik, infeksi
2)
Dapat mencederai atau mengurangi
aktivitas enzim transferase (hipoksia, infeksi, kemungkinan hipotermia dan
defisiensi tiroid)
3)
Dapat berkompetisi dengan atau
memblokade enzim transferase (obat-obat dan bahan lain) yang memerlukan
konjugasi asam glukuronat untuk ekskresi
4)
Menyebabkan tidak adanya atau berkurangnya
jumlah enzim yang diambil atau menyebabkan pengurangan reduksi bilirubin oleh
sel hepar (cacat genetik, prematuritas)
Pemberian
makan yang awal menurunkan kadar bilirubin serum, sedangkan ASI dan dehidrasi
menaikkan kadar bilirubin serum. Mekonium mengandung 1 mg bilirubin/ dl dan
dapat turut menyebabkan ikterus melalui sirkulasi enterophepatik pasca
dekonjugasi oleh glukuronidase usus. Obat-obatan seperti oksitosin dan bahan
kimia yang diberikan dalam ruang perawatan seperti deterjen fenol dapat juga
menimbulkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. (Marcdante,
2011)
Tabel 1. Etiologi
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi (Marcdante et al, 2011)
|
Hemolisis
(+)
|
Hemolisis
(-)
|
Umum
|
Inkompabilitas
golongan darah :ABO, Rh, Kell, Infeksi Duffy
|
Ikterus fisiologis,
breast milk jaundice, ikterus pada hari pertama kehidupan, perdarahan organ
dalam, polisitemia, bayi dari ibu diabetes
|
Jarang
|
Defek enzim
sel darh merah:glucose-6-phospate dehydrogenase, piruvat kinase, kelanan
membran sel darah merah:sterositosis, ovalositosis, hemoglobonipati :
thalasemia
|
Mutasi enzim
glukuronil transferase (sindrom crigler-Najjar, penyakit gilbert), stenosis
pilorus, hipertiroidisme, trombositopenia imun.
|
Tabel
2. Etiologi hiperbilirubinemia terkonjugasi (Marcdante et al, 2011)
Umum
|
Jarang
|
· Kolestasis
hiperalimentasi
· Infeksi CMV
· Infeksi
kongenital perinatal lain (TORCH)
· Inspissated
bile akibat hemolisis berkepanjangan
· Hepatitis pada
neonatus
· Sepsis
|
· Infark hati
· Kelainan
metabolik bawaan (galaktosemia, tirosinemia)
· Fibrosis
kistik
· Atresia bilier
· Kista
koledokal
· Penyakit
cadangan besi pada neonatus
· Sindrom
alagille (displasia arterihepatik
· Penyakit biler
|
2.1.3
Anatomi Fisiologi
Hati adalah organ yang terbesar yang terletak di
sebelah kanan atas rongga perut di bawah diafragma. Beratnya 1.500 gr atau 2,5
% dari berat badan orang dewasa normal. Pada kondisi hidup berwarna merah tua
karena kaya akan persediaan darah. Hati
bertekstur lunak, lentur,
dan terletak di
bagian atas cavitas abdominalis tepat
di bawah diaphragma.
Sebagian besar hepar
terletak di profunda arcus
costalis dextra dan
hemidiaphragma dextra memisahkan hepar dari
pleura, pulmo, pericardium,
dan cor. Hati terbentang
ke sebelah kiri untuk mencapai hemidiaphragma sinistra (Snell, 2006)
Hati terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang
dipisahkan oleh ligamentum falciforme. Lobus kanan hati lebih besar dari
lobus kirinya dan mempunyai 3 bagian utama yaitu : lobus kanan atas, lobus caudatus,
dan lobus quadrates (Price & Wilson, 2005; 472). Hati disuplai oleh
dua pembuluh darah yaitu :
a.
Vena porta hepatica yang berasal dari lambung dan usus,
yang kaya akan nutrien seperti asam amino, monosakarida, vitamin yang larut
dalam air, dan mineral.
b.
Arteri
hepatica, cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen.
Cabang-cabang pembuluh darah vena
porta hepatica dan arteri hepatica mengalirkan darahnya ke sinusoid.
Hematosit menyerap nutrien, oksigen, dan zat racun dari darah sinusoid. Di
dalam hematosit zat racun akan dinetralkan sedangkan nutrien akan ditimbun atau
dibentuk zat baru, dimana zat tersebut akan disekresikan ke peredaran darah
tubuh.
Hati
merupakan organ patemkim yang paling besar, hati juga menduduki urutan pertama
dalam hal jumlah, kerumitan dan ragam fungsi. Fungsi
hepar adalah :
a.
Metabolisme karbohidrat, protein dan lemak
b.
Sintesa kolesterol dan steroid, pembentukan protein
plasma (fibrinogen, protrombin dan globulin)
c.
Penyimpanan glikogen, lemak, vitamin (A, B12, D dan K)
dan zat besi (Ferritin)
d.
Detoksikasi menghancurkan hormon – hormon steroid dan
berbagai obat-obatan
e.
Pembentukan dan penghancuran sel-sel darah merah,
pembentukan terjadi hanya pada 6 bulan masa kehidupan awal fetus
f.
Sekresi bilirubin (pigmen empedu) dari bilirubin
unconjugated menjadi conjugated Kantung atau kelenjar empedu merupakan kantung
berbentuk buah pir dengan panjang sekitar 7,5 cm dan dapat menampung ± 50 ml
cairan empedu. Cairan empedu adalah cairan kental berwarna kuning keemasan atau
kehijauan yang dihasilkan terus menerus dalam jumlah 500 – 1000 ml/hari,
merupakan zat esensial dalam pencernaan dan penyerapan lemak, suatu media yang
dapat mengekskresikan zat-zat tertentu yang tidak dapat diekskresikan oleh
ginjal.
Metabolisme bilirubin terdiri dari empat tahap :
1.
Produksi. Sebagian
besar bilirubin terbentuk sebagai akibat pemecahan haemoglobin (menjadi globin
dan hem) pada sistem retikulo endoteal (RES). Hem dipecah oleh hemeoksigenase
menjadi bilverdin, dan oleh bilirubin reduktase diubah menjdai bilirubin.
Merupakan bilirubin indirek / tidak terkonjugasi.
2.
Transportasi. Bilirubin
indirek kemudian ditransportasikan dalam aliran darah hepatik. Bilirubin diikat
oleh protein pada plasma (albumin), selanjutnya secara selektif dan efektif
bilirubin diambil oleh sel parenkim hepar atau protein intraseluler (ligandin
sitoplasma atau protein Y) pada membran dan ditransfer menuju hepatosit.
3.
Konjugasi.
Bilirubin indirek dalam hepar diubah atau dikonjugasikan oleh enzim Uridin
Difosfoglukoronal Acid (UDPGA) atau glukoronil transferase menjadi bilirubin
direk atau terkonjugasi yang bersifat polar dan larut dalam air.
4.
Ekskresi. Bilirubin
direk yang terbentuk, secara cepat diekskresikan ke sistem empedu melalui
membran kanalikuler. Selanjutnya dari sistem empedu dikskresikan melalui
saluran empedu ke sistem pencernaan (usus) dan diaktifkan dan diabsorpsi oleh
bakteri / flora normal pada usus menjadi urobilinogen. Ada sebagian kecil
bilirubin direk yang tidak diabsorpsi melainkan dihidrolisis menjadi bilirubin
indirek dan direabsorpsi melalui sirkulasi enterohepatik.
2.1.4
Patofisiologi
1.
Bilirubin adalah
produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari pengrusakan sel darah merah/RBCs.
Ketika RBCs rusak maka produknya kan masuk sirkulasi, diimana hemoglobin pecah
menjadi heme dan globin. Gloobin {protein} digunakan kembali oleh tubuh
sedangkan heme akan diruah menjadi bilirubin unkonjugata dan berikatan dengan
albumin.
2.
Kejadian yang sering
ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab bilirubin pada streptucocus
hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit
janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya
peningkatan sirkulasi enterohepatik.
3.
Gangguan ambilan bilirubin
plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y terikat oleh anion lain,
misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan
gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi
menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau
sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatika.
4.
Bilirubin ini akan bersifat toksik pada
derajat tertentu dan dapat merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama
ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah
larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel
otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang
terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan
pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek
lebih dari 20 mg/dl.
5.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati
sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus.
Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat
keadaan Berat Badan Lahir Rendah, Hipoksia, dan Hipoglikemia (Berhman, 2000).
Dua
bentuk utama bilirubin yang ditemukan di tubuh :
1)
Bilirubin tak terkonjugasi larut dalam lemak
dan tidak dapat disekresikan secara mudah, baik dalam empedu ataupun urine
2)
Bilirubin terkonjugasi dibuat larut dalam air
di hati dan dapat diekskresikan, baik melalui feses ataupun urine.
2.1.5
Manifestasi Klinik
1) Kulit
berwarna kuning sampe jingga
2) Pasien
tampak lemah
3) Nafsu
makan berkurang
4) Reflek
hisap kurang
5) Urine
pekat
6) Perut
buncit
7) Pembesaran
lien dan hati
8) Gangguan
neurologic
9) Feses
seperti dempul
10) Kadar
bilirubin total mencapai 29 mg/dl.
11) Terdapat
ikterus pada sklera, kuku/kulit dan membran mukosa.
12) Jaundice
yang tampak 24 jam pertama disebabkan penyakit hemolitik pada bayi baru lahir,
sepsis atau ibu dengan diabetk atau infeksi.
13) Jaundice
yang tampak pada hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak pada hari ke 3-4 dan
menurun hari ke 5-7 yang biasanya merupakan jaundice fisiologi. (Marcdante et
al, 2011)
2.1.6
Penggolongan
Hiperbilirubinemia berdasarkan saat terjadi Ikterus
a. Ikterus
yang timbul pada 24 jam pertama.
Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut
besarnya kemungkinan dapat disusun sbb:
1) Inkomptabilitas
darah Rh, ABO atau golongan lain.
2) Infeksi
Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang Bakteri)
3) Kadang-kadang
oleh Defisiensi Enzim G6PD.
Pemeriksaan
yang perlu dilakukan:
1) Kadar
Bilirubin Serum berkala.
2) Darah
tepi lengkap.
3) Golongan
darah ibu dan bayi.
4) Test
Coombs.
5) Pemeriksaan
skrining defisiensi G6PD, biakan darah
atau biopsi Hepar bila perlu.
b. Ikterus
yang timbul 24-72 jam sesudah lahir.
1) Biasanya
Ikterus fisiologis.
2) Masih
ada kemungkinan inkompatibilitas darah
ABO atau Rh, atau golongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat
misalnya melebihi 5mg% per 24 jam.
3) Defisiensi
Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin.
4) Polisetimia.
5) Hemolisis
perdarahan tertutup ( pendarahan subaponeurosis, pendarahan Hepar, sub kapsula dll).
Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka
pemeriksaan yang perlu dilakukan:
1) Pemeriksaan
darah tepi.
2) Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.
3) Pemeriksaan
skrining Enzim G6PD.
4) Pemeriksaan
lain bila perlu.
c. Ikterus
yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.
1) Sepsis.
2) Dehidrasi dan Asidosis.
3) Defisiensi Enzim G6PD.
4) Pengaruh
obat-obat.
5) Sindroma
Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.
d.
Ikterus yang timbul pada akhir minggu
pertama dan selanjutnya:
1) Karena
ikterus obstruktif.
2) Hipotiroidisme
3) Breast
milk Jaundice.
4) Infeksi.
5) Hepatitis
Neonatal.
6) Galaktosemia
Pemeriksaan
laboratorium yang perlu dilakukan:
1) Pemeriksaan
Bilirubin berkala.
2) Pemeriksaan
darah tepi.
3) Skrining
Enzim G6PD.
4) Biakan
darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.
2.1.7
Penilaian Derajat Hiperbilirubin
Pengamatan hiperbilirubin
paling baik dilakukan
dalam cahaya matahari dan
dengan menekan sedikit
kulit yang akan
diamati untuk menghilangkan warna
karena pengaruh sirkulasi darah. Untuk penilaian hiperbilirubin, Kremer membagi
tubuh bayi baru lahir dalam
5 bagian yang
dimulai dari kepala
dan leher, dada
sampai pusat, pusat bagian
bawah sampai tumit,
tumit pergelangan kaki
dan bahu pergelangan tangan dan kaki serta tangan termasuk telapak
tangan (Winkjosastro Hanifa, 2006).
Di bawah ini
dapat dilihat gambar pembagian derajat dan daerah ikterus :
a.
Derajat I : kepala sampai leher
b.
Derajat II : kepala, badan sampai umbilicus
c.
Derajat III : kepala, badan, paha sampai dengan lutut
d.
Derajat IV : kepala, badan, paha sampai dengan lutut
e.
Derajat V : kepala, badan, semua ekstremitas sampai
ujung jari
2.1.8
Komplikasi
a. Bilirubin enchepalopathy (komplikasi serius)
b. Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy,
retardasi mental, hiperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinasi otot dan
tangisan yang melengking.
2.1.9
Pengobatan
1. Fototerapi
Tanpa memandang
etiologi, tujuan terapi adalah mencegah kadar bilirubin indirek dalam darah
mencapai kadar yang memungkinkan terjadinya neurotoksisitas, dianjurkan agar
fototerapi dan jika tidak berhasil, transfusi tukar dilakukan untuk
mempertahankan kadar maksimum bilirubin total dalam serum di bawah kadar
Pada setiap
bayi, resiko jejas bilirubin terhadap sistem saraf pusat harus dipertimbangkan
dengan resiko yang ditimbulkan oleh pengobatan. Belum ada persetujuan umum
mengenai kriteria untuk memulai fototerapi. Karena fototerapi mungkin
memerlukan 6-12 jam untuk mempunyai pengaruh yang dapat diukur, maka fototerapi
ini harus dimulai saat kadar bilirubin masih berada dibawah kadar yang
diindikasikan untuk transfusi kadar.
Bila
teridentifikasi, penyebab dasar ikterus harus diobati, misalnya ntibiotik untuk
septikemia. Faktor-faktor yang fisiologis yang menambah resiko cedera neurologis
harus diobati juga (misalnya koreksi terhadap asidosis). Fototerapi biasanya
dimulai pada 50-70% dari kadar maksimum bilirubin indirek. Jika nilai sangat
melebihi kadar ini, jika fototerapi tidak berhasil mengurangi kadar bilirubin
maksimum atau jia ada tanda-tanda kernikterus, transfusi tukar merupakan
indikasi.
Ikterus klinis
dan hiperbilirubinemia indirek berkurang pada pajanan cahaya berintesitas
tinggi pada spektrum yang dilihat. Bilirubin menyerap cahaya secara maksimal
pada kisaran biru (dari 420 sampai 470 nm). Meskipun demikian, cahaya putih
berspektrum luasdan biru, biru (super) berspektrum sempit khusus dan hijau
efektif menurunkan kadar bilirubin.
Walaupun cahaya
biru memberikan panjang gelombang yang tepat untuk fotoaktivasi bilirubin bebas,
cahaya hijau dapat mempengaruhi fotoreaksi bilirubin yang terkait albumin.
Bilirubin dalam kulit menyerap energi cahaya, yang dengan fotoisomerasi
mengubah bilirubin -4Z,-15Z tak terkonjugasi alamiah yang bersifat toksik
menjadi isomer konfigurasi terkonjugasi yaitu bilirubin -4Z, -15E. Yang
terakhir ini adalah produk reaksi reversibel dan diekskresi ke dalam empedu
tanpa perlu konjugasi. Fototerapi juga mengubah bilirubin alamiah, melalui
suatu reaksi yang ireversibel, pada isomer lumirubin struktural, yang
diekskresi oleh ginjal pada keadaan tak terkonjugasi.
Penggunaan
fototerapi dengan bola lampu fluoresens telah menurunkan perlunya transfusi
tukar pada bayi-bayi BBLR yang tanpa penyakit hemolitik dan pada bayi BBLR
dengan hemolisis, juga untuk transfusi tukar ulangan pada bayi-bayi yang
menderita penyakit hemolitik. Namun bila ada indikasi untuk transfusi tukar,
fototerapi tidak boleh digunakan sebagai pengganti.
Fototerapi hanya
merupakan indikasi sesudah hiperbilirubinemia yang patologis ditegakkan.
Penyebab dasar ikterus harus diobati bersama-sama. Fototerapi dapat dimulai
pada kadar bilirubin. Fototerapi profilaksis pada bayi BBLSR dapat mencegah
hiperbilirubinemia dan mengurangi insidens transfusi tukar.
Bayi normal yang
mendapat fototerapi selama 1-3 hari mempnyai kadar puncak bilirubin serum
sekitar setengah dari bayi yang tidak diobati. Bayi prematur yang tanpa
hemolisis bearti biasanya bilirubin serumnya turun 1-3 mgdl sesudah 12-24 jam
menjalani fototerapi konvensional, dan kadar puncak yang dicapai dapat
diturunkan 3-6 mg/dl.
Pengaruh
terapetik bergantung pada energi cahaya yang dipancarkan pada kisaran panjang
gelombang yang efektif, jarak antara cahaya dan bayi, dan jumlah kulit yang
terpajan seperti juga kecepatan hemolisis dan hemolisis in vivo serta ekskresi
bilirubin. Tidak diketahui apakah fototerapi mencegah kernikterus atau
meringankan bentuk-bentuk jejas otak akibat toksisitas bilirubin.
Unit fototerapi
yang tersedia di pasaran sangat bervariasi dalam curah spektrum dan intensitas
radiasi yang dipancarkan,sehingga dosisnya hanya dapat diukur secara tepat pada
permukaan kulit. Kulit berwarna gelap (hitam) tidak mengurangi kemanjuran
fototerapi.
Fototerapi
intensif maksimum harus digunakan bila kadar bilirubin indirek mendekati kadar
yang tercatat Terapi demikian meliputi tabung fluoresens”biru spesial”,
menempatkan lampu pada jarak 15-20 cm dari bayi, dan menggunakan selimut
fototerapi serabut optik yang ditempatkan di bawah punggung bayi , dengan
demikian menambah daerah permukaan yang terpajan cahaya.
Fototerapi
konvensional dipakai secara terus menerus, dan bayi sering dibolak-balik untuk
mendapatkan pajanan kulit yang maksimal. Segera sesudah kadar bilirubin indirek
turun pada kadar yang dianggap aman berdasarkan umur dan keadaan bayi,
pemajanan harus dihentikan. Kadar bilirubin serum dan hematokrit harus dipantau
setiap 4-8 jam pada bayi dengan penyakit henolitik atau pada bayi kadar
bilirubinnya mendekati kisaran yang dianggap toksik untuk setiap bayi.
Yang lain,
terutama bayi-bayi yang lebih tua, dapat dipantau pada interval 12-24 jam.
Pemantauan harus dilanjutkan untuk sekurang-kurangnya 24 jam sesudah
penghentian fototerapi pada penderita dengan penyakit hemolitik, karena
kadang-kadang terjadi kenaikan bilirubin serum yang tidak diharapkan dan
memerlukan pengobatan lebih lanjut.
Warna kulit
tidak dapat dipercaya sebagai evaluasi efektifitas fototerapi, karena kulit
bayi yang terpajan cahaya dapat kelihatan hampir tanpa ikterus walaupun ada
hiperbilirubinemia berat. Mata bayi harus ditutup untuk mencegah pemajanan
terhadap cahaya (tekanan berlebihan pada mata yang dibalut dapat menimbulkan
jejas pada mata yang tertutup atau kornea dapat tergores jika bayi dapat
membuka matanya dibawah balutan.
Suhu tubuh harus
dipantau, dan bayi harus dilindungi dari pecahan bola bola lampu. Jika mudah
dilakukan, radiasi harus diukur secara langsung, dan rincian pemajanan harus
direkam(jenis dan umur bola lampu, lampu pemajanan, jarak bayi dari sumber cahaya
dan sebagainya. Pada bayi dengan penyakit hemolitik, perawatan harus dilakukan
secara hati-hati dan tidak mengabaikan timbulnya anemia yang memerlukan
transfusi.
Komplikasi
fototerapi pada bayi meliputi tinja lembek, ruam makular eritematosa, kepanasan
dan dehidrasi (peningkatan kehilangan air yang tidak terasa, menggigil karena
pemajanan dan sindrom bayi perunggu. Fototerapi merupakan kontraindikasi bila
ada porfiria. Jejas mata atau oklusi hidung karena pembalut tidak lazim
terjadi.
Istilah sindrom
bayi perunggu merujuk pada perubahan warna kulit yang coklat keabu-abuan dan
gelap, kadang ditemukan pada bayi yang diamati pada sindrom ini menderita
hiperbilirubinemia tipe campuran dengan kenaikan bilirubin direk yang bermakna dan sering ada penyakit
hati obstruktif lain. Perubahan warna ini dapat berlangsung selama beberapa
bulan. (Marcdante, 2011)
The American Academy of
Pediatrics (AAP) telah membuat parameter praktis untuk tata
laksana hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan yang sehat dan pedoman terapi
sinar pada bayi usia gestasi ≥ 35 minggu. AAP tidak menganjurkan penghentian
ASI dan telah merekomendasikan pemberian ASI terus menerus (minimal 8-10 kali
dalam 24 jam). Penggantian ASI dengan pemberian air putih, air gula atau susu
formula tidak akan menurunkan kadar bilirubin.
National Collaborating Centre for Women’s and
Children’s Health Clinical Guideline (2010) merekomendasikan manajemen hiperbilirubin menentukan
pengelolaan hiperbilirubinemia di semua bayi dengan menggunakan tabel threshold dan grafik ambang batas
pengobatan. Jika tingkat serum bilirubin turun selama beberapa kali fototerapi
secara terus menerus sebesar 50 mikromol/liter di bawah ambang batas untuk
bertukar transfusi maka diindikasikan untuk melakukan fototerapi tunggal.
National Collaborating Centre for Women’s and
Children’s Health Clinical Guideline (2010) memberikan jalur pemberian fototerapi dan jalur
pemberian transfusi tukar.
Gunakan
pengukuran bilirubin serum dan ambang batas
pengobatan dalam tabel threshold dan grafik ambang
batas pengobatan ketika
dipertimbangkan untuk penggunaan fototerapi.
Pada bayi dengan usia
kehamilan 38 minggu atau lebih
yang katagori bilirubinnya dalam tabel
threshold “repeat
bilirubin measurement” mengulang pengukuran bilirubin dalam 6-12 jam.
Pada bayi
dengan usia kehamilan 38 minggu atau lebih yang
katagori bilirubin dalam tabel threshold adalah “consider phototherapy” mengulang pengukuran bilirubin
dalam 6 jam terlepas dari apakah akan diberikan fototerapi atau tidak nantinya. Jangan gunakan fototerapi pada bayi yang
bilirubin tidak melebihi fototerapi pada batas ambang dalam tabel
threshold dan grafik ambang batas pengobatan.
2. Fenobarbital
Fenobarbital
memperbesar konjugasi ekskresi bilirubin. Pemberiannya akan membatasi
perkembangan ikterus fisiologis pada bayi baru lahir bila diberikan pada saat
lahir dengan dosis 90 mg/24 jam sebelum persalinan atau pada bayi saat lahir
dengan dosis 10 mg/kg/24 jam. Meskipun demikian, fenobarbital tidak secara
rutin dianjurkan untuk mengobati ikterus pada bayi neonatus.
1) Karena
pengaruhnya pada metabolisme bilirubinbiasanya tidak terlihat sebelum mencapai
beberapa hari kemudian
2) Karena
efektivitas obat ini lebih kecil daripada fototerapi dalam menurunkan kadar
bilirubin
3) Karena
dapat mempunyai pengaruh sedatif yang tidak menguntungkan
4) Tidak
menambah respons terhadap fototerapi
Pemberian terapi
(Sn)-protoporifin juga telah diusulkan untuk mengurang kadar bilirubin. Timah
tersebut dapat menghambat konversi biliverdin menjadi bilirubin melalui heme
oksigenase. Walaupun kadar bilirubin dapat turun, pengaruhnya tidak lebih besar
daripada yang dicapai dengan fototerapi. Komlplikasinya meliputi eritema
sementara jika bayi sedang menjalani fototerapi. Diperlukan lebih banyak data mengenai
kemnjuran dan toksisitasnya sebelum senyawa ini dapat dianjurkan sebagai terapi
hiperbilirubinemia. (Marcdante, 2011)
3. Transfusi
Tukar
Pengobatan yang
diterima secara luas ini harus diulangi sesering yang diperlukan untuk
mempertahankan kadar bilirubin indirek dalam serum dibawah kadar. Ada berbagai
faktor yang dapat mengubah kriteria ini ke arah sebaliknya, namun bergantung
pada individu penderita.
Munculnya
tanda-tanda-tanda klinis yang memberi kesan kernikterus merupakan indikasi
untuk melakukan transfusi tukar pada kadar bilirubin serum berapapun. Bayi
cukup bulan yang sehat dengan ikterus fisiologis, atau akibat ASI, dapat
mentolerir kadar bilirubin sedikit lebih tinggi dari 25 mg/dl tanpa tampak
sakit, sedangkan bayi prematur yang sakit dapat mengalami ikterus pada kadar
bilirubin yang sangat rendah.
Kadar yang
mendekati perkiraan kritis pada setiap bayi dapat merupakan indikasi untuk
transfusi tukar semasa usia satu atau dua hari ketika kenaikan lebih lanjut
diantisipasi, tetapi bukan pada hari ke empat pada bayi cukup bulan atau pada
hari ke tujuh pada bayi prematur, ketika penurunan yang terjadi segera bisa
diantisipasi saat mekanisme konjugasi hati menjadi lebih efektif (Marcdante, 2011)
Tabel 4. Kadar Bilirubin Serum Indirek Maksimum Yang
Disarankan Pada Bayi Preterm (Marcdante, 2011)
Berat
Badan Lahir (g)
|
Tidak
Ada Komplikasi
|
Ada
Komplikasi
|
< 1000
|
12-13
|
10-12
|
1000-1250
|
12-14
|
10-12
|
1251-1499
|
14-16
|
12-14
|
1500-1999
|
16-20
|
15-17
|
2000-2500
|
20-22
|
18-20
|
Tabel 5. Pendekatan terhadap hiperbilirubinemia
indirek pada bayi cukup bulan yang sehat tanpa hemolisis (Marcdante, 2011)
Umur
(jam)
|
Fototerapi
|
Fototerapi
dan persiapan transfusi tukar
|
Transfusi
tukar jika fototerapi gagal
|
< 24
|
**
|
**
|
**
|
24-48
|
15-18
|
25
|
20
|
49-72
|
18-20
|
30
|
25
|
>72
|
20
|
30
|
25
|
>2 minggu
|
***
|
***
|
***
|
2.2
Sepsis
2.2.1
Definisi
Sepsis neonatus, sepsis neonatorum dan
septikimia neonatus merupakan istilah yang telah digunakan untuk menggambarkan
respon sistemik terhadap infeksi pada bayi baru lahir. Sakit sistemik serius
pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh asfiksia perinatal, penyakit saluran
nafas, penyakit jantung, ,metabolik, neurologis, atau hematologis.
Sepsis menempati bagian kecil dari semua
infeksi neonatus. Bakteri dan candida merupakan agen etilogi yang paling
sering, namun virus dan kadang-kadang protozoa, dapat juga menyebabkan sepsis.
Biakan darah mungkin negatif, menambah kesulitan dalam menegakkan infeksi
secara etiologi. Akhirnya, infeksi dengan atau tanpa sepsis dapat muncul
bersamaan dengan penyakit non infeksius pada bayi baru lahir atau orang dewasa. (FK UI, 2007)
Sepsis neonatorum adalah infeksi bakteri pada
aliran darah pada bayi selama empat minggu pertama kehidupan. Insiden sepsis
bervariasi yaitu antara 1 dalam 500 atau 1 dalam 600 kelahiran hidup (Bobak,
2005).
Sepsis adalah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan respons sistemik terhadap infeksi pada bayi
baru lahir (Behrman, 2000). Sepsis adalah sindrom yang dikarekteristikkan
oleh tanda-tanda klinis dan gejala-gejala infeksi yang parah yang dapat
berkembang kearah septikemia dan syok septik (Dongoes, 2000)
Sepsis neonatorum
adalah semua infeksi pada bayi pada 28 hari pertama sejak dilahirkan. Infeksi
dapat menyebar secara nenyeluruh atau terlokasi hanya pada satu organ saja (seperti paru-paru dengan
pneumonia). Infeksi pada sepsis bisa didapatkan pada saat sebelum persalinan (intrauterine
sepsis) atau setelah persalinan (extrauterine sepsis) dan dapat
disebabkan karena virus (herpes, rubella), bakteri (streptococcus B), dan fungi
atau jamur (candida) meskipun jarang ditemui. (John Mersch, MD, FAAP, 2009). Sepsis dapat
dibagi menjadi dua yaitu,
1. Sepsis dini : terjadi 7 hari pertama kehidupan. Karakteristik :
sumber organisme pada saluran genital ibu dan atau cairan amnion, biasanya
fulminan dengan angka mortalitas tinggi.
2. Sepsis
lanjutan/nosokomial : terjadi setelah minggu pertama kehidupan dan didapat
dari lingkungan pasca lahir. Karakteristik : Didapat dari kontak
langsung atau tak langsung dengan organisme yang ditemukan dari lingkungan
tempat perawatan bayi, sering mengalami komplikasi. (Pusponegoro, 2000)
2.2.2
Faktor Predisposisi
Penyebab neonatus
sepsis/sepsis neonatorum adalah berbagai macam kuman seperti bakteri, virus,
parasit, atau jamur. Sepsis pada bayi hampir selalu disebabkan oleh bakteri.
Beberapa komplikasi kehamilan yang dapat meningkatkan risiko terjadinya sepsis
pada neonatus antara lain :
1.
Perdarahan
2.
Demam
yang terjadi pada ibu
3.
Infeksi
pada uterus atau plasenta
4.
Ketuban
pecah dini (sebelum 37 minggu kehamilan)
5.
Ketuban
pecah terlalu cepat saat melahirkan (18 jam atau lebih sebelum melahirkan)
6.
Proses
kelahiran yang lama dan sulit
2.2.3
Etiologi
Bakteri, virus,
jamur dan protozoa dapat menyebabkan sepsis pada neonatus. Penyebab yang paling
sering dari sepsis mulai-awal adalah sterptokokus group B dan bakteri enterik
yang didapat dari saluran kelamin ibu. Sepsis mulai akhir dapat disebabkan oleh
streptokokus group B, virus herpes simplek, enterovirus dan E.Coli. pada bayi
dengan berat badan lahir sangat rendah , candida dan stafilokokus
koagulase-negatif (CONS), merupakan patogen yang paling umum pada sepsis mulai
akhir. (FK UI, 2007)
Berdasarkan waktu timbulnya dibagi
menjadi 3 :
1. Early
Onset (dini) : terjadi pada 5 hari pertama setelah lahir dengan manifestasi
klinis yang timbulnya mendadak, dengan gejala sistemik yang berat, terutama
mengenai system saluran pernafasan, progresif dan akhirnya syok.
2. Late
Onset (lambat) : timbul setelah umur 5 hari dengan manifestasi klinis sering
disertai adanya kelainan system susunan saraf pusat.
3. Infeksi
nosokomial yaitu infeksi yang terjadi pada neonatus tanpa resiko infeksi yang
timbul lebih dari 48 jam saat dirawat di rumah sakit.
Mekanisme terjadinya sepsis neonatorum :
1. Antenatal
: paparan terhadap mikroorganisme dari ibu (Infeksi ascending melalui cairan
amnion, adanya paparan terhadap mikroorganisme dari traktur urogenitalis ibu
atau melalui penularan transplasental).
2. Selama
persalinan : trauma kulit dan pembuluh darah selama persalinan, atau tindakan
obstetri yang invasif.
3. Postnatal:
adanya paparan yang meningkat postnatal (mikroorganisme dari satu bayi ke bayi
yang lain, ruangan yang terlalu penuh dan jumlah perawat yang kurang), adanya
portal kolonisasi dan invasi kuman melalui umbilicus, permukaan mukosa, mata,
kulit.
2.2.4
Patofisiologi
Walaupun jarang terjadi, penghirupan cairan amnion yang terinfeksi
dapat menyebabkan pneumonia dan sepsis dalam rahim, ditandai dengan distress
janin atau asfiksia neonatus. Pemaparan terhadap patogen saat persalinan dan
dalam ruang perawatan atau di masyarakat merupakan mekanisme infeksi setelah
lahir. (FK UI, 2007)
Sesuai dengan
patogenesis, secara klinik sepsis neonatal dapat dikategorikan dalam :
Sepsis dini,
terjadi pada 5-7 hari pertama, tanda distres pernapasan lebih mencolok,
organisme penyebab penyakit didapat dari intrapartum, atau melalui saluran
genital ibu. Pada keadaan ini kolonisasi patogen terjadi pada periode
perinatal. Beberapa mikroorganisme penyebab, seperti treponema, virus, listeria
dan candida, transmisi ke janin melalui plasenta secara hematogenik
(Pusponegoro, 2000).
Cara lain masuknya
mikroorganisme, dapat melalui proses persalinan. Dengan pecahnya selaput
ketuban, mikro-organisme dalam flora vagina atau bakteri patogen lainnya secara
asenden dapat mencapai cairan amnion dan janin. Hal ini memungkinkan terjadinya
khorioamnionitis atau cairan amnion yang telah terinfeksi teraspirasi oleh
janin atau neonatus, yang kemudian berperan sebagai penyebab kelainan
pernapasan. Adanya vernix atau mekoneum merusak peran alami bakteriostatik
cairan amnion. Akhirnya bayi dapat terpapar flora vagina waktu melalui jalan
lahir. Kolonisasi terutama terjadi pada kulit, nasofaring, orofaring,
konjungtiva, dan tali pusat. Trauma pada permukaan ini mempercepat proses
infeksi. Penyakit dini ditandai dengan kejadian yang mendadak dan berat, yang
berkembang dengan cepat menjadi syok sepsis dengan angka kematian tinggi.
Insidens syok septik 0,1- 0,4% dengan mortalitas 15-45% dan morbiditas kecacatan
saraf. Umumnya terjadi setelah bayi berumur 7 hari atau lebih (Pusponegoro,
2000).
Sepsis lambat mudah
menjadi berat, tersering menjadi meningitis. Bakteri penyebab sepsis dan
meningitis, termasuk yang timbul sesudah lahir yang berasal dari saluran
genital ibu, kontak antar manusia atau dari alat-alat yang terkontaminasi. Di
sini transmisi horisontal memegang peran. Insiden sepsis lambat sekitar 5-25%,
sedangkan mortalitas 10-20% namun pada bayi kurang bulan mempunyai risiko lebih
mudah terinfeksi, disebabkan penyakit utama dan imunitas yang imatur (Pusponegoro,
2000).
2.2.5
Mikroorganisme
Penyebab Sepsis
Organisme penyebab
sepsis primer berbeda dengan sepsis nosokomial. Sepsis primer biasanya
disebabkan: Streptokokus Grup B (GBS), kuman usus Gram negatif, terutama
Escherisia coli, Listeria monocytogenes, Stafilokokus,
Streptokokus lainnya (termasuk Enterokokus), kuman anaerob, dan Haemophilus
influenzae. Sedangkan penyebab sepsis nosokomial adalah Stafilokokus
(terutama Staphylococcus epidermidis), kuman Gram negatif (Pseudomonas,
Klebsiella, Serratia, dan Proteus), dan jamur.
Faktor Risiko untuk Terjadinya Sepsis
Neonatal ialah:
1)
Prematuritas dan berat lahir rendah,
disebabkan fungsi dan anatomi kulit yang masih imatur, dan lemahnya sistem
imun,
2)
Ketuban pecah dini (>18 jam),
3)
Ibu demam pada masa peripartum atau ibu
dengan infeksi, misalnya khorioamnionitis, infeksi saluran kencing, kolonisasi
vagina oleh GBS, kolonisasi perineal dengan E. coli,
4)
Cairan
ketuban hijau keruh dan berbau,
5)
Tindakan resusitasi pada bayi baru
lahir,
6)
Kehamilan kembar,
7)
Prosedur invasif,
8)
Tindakan pemasangan alat misalnya
kateter, infus, pipa endotrakheal,
9)
Bayi dengan galaktosemi,
10) Terapi
zat besi,
11) Perawatan
di NICU (neonatal intensive care unit) yang terlalu lama,
12) Pemberian
nutrisi parenteral,
13) Pemakaian
antibiotik sebelumnya, dan
14) Lain-lain
misalnya bayi laki-laki terpapar 4x lebih sering dari perempuan. (Pusponegoro,
2000)
2.2.6
Diagnosa
2.2.6.1
Manifestasi klinik
Pada bayi baru lahir, infeksi harus
dipertimbangkan pada diagnosis banding tanda-tanda fisik. Dengan demikian,
untuk menentukan sepsis harus dilakukan pemeriksaan laboratorium. (FK UI, 2007)
Tabel
6. Evaluasi bayi baru lahir untuk infeksi atau sepsis. (FK UI, 2007)
(riwayat/faktor
resiko spesifik)
1.
Infeksi ibu selama
kehamilan atau persalinan (jenis dan lama antimikroba)
2.
Infeksi saluran kencing
3.
Korioamnionitis
4.
Umur
kehamilan/berat badan lahir
5.
Multiparitas
6.
Lama robekan
membran
7.
Persalinan dengan
penyulit
8.
Takikardi janin
9.
Umur saat timbul
(rumah sakit, komuniti)
10.
Akses vaskuler
11.
Intubasi
endotrakheal
12.
Nutrisi parenteral
13.
Pembedahan
|
Adanya penyakit
lain
1.
malformasi
kongenital
2.
penyakit saluran
pernafasan
3.
enterokolitis
nekrotikans
4.
penyakit metabolik
|
Adanya penyakit
sistemik
1.
kesan umum, status
neurologis
2.
tanda-tanda vital
abnormal
3.
penyakit sistem
organ
4. , makan, tinja, keluaran urin
|
Pemeriksaan
laboratorium
1.
Bukti adanya
infeksi
· Biakan dari tempat yang secara normal steril
· Ditemukan adanya mikroorganisme dalam jaringan atau cairan
· Deteksi antigen
· Serologi ibu atau neonatus
· autopsi
2.
Bukti adanya
radang
· Leukositosis , rasio hiting neutrofil imatur/total meningkat
· Reaktan fase akut, PRC, LED
· Sitokin : IL-6
· Koagulasi intravaskuler tersebar, produk pecahan fibrin
3.
Bukti adanya
penyakit sistem multiorgan
· Asidosis metabolik
· Fungsi paru-paru
· Fungsi ginjal
· Jejas/fungsi hati : SGPT, SGOT, amonia
· Fungsi sumsus tulang, netropenia, anemia, trombositopenia
|
(
2.2.6.2
Pemeriksaan laboratorium
1.
Hematologi
Darah rutin, termasuk kadar
hemoglobin Hb, hematokrit Ht, leukosit dan hitung jenis, trombosit. Pada
umumnya terdapat neutropeni PMN <1800/ml, trombositopeni <150.000/ml
(spesifisitas tinggi, sensitivitas rendah), neutrofil muda meningkat
>1500/ml, rasio neutrofil imatur : total >0,2. Adanya reaktan fase akut
yaitu CRP (konsentrasi tertinggi dilaporkan pada infeksi bakteri, kenaikan
sedang didapatkan pada kondisi infeksi kronik), LED, GCSF (granulocyte
colonystimulating factor), sitokin IL-1ß, IL-6 dan TNF (tumour necrosis
factor).
1)
Biakan darah atau cairan tubuh lainnya
(cairan serebrospinalis) serta uji resistensi, pelaksanaan pungsi lumbal masih
kontroversi, dianjurkan dilakukan pada bayi yang menderita kejang, kesadaran
menurun, klinis sakit tampak makin berat dan kultur darah positip.
2)
Bila ada indikasi, dapat dilakukan
biakan tinja dan urin.
3)
Pemeriksaan apusan Gram dari bahan darah
maupun cairan liquor, serta urin.
4)
Lain-lain misalnya bilirubin, gula
darah, dan elektrolit (natrium, kalium).
2.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang
diperlukan ialah foto dada, abdomen atas indikasi, dan ginjal. Pemeriksaan USG
ginjal, skaning ginjal, sistouretrografi dilakukan atas indikasi.
3. Pemeriksaan
Penunjang Lain
Pemeriksaan plasenta
dan selaput janin dapat menunjukkan adanya korioamnionitis, yang merupakan
potensi terjadinya infeksi pada neonatus. (Pusponegoro, 2000)
2.2.7
Penatalaksanaan
1. Terapi
Suportif
Segera
berikan cairan secara parentral untuk memperbaiki gangguan sirkulasi, mengatasi
dehidrasi dan kelainan metabolik. Berikan oksigen bila didapat gangguan
respirasi/sodroma gawat napas.bila
ditemukan hiperbiliribinemia lakukan foto terapi/tranfusi tukar. Bila sudah
makan per oral beri ASI atau susu formula.
2. Pencegahan
dilakukan dengan memperhatikan pemakaian jarum atau alat tajam lainnya sekali
pakai. Pemakaian proteksi di setiap tindakan, termasuk sarung tangan, masker,
baju, kacamata debu. Tangan dan kulit yang terkena darah atau cairan tubuh
lainnya segera dicuci.
3. Pengobatan
Penisilin
atau derivat biasanya ampisilin 100mg/kg/24jam intravena tiap 12 jam, apabila
terjadi meningitis untuk umur 0-7 hari 100-200mg/kg/24jam
intravena/intramuskular tiap 12 jam, umur >7 hari 200-300mg/kg/24jam
intravena/ intramuskular tiap 6-8 jam, maksimum 400mg/ kg/24jam.
Ampisilin
sodium/sulbaktam sodium (Unasyn), dosis sama dengan ampisilin ditambah
aminoglikosid 5mg/kg/24jam intravena diberikan tiap 12 jam.
Pada
sepsis nosokomial, sebaiknya diberikan vankomisin dengan dosis tergantung umur
dan berat badan:
a. <1,2kg
umur 0-4 minggu: 15mg/kg/kali tiap 24jam
b. 1,2-2kg
umur 0-7 hari: 15mg/kg/kali tiap 12-18jam
c. 1,2-2kg
umur >7 hari: 15mg/kg/kali tiap 8-12jam
d. >2kg
umur 0-7 hari: 15mg/kg/kali tiap 12jam
e. >2kg
umur >7 hari: 15mg/kg/kali tiap 8jam ditambah aminoglikosid atau
sefalosporin generasi ketiga
4. Terapi
lanjutan disesuaikan dengan hasil biakan dan uji resistensi.
5. Pengobatan
komplikasi
a. Pernapasan:
kebutuhan oksigen meningkat, yang harus dipenuhi dengan pemberian oksigen, VTP
atau kemudian dengan ventilator.
b. Kardiovaskular:
menunjang tekanan darah dan perfusi jaringan, mencegah syok dengan pemberian
volume ekspander 10-20ml/kg (NaCl 0,9%, albumin dan darah). Catat pemasukan
cairan dan pengeluaran urin.
Kadang
diperlukan pemakaian dopamin atau dobutamin.
-
Hematologi: untuk DIC (trombositopeni, protrombin
time memanjang, tromboplastin time meningkat), sebaiknya diberikan
FFP 10ml/kg, vit K, suspensi trombosit, dan kemungkinan transfusi tukar.
Apabila
terjadi neutropeni, diberikan transfusi neutrofil
-
Susunan syaraf pusat: bila kejang beri
fenobarbital (20mg/kg loading dose) dan monitor timbulnya sindrom inappropriate
antidiuretic hormon atau SIADH, ditandai dengan ekskresi urin turun, hiponatremi,
osmolaritas serum turun, naiknya berat jenis urin dan osmolaritas.
-
Metabolik: monitor dan terapi hipo dan
hiperglikemia. Koreksi asidosis metabolik dengan bikarbonat dan cairan.
Pada
saat ini imunoterapi telah berkembang sangat pesat dengan diketemukannya
berbagai jenis globulin hiperimun, antibodi monoklonal untuk patogen spesifik
penyebab sepsis neonatal. (Pusponegoro, 2000)
2.2.8
Pencegahan
Sepsis neonatarum adalah penyebab
kematian utama pada neonatus, tanpa pengobatan yang memadai, gangguan ini dapat
menyebabakan kematian dalam waktu singkat. Oleh karena itu, tindakan pencegahan
mempunyai arti penting karena dapat mencegah terjadinya kesakitan dan kematian.
Tindakan pencegahan itu dapat dilakukan dengan cara :
1. Pada
Masa Antenatal
Perawatan
antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara berkala, imunisasi,
pengobatan terhadap infeksi yang diderita ibu, asupan gizi yang memadai,
penangan segera terhadap keadaan yang dapat menurunkan kesehatan ibu dan janin,
rujukan segera ketempat pelayanan yang memadai bila diperlukan.
2. Pada
Saat Persalinan
Perawatan ibu
selama persalinan dilakukan secara aseptik, dalam arti persalinan diperlukan
sebagai tindakan operasi, tindakan intervensi pada ibu dan bayi seminimal
mungkin dilakukan. Mengawasi keaadan ibu dan janin yang baik selama proses
persalinan, melakukan rujukan secepatnya bila diperlukan, dan menghindari
perlukaan kulit dan selaput lendir.
3. Pada
Masa Sesudah Persalinan
Perawatan
sesudah lahir meliputi menerapkan rawat gabung bila bayi normal, pemberian ASI
secepatnya, mengupayakan lingkungan dan peralatan agar tetap bersih, setiap
bayi menggunakan peralatan sendir. Tindakan invasif harus dilakukan dengan
memperhatikan prinsip-prinsip aseptik. Sebelum dan sesudah memegang bayi harus
mencuci tangan terlebih dahulu. Dan bayi yang berpenyakit menular harus
diisolasi, dan pemberian antibotik secara rasional, sedapat mungkin melalui
pemantauan mikrobiologi dan tes resistensi.
BAB
III
TINJAUAN
KASUS
Kajian Asuhan Kebidanan Pada Bayi Ny. D Dengan Hiperbilirubinemia dan Early Onset
Sepsis Di Ruang Perinatologi RSUP
Dr.M.Djamil Padang
3.1 PENGKAJIAN
AWAL
Tanggal Pengkajian :
18 Juli 2016
Pukul :
10.15 wib
No. MR : 95.09.08
3.1.1 Data
Subjektif (S)
I.
Identitas Bayi :
Nama : By. Ny. D
Jenis
Kelamin : Perempuan
Tempat/Tgl.
Lahir : Batu Sangkar, 06 Juli 2016
Berat
Badan : 3000 gram
Panjang
Badan : 48 cm
Anak
Ke : 1
II.
Identitas Orangtua :
Nama Ayah : Tn. R Nama
Ibu : Ny. D
Umur : 31 thn Umur : 28 thn
Pendidikan Ayah : D3 Pendidikan Ibu : D3
Pekerjaan : Swasta Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam Agama : Islam
Suku/Bangsa : Minang/INA Suku/Bangsa : Minang/INA
Alamat : Puncuran Bukik, Jorong tiga Baru
Sumber Informasi : Status/ rekam medik dan
ibu klien
III.
Masalah
Pasien kiriman dari RS Swasta dan telah dirawat selama 8 hari, telah
didapatkan pemeriksaan darah dengan hasil Bilirubin total 18,78 mg/dl, indirect
6,16 mg/dl, bilirubin direct 12,02 mg/dl. Pasien tampak kuning sejak usia 2
hari dan semakin hari semakin kuning, sesak nafas sejak lahir selama 4 hari,
ada demam sejak satu hari yang lalu tapi tidak tinggi.
IV.
Riwayat Asuhan
1. Riwayat
Asuhan Sekarang (Present Illness)
a. Keluhan Utama Bayi
|
:
|
Bayi
baru lahir dengan Hiperbilirubinemia
dan Early Onset Sepsis
|
b. Upaya untuk mengatasi
|
:
|
Dirawat di Ruang Perinatologi
|
1. Riwayat penyakit sekarang
-
Bayi usia 12 hari, lahir spontan 38-39
minggu, BB:3000 gram, Pb : 48 cm, ibu baik, ketuban hijau pecah ketuban kurang
lebih 12 jam, A/S tidak langsung menangis (Partus Luar)
-
Demam sejak 1 hari yang lalu, tidak
tinggi, tidak disertai kejang
-
Kuning sejak usia dua hari, semakin hari
semakin bertambah kuning hingga seluruh tubuh
-
Merintih tidak ada, sesak napas sejak
lahir selama 4 hari, kebiruan ada
-
Muntah tidak ada
-
Riwayat malas menyusu
-
Riwayat injeksi vit K telah diberikan
-
Buang air kecil jumlah dan warna biasa
2.
Riwayat
perkawinan
Menikah
satu kali.
3.
Riwayat
Kehamilan, Persalinan dan Nifas yang lalu
-
Kehamilan pertama
-
Riwayat ibu demam dan keputihan saat
kehamilan tidak ada
-
Riwayat ibu nyeri buang air kecil selama
hamil tidak ada
-
Persalinan spontan ketuban sudah pecah
kurang lebih 12 jam warna hijau.
-
Penyakit selama hamil tidak ada (anemia,
ginjal, jantung, TBC dan lain-lain.
-
Tidak merokok dan minum obat-obatan
-
Makanan : makan dengan lauk pauk
beraneka ragam sebanyak 3 x sehari
4.
Riwayat
Penyakit dahulu :
tidak ada
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
- Komposisi keluarga
|
:
|
Orang tua klien tinggal sendiri.
|
- Kultur dan kepercayaan
|
:
|
Sesuai dengan ajaran agama Islam, tidak ada berpantang makan selama
kehamilan.
|
- Fungsi dan hubungan keluarga
|
:
|
Bayi merupakan anak pertama.
|
- Perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan
|
:
|
Ibu belum dapat menyusui bayi secara maksimal.
|
- Persepsi keluarga tentang penyakit bayi
|
:
|
keluarga pasrah terhadap apa yang terjadi & menerimanya serta
berharap segera sehat dan pulang ke rumah.
|
3.1.2 Data
Objektif (O)
1. Pemeriksaan
Umum
a. Keadaan umum : kurang aktif
b. Suhu : 36,7⁰C
c. Pernafasan : 42 kali/menit
d. Denyut Jantung : 156 kali/menit
e. BB : 2545 gram
2. Pemeriksaan
Fisik (Head to toe)
a. Mata : Tidak ada sekret, sklera ikterik, konjungtiva tidak
anemis
b. Telinga :
tidak ditemukan kelainan.
c. Hidung :
nafas cuping hidung tidak ada.
d. Mulut :
mukosa mulut dan bibir basah.
e. Leher :
tidak ditemukan kelainan.
f. Toraks
1)
Bentuk : Normochest, retraksi ringan epigastrium (+)
2)
Paru-paru : Bronkoveskuler,
Wheezing (-/-), ronchi (-/-)
3)
Jantung : Irama reguler, bising (-)
g. Abdomen :
1)
Permukaan : data
2)
Kondisi :
lemas
3)
Hati :
¼ x ¼
4)
Limpa :
tidak teraba
h. Umbilikus
: segar, tidak hiperemesis,
tidak berbau
i. Genitalia
: tidak ada kelainan
j. Ekstremitas
:
1)
Atas :
akral hangat, perfusi baik
2)
Bawah :
akral hangat, perfusi baik
k. Kulit
: teraba hangat, ikterik kramer IV
l. Anus
: Ada
m. Tulang
– tulang : tidak ditemukan kelainan
3.
Reflek neonatal :
a. Reflek Moro : ada
b. Reflek Rooting : ada
c. Reflek Graphs : ada
d. Reflek Sucking : ada
4.
Antropometri
a. Lingkar Kepala : 32 cm
b. Lingkar Dada : 29 cm
c. Lingkar Perut : 27 cm
d. Simpisis –
Kaki : 19 cm
e. Panjang
Lengan : 14 cm
f. Panjang Kaki : 19 cm
g. Kepala –
Simpisis : 27 cm
5.
Eliminasi
a. Miksi : sudah ada
b. Defekasi : sudah ada
6.
Laboratorium
Ø Darah
-
Hb :
9,6 gr/dl
-
Leukosit : 22.500/mm³
-
Eritrosit : 2,82 juta
-
Trombosit : 312.000/mm³
-
Hematokrit : 28 %
-
Retikulosit : 1,6 %
-
Hitung
jenis lekosit
-
Basofil : 0 %
-
Eosinofil : 0 %
-
N. Batang : 3 %
-
N.
Segmen :
49 %
-
Limfosit : 46 %
-
Monosit : 2 %
3.1.2 Assessment
Diagnosa : Bayi
Ny.D neonatus cukup bulan usia 8 hari dengan hiperbilirubinemia dan Early Onset Sepsis
3.1.3 Planning
1. Berikan
informasi kepada keluarga mengenai keadaan bayinya
2. Mengontrol
TTV, warna kulit dan aktifitas bayi.
3. Anjurkan
ibu menyusui lebih sering
4. Ajarkan
ibu utnuk memberikan ASI dengan benar
5. Kolaborasi
dengan dokter spesialis anak, advis dokter :
-
Foto terapi
-
Cek bilirubin, kultur darah
-
Cepoferazon Sulbactan 2 x 125 mg iv
-
Netilmisin 1 x 8 mg iv.
-
Urdafalk 3 x 20 mg iv
3.2 CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal 18 -07-2016 Jam 10.30
WIB
S
|
:
|
-
Bayi tampak kuning
-
Tidak ada demam
-
Tidak ada sesak nafas
-
Tidak kebiruan
-
Tidak ada muntah
|
O
|
:
|
-
Berat badan : 2600 gram
-
Panjang badan : 48 cm
-
Jenis kelamin : perempuan
-
Kelainan kongenital : tidak ada
-
Nadi : 138x/m, rr : 46x/m, suhu : 37°c
-
Konjungtiva tidak anemis
-
Sklera
ikterik
-
Kulit ikterik sampai dada (kramer grade II)
-
Irama jantung teratur
-
Thoraks : cor dan pulmo dalam batas normal
-
Sianosis ekstremitas (-)
-
Abdomen : distensi (-), bising usus.
-
Extremitas : Akral hangat
|
A
|
:
|
-
Bayi Ny.D neonatus cukup bulan usia 12 hari
dengan hiperbilirubinemia dan Early Onset Sepsis
|
P
|
:
|
-
Berikan
Informed concent
-
Melakukan
asuhan dasar bayi muda
-
Mengontrol KU, TTV, warna kulit dan aktifitas
bayi.
-
Anjurkan ibu menyusui lebih sering
-
Mengajurkan
ibu untuk memberikan ASI akslusif serta mengajar kan ibu cara menyusui yang
benar mulai dari posisi menyusui, perlekatan mulut bayi hingga menilai apakah
bayi menghisap dalam dan efektif
-
Memantau
intake dan output bayi
-
Kolaborasi
dengan dokter, advis dokter: Cepoferazon Sulbactan 2 x 125 mg iv, Netilmisin 1
x 8 mg iv dan Urdafalk 3 x 20 mg iv
|
Tanggal 19 -07-2016 Jam 10.30
WIB
S
|
:
|
-
Bayi tampak kuning
-
Tidak ada demam
-
Tidak ada sesak nafas
-
Tidak kebiruan
-
Tidak ada muntah
|
O
|
:
|
-
Berat badan : 2600 gram
-
Panjang badan : 48 cm
-
Jenis kelamin : perempuan
-
Kelainan kongenital : tidak ada
-
Nadi : 140x/m, rr : 48x/m, suhu : 36,2°c
-
Konjungtiva tidak anemis
-
Sklera ikterik
-
Kulit ikterik sampai dada (Kramer Grade II)
-
Irama jantung teratur
-
Thoraks : cor dan pulmo dalam batas normal
-
Sianosis ekstremitas (-)
-
Abdomen : distensi (-), bising usus.
-
Extremitas : Akral hangat
|
A
|
:
|
-
Bayi Ny.D neonatus cukup bulan usia 13 hari
dengan hiperbilirubinemia dan Early Onset Sepsis
|
P
|
:
|
-
Melakukan
asuhan dasar bayi muda
-
Mengontrol KU, TTV, warna kulit dan aktifitas
bayi.
-
Anjurkan ibu menyusui lebih sering
-
Mengajurkan
ibu untuk memberikan ASI akslusif serta mengajar kan ibu cara menyusui yang
benar mulai dari posisi menyusui, perlekatan mulut bayi hingga menilai apakah
bayi menghisap dalam dan efektif
-
Memantau
intake dan output bayi
-
Kolaborasi
dengan dokter, advis dokter: Cepoferazon Sulbactan 2 x 125 mg iv, Netilmisin 1
x 8 mg iv dan Urdafalk 3 x 20 mg iv
|
ANALISA
KASUS
By. Ny. D, kiriman dari RS Swasta pada tanggal 14 Juli 2016 dan telah dirawat selama 8 hari. Dengan keluhan pasien
tampak kuning sejak usia 2 hari, sesak nafas sejak lahir selama 4 hari, ada
demam sejak satu hari yang lalu namun tidak tinggi, lahir spontan 38-39 minggu APGAR Skor bayi tidak lansung menangis, BB 3000 gram dan PB 48 cm. Telah
dilakukan tindakan dan terapi : IVFD D5% 5 teses per menit, biocef 2 x 125 mg
iv selama 8 hari, urdafalk 2 x 10 mg dan hasil laboratorium dari RS tersebut
adalah Bilirubin
total 18,78 mg/dl, bilirubin indirect 6,16 mg/dl, bilirubin direct 12,02 mg/dl. Pasien masuk perinatologi dengan diagnosa hieprbilirubinemia dan sepsis. Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan
maka bayi ditegakkan diagnosa dengan Hiperbilirubinemia dan Early Onset Sepsis.
Berdasarkan teori dan kasus yang diangkat maka ada kesesuaian, bahwa bayi Ny.D dengan
diagnosa hiperbilirubinemia tampak kuning sampai ke lengan tangan dan kaki
yaitu derajat IV menurut kramer dan dari hasil laboratorium ditemukan kadar
bilirubin total yaitu 18,7 mg/ dl. Oleh sebab itu, bayi Ny D diberikan tindakan
fototerapi. (Winkjosastro Hanifa, 2006)
The American Academy of Pediatrics (AAP) telah membuat parameter praktis untuk tata laksana
hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan yang sehat dan pedoman terapi sinar
pada bayi usia gestasi ≥ 35 minggu. AAP tidak menganjurkan penghentian ASI dan
telah merekomendasikan pemberian ASI terus menerus. Hal tersebut sesuai dengan
kasus ini bahwasannya bayi Ny. “D” diberikan ASI OD yang diberikan ibunya
(AAP, 2004). Ketika cairan atau nutrisi yang diberikan lebih dari 180
mL/kg/hari maka hati-hati bayi bisa cepat terjadi overhidrasi, terkecuali jika
bayi mengalami dehidrasi atau sedang mendapat terapi sinar atau berada di bawah
pemancar panas (WHO, 2009).
Prinsip penatalaksanaan hiperbilirubinemia antara lain
memenuhi kebutuhan nutrisi, mencegah meningkatnya ikterus dan meminimalkan
gangguan rasa aman dan nyaman akibat pengobatan.
Penghirupan cairan amnion
yang terinfeksi dapat menyebabkan pneumonia dan sepsis, ditandai dengan
distress janin atau asfiksia neonatus. Pemaparan terhadap patogen saat
persalinan dan dalam ruang perawatan atau di masyarakat merupakan mekanisme
infeksi setelah lahir. (FK UI, 2007)
Pemantauan yang memerlukan
perhatian khusus agar bayi tidak menggigil selama pemeriksaan. Periksa suhu
bayi secara teratur, suhu dijaga sekitar 36.5-37.5° C, aksila. Anjurkan ibu
untuk sering memberikan ASI guna mencegah hipoglikemia (WHO, 2009). Dan hal ini telah dilakukan pada bayi Ny. D oleh
petugas kesehatan.
Dalam pemberian
fototerapi ini harus diperhatikan jarak antara kulit bayi dan sumber cahaya
yang dimana hal ini dapat mempengaruhi dosis dan kemanjuran fototerapi dalam
menurunkan kadar total bilirubin serum. Tindakan fototerapi ini telah dilakukan
petugas kesehatan sejak tanggal 14 Juli 2016 dan sesuai dengan teori.
Kulit bayi harus
terpajan penuh terhadap sumber cahaya dengan jumlah yang adekuat dengan cara
memberikan mobilisasi pada bayi setiap 3 jam (Bunyaniah et al, 2013). Pemberian
sinar terapi fototerapi ini harus diberikan secara penuh untuk mendapatkan
hasil kadar biliribin total normal yang cepat. Namun ada faktor perancu yang
menghambat penurunan kadar bilirubin total selama pemberian sinar terapi yaitu
pemberian nutrisi yang dilakukan di luar fototerapi.
Pada tanggal 19 Juli 2016
dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan
keadaan
umum sudah mulai membaik, gerakan tubuh sudah mulai aktif, anak masih tampak kuning sampai dada, HR 140 kali per menit, nafas 48 kali/menit, suhu 36,2 0C,
tidak sianosis, nafas cuping hidung tidak ada, irama jantung teratur. Terapi yang sekarang
dikonsumsi oleh bayi adalah ; Cepoferazon Sulbactan 2 x 125 mg iv,
Netilmicin 1 x 8 mg iv dan Urdafalk 3 x 20 mg iv.
Pada tanggal 20 Juli 2016, keadaan umum bayi sudah baik, gerakan tubuh
aktif dan menyusu dengan baik. Dengan terapi yang baik dan asuhan yang benar,
bayi menunjukkan prognosa yang baik dari hari sebelumnya. Direncanakan USG
abdomen. Pada tanggal 21 Juli 2016 didapatkan hasil USG tidak tampak kelainan
pada USG abdomen.
Asuhan kebidanan yang dilakukan pada kasus ini adalah :
1.
Menjaga suhu bayi
Bayi kecil rentan
terhadap perubahan suhu, oleh sebab itu bayi harus dihindarkan dari suhu yang
rendah (hipotermia).
2.
Pengaturan dan pengawasan intake nutrisi
Pengaturan dan
pengawasan intake nutrisi dalam hal ini adalah cara pemberian dan jadwal
pemberian yang sesuai dengan kebutuhan bayi. ASI (air susu ibu) merupakan
pilihan pertama jika bayi mampu menghisap. Pada bayi yang kurang reflek
menghisapnya dapat diberikan ASI yang telah dikeluarkan terlebih dahulu lalu
diminumkan dengan sendok perlahan-lahan.
Pada bayi sehat yang
mampu menyusu sendiri dapat diberikan ASI dengan porsi kecil tapi sering. Hal
ini bertujuan agar bayi memperoleh asupan yang cukup dan aman. Pada bayi proses
toleransi penyerapan lambungnya berbeda-beda, ada yang sudah baik ada yang
masih lambat. Sehingga, bagi bayi-bayi tersebut sebaiknya diberikan minuman
susu dengan porsi yang kecil tapi sering, sekitar 2-3 jam sekali.
Selain itu, hal yang paling penting dalam
pemberian ASI adalah menilai apakah bayi meyusui dengan baik:
-
Lihat apakah posisi bayi benar
Seluruh badan bayi tersanggah dengan baik-
kepaladan tubuh bayi lurus-badan bayi menghadap ke dada ibu-badan bayi dekat ke
ibu.
-
Lihat apakah perlekatan benar
Dagu bayi menempel payudara-mulut bayi
terbuka lebar-bibir bawah membuka lebar-areola sebagian tampak lebih banyak.
-
Lihat dan dengar apakah bayi menghisap dalam dan
efektif:
Bayi menghisap dalam, teratur, diselingi
istirahat-hanya mendengar suara menelan.
3.
Pencegahan infeksi
Bayi baru lahir mudah sekali terkena
infeksi karena daya tahan tubuhnya masih lemah. Oleh karena itu, upaya
preventif dapat dilakukan. Infeksi lokal pada bayi cepat menjalar menjadi
infeksi umum. Tetapi diagnosis dini dapat ditegakkan jika cukup waspada terhadap perubahan (kelainan)
tingkah laku bayi sering merupakan tanda infeksi umum. Perubahan tersebut
antara lain: malas menetek, frekuensi pernapasan meningkat, muntah, diare dan berat badan mendadak menurun.
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Telah
ditegakkan diagnosis Hiperbilirubinemia dan Early Onset Sepsis pada bayi Ny.D berdasarkan hasil APGAR Skor, pemeriksaan fisik, pemeriksaan vital sign, serta
pemeriksaan penunjang lainnya, di ruangan
Perinatologi RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Asuhan kebidanan yang
diberikan sesuai permasalahan yang dihadapi oleh bayi, dimana bayi beresiko
untuk terkena
infeksi maka bayi
dirawat di Perinatologi dengan memberikan perawatan pada bayi dan pemantauan
vital sign, fototerapi, serta penatalaksanaan bayi telah dilakukan kolaborasi dengan
dokter
spesialis anak dengan program terapi sesuai dengan protap penatalaksanaan
asuhan bayi dengan Hiperbilirubinemia dan Early Onset Sepsis. Sekarang bayi
dirawat dengan terapi Cepoferazon Sulbactan 2 x 125 mg iv, Netilmicin 1 x 8 mg
iv dan Urdafalk 3 x 20 mg iv. Bayi telah dirawat selama 13 hari, dengan terapi yang
baik dan asuhan yang benar.
5.2 Saran
5.2.1
Bagi
Masyarakat
Perlunya melakukan
perawatan dan pemeriksaan yang rutin saat hamil untuk menghindari penyebab dan
faktor resiko yang dapat menyebabkan penyulit pada ibu hamil serta kelainan
pada Bayi Baru Lahir.
5.2.2
Bagi Tenaga
Kesehatan
Terutama
kepada bidan untuk dapat mengenali dan menyadari tanda dan gejala abnormal yang
paling umum sedini mungkin yang dapat menunjukkan berbagai penyakit dan kondisi,
serta melakukan tindakan yang efektif dan efisien dalam pengelolaan rujukan.
No comments:
Post a Comment