BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit infeksi merupakan salah
satu masalah penting di negara berkembang. Lingkungan tempat tinggal yang tidak
memadai, kumuh kepadatan penduduk tinggi, menjadi faktor risiko terjadinya
penyakit infeksi. Faktor penyebab dari infeksi antara lain karena virus,
bakteri, dan parasit. Infeksi yang disebabkan parasit ini juga masih sering terjadi
di Indonesia. Hal ini dikarenakan banyak faktor yang menunjang untuk hidup dan
berkembang nya parasit, antara lain kondisi alam dan lingkungan, iklim, suhu,
kelembapan serta juga hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat seperti
kurangnya pengetahuan, sosial ekonomi rendah yang akan berdampak menjadi
keadaan sanitasi yang lingkungan kurang baik, kepadatan penduduk, kebersihan
perorangan kurang baik serta kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik misalnya
buang air besar di sembarangan tempat, penggunaan air yang kurang baik untuk
mencuci alat makan maupun untuk diminm dll. Jenis Infeksi parasit yaitu
malaria,filariasis dll. Saat ini malaria masih menjadi perhatian karena,
dikarenakan masih menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB), berdampak luas
terhadap kualitas hidup dan ekonomi, dapat mengakibatkan kematian.
Data dari Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) tahun 2013 menyebutkan bahwa
Insidensi malaria pada penduduk Indonesia adalah 1,9% menurun dibanding
tahun 2007 (2,9 %). Prevalensi malaria tahun 2013 adalah 6,0 %. (Riset
Kesehatan Dasar, 2013)
Provinsi Sumatera Barat mempunyai
insidensi malaria yaitu 0,3 % dan prevalensinya yaitu 1,1 % pada tahun 2013. Untuk kota padang angka
kesakitan malaria nya adalah 0,07 per 1.000 penduduk berisiko. Dapat dilihat
bahwa kejadian infeksi parasit seperti malaria ini masih tinggi. (Profil
Kesehatan Kota Padang, 2014)
Diperlukan upaya untuk
menanggulanginya infeksi parasit ini. Upaya yang paling tepat untuk seorang
bidan dalam membantu menurunkan kejadian infeksi parasit ini yaitu dengan cara meningkatkan
pengetahuan tentang infeksi parasit seperti mengetahui penyebab atau sumber
infeksinya, faktor risikonya, serta gejala penyakitnya, dan yang paling penting
menekankan pencegahan yang adekuat.
B. Tujuan
Adapun
tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang infeksi
parasit
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Infeksi Parasit
1. Definisi Infeksi Parasit
Sebelum membahas mengenai infeksi
parasit, sebaiknya kita perlu mengetahui definisi infeksi secara umum. Infeksi
merupakan proses invasi dan multiplikasi berbagai mikroorganisme ke dalam tubuh
(seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit), yang saat dalam keadaan normal,
mikroorganisme tersebut tidak terdapat di dalam tubuh. (Mandal, 2006)
Parasit adalah organisme yang
membutuhkan makhluk hidup lain sebagai sumber makanan sehingga dapat merugikan
kehidupan bahkan dapat menimbulkan kematian induk semang (hospes) tempatnya
menumpang hidup. Jadi infeksi parasit adalah proses invasi dan multiplikasi
suatu parasit ke dalam tubuh sehingga
menimbulkan infeksi. (Natadisastra, 2009)
2. Parasit dan Hospes
Parasit merupakan mikroorganisme
yang membutuhkan organisme atau host lainnya untuk bertahan. Beberapa parasit
tidak mempengaruhi host yang ia tinggali, sedangkan beberapa lainnya mengalami
pertumbuhan, reproduksi, dan bahkan mengeluarkan toksin (racun) yang menyebabkan
host mengalami infeksi parasit. Infeksi parasit disebabkan oleh tiga jenis
organisme: protozoa, helminth
(cacing), dan ektoparasit seperti serangga.
Parasit dapat diperankan oleh
binatang atau tumbuhan. Jika yang bertindak sebagai parasit tersebut binatang
atau tumbuhan. Jika yang bertindak sebagai parasit tersebut binatang, disebut zooparasit, sedangkan jika tumbuhan
disebut phytoparasit. Sekarang ini
yang dimaksud dengan parasit yaitu zooparasit.
Menurut jumlah sel yang
membentuknya, parasit dibagi atas parasit satu sel disebut protozoa. Protozoa
bermultiplikasi di dalam tubuh manusia. Infeksi yang disebabkan oleh protozoa
antara lain giardiasis, yaitu infeksi pencernaan yang dapat terjadi akibat
meminum air yang terinfeksi oleh protozoa sedangkan jika terdiri dari banyak
sel disebut metazoa.
Menurut tempat hidup parasit pada
hospes, ada dua macam parasit yaitu ektoparasit, hidupnya pada permukaan tubuh
(kulit) hospes, kebanyakan dari arthropoda. Ektoparasit merupakan organisme
yang juga memiliki banyak sel yang
biasanya hidup atau makan dari kulit manusia, seperti nyamuk, lalat, kutu, atau
tungau. Sedangkan endoparasit hidupnya didalam tubuh hospes. Helminth merupakan organisme yang
memiliki banyak sel (multi sel) yang biasanya dikenal dengan nama cacing.
Terdapat berbagai jenis cacing yang dapat menginfeksi manusia, seperti Ascaris lumbricoides (cacing gelang atau
roundworm), Trichuris trichiura (cacing cambuk atau whipworm), Necator americanus,
dan Ancylostoma duodenale (cacing
tambang atau hookworm)
Proses masuknya endoparasit ke dalam
tubuh hospes disebut infeksi. Sedangkan menempelnya ektoparasit pada tubuh
hospes disebut infestasi.
Mengenai hospes (tuan rumah) yang
menjadi tempat bagi parasit untuk menggantungkan hidup dan pembiakannya, ada
beberapa istilah yang perlu diketahui
Beberapa parasit, pada manusia tidak
menimbulkan gangguan, komensal, misalnya beberapa amoeba dan flagelata usus.
Dilihat dari segi kerusakan yang ditimbulkan oleh parasit, parasit dibagi dua
kelompok, yaitu yang dapat menimbulkan kerusakan lokal/sistemik disebut parasit
patogen, sedangkan yang tidak menimbulkan kerusakan disebut parasit apotogen.
Mengenai hospes (tuan rumah) yang
menjadi tempat bagi parasit untuk menggantungkan hidup dan pembiakannya, ada
beberapa istilah yang perlu diketahui. Hospes definitif (hospes
terminal/akhir), yaitu manusia, hewan, atau tumbuhan yang menjadi tempat hidup
parasit dewasa dan atau parasit
mengadakan reproduksi seksual. Hospes perantara (intermediate host) yaitu manusia, hewan, atau tumbuhan yang menjadi
tempat parasit menyempurnakan sebagian dari siklus hidupnya dan atau tempat
parasit mengadakan pembiakan aseksualnya. Tuan rumah peserta ialah hospes yang
dapat juga dihuni oleh parasit tertentu walaupun sebenarnya bukan merupakan
tuan rumah definitif bagi parasit tersebut. Hospes paratenik merupakan tuan
rumah potensial dan di dalamnya tidak terjadi perkembangan parasit muda, hospes
itu tidak mendukung atau menghalangi parasit itu dalam menyelesaikan siklus
hidupnya, misalnya Toxocara cati yang
merupakan ascaris pada kucing. Jika telur yang tela matang termakan manusia
maka larva keluar setelah larva menetas akan tetapi larva ini tidak akan pernah
berkembang lebih lanjut, manusia bertindak sebagai hospes paratenik. Ada hospes
yang menularkan parasit pada manusia disebut vektor, biasanya yang bertindak
sebagai vektor tersebut arthopoda. Ada dua jenis vektor yaitu vektor mekanis
(phoretik) dan vektor biologis. Yang dimaksud vektor adalah biologis yang sebagian siklus hidup
parasitnya terjadi pada tubuh vektor tersebut, jika dalam tubuh vektor tidak
terjadi sebagian siklusnya maka disebut vektor mekanis. (Natadisastra, 2009)
3. Sumber Infeksi
Parasit yang dapat menjadi sumber
infeksi bagi manusia dapat bersal dari tanah atau air yang terkontaminasi,
makanan yang mengandung stadium infektif yaitu stadium parasit yang dapat
menginfeksi manusia, arthopoda penghisap darah, binatang, tumbuhan air, dari
manusia lain ( dari seseorang ke orang lain) atau dapat berasal dari diri
sendiri.
Tanah yang dikotori tinja manusia
terutama sekali dapat dapat bertindak sebagai sumber infeksi dari beberapa
cacing, yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale), Stongyloides stercoralis.
Air dapat berisi krista amoeba,
flagelata usus, telur Taenia solium, dan stadium cercaria trematoda darah.
Ikan air tawar dapat mengandung larva
Diphyllothrium latum, beberapa trematoda
usus dan hati, sedangkan ketam dan udang batu dapat mengandung trematoda
paru-paru (Paragonimus westermani).
Daging babi dapat mengandung larva Trichinellaspiralis
dan Taennia solium, tumbuhan air dari
spesies Trapa spp mengandung Fasciolopsis buski dan slada air (Nasturtium officanale) mengandung Fasciola hepatica.
Arthopoda pengisap darah menyebarkan
parasit-parasit malaria (Plasmodiun sp.),
Leishmania, Trypanosoma, filaria. Swdangkan anjing dapat merupakan sumber
penularan dari larva Echinococcus
granulosus (kista hydatid) juga untuk larva migrans viscerale yang disebabkan Toxocara
canis. Herbivora dapat merupakan sumber infeksi dari Trichostrongylus spp.
Manusia lain dapat menjadi sumber
infeksi bagi amoeba patogen (Entamoeba
histolytica), Enterobius vermicularis
dan Hymenolepis nana. Autoinfeksi
terjadi pada reinfeksi oleh Strongyloides
stercoralis. (Natadisastra, 2009)
3. Cara Masuk Parasit
Parasit masuk ke dalam tubuh manusia
dengan berbagai jalan/tempat masuk, diantaranya melalui mulut, menembus kulit,
gigitan arthopoda (arthopoda berperan sebagai ektoparasit atau vektor bagi
cacing ataupun protozoa) atau melalui inhlasi. Cara lain walaupun jarang dengan
menembus plasenta/transplansentral/kongenital, hubungan seksual, jarum suntik,
transfusi darah atau melalui transplantasi jaringan.
Parasit usus biasanya masuk melalui
mulut, anatara lain pada protozoa usus, untuk dapat berlangsungnya kehidupan
parasit, masuknya melalui stadium kista seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris
trichiura, Enterobius vermicularis
dan Hymenolepis nana ( semua melalui
stadium telur matang/mengandung embrio), Trischostronglyus
spp. sebagai larva infektif bebas, dan Trichinella
spiralis, Taenia solium, T. Saginata. Diphyllobothrium latum, trematoda usus serta trematoda paru-paru
semua melalui makanan yang mengandung stadium larva matang.
Beberapa nematoda penting lainnya,
yaitu cacing tambang (Ancylostoma
duodenale, Necator americanus),
dan Strongyloides stercoralis, secara
aktif larva yang berada di tanah akan menembus kulit. Hal serupa terjadi pula
pada trematoda darah (Schistosoma spp.),
stadium cercaria yang berada pada air tawar.
Banyak parasit harus mengalami
perkembangan di dalam tubuh arthopoda penghisap darah, masuk perkutan ketika
arthopoda tersebut menusuk kulit untuk makan. Parasit yang dimaksud antara lain
parasit malaria (Plasmodium sp.), Leishmania, Trypanosoma, filaria serta mikroorganisme lain, yaitu virus,
rickettsia, bakteri, dan spirochaeta.
Cara transmisi lainnya, meliputi :
inhalasi telur Enterobius vermicularis
(air borne) sampai di pharinx posterior, infeksi transplasenta (kongenital)
pada toxoplasma gondii kadang-kadang
parasit malaria, trematoda darah dan lainnya, infeksi transmammary(susu) oleh spesies Strongyloides
stercolaris, Ancylostoma duodenale
serta beberapa trematoda, melalui hubungan seksual pada Trichomonas vaginalis, melalui ransfusi darah serta transplantasi
jaringan antara lain Plasmodium sp, dari
ibu hamil ke janin melalui plasenta. (Muslim, 2009)
4. Siklus Hidup
Parasit dalam siklus hidupnya
terjadi beberapa tingkat perubahan bentuk (metamorfosis). Banyak parasit yang
memiliki daur hidup yang sederhana dan langsung, ialah stadium infektif
(misalnya kista spora atau larva motil) yang dilepaskan oleh hospes, langsung
diambil (sering kali dimakan) oleh hospes lain, kemudian parasit tumbuh dan
berkembang. Spesies parasit lain dapat memiliki siklus hidup yang rumit dan
tidak langsung, sering kali membutuhkan satu atau lebih tuan rumah perantara.
Pembiakan parasit dilakukan secara
seksual atupun aseksual tergantung spesies parasit, bahkan ada pula parasit
yang berkembang biak secara seksual dan aseksual secara bergantian. Pembiakan
seksual terjadi jika parasit tersebut mengadakan pembiakan melalui jenis
kelamin jantan dan betina, sedangkan pembiakan aseksual tidak melalui alat
kelamin, misalnya dengan cara pembelahan, terutama parasit protozoa.
Parasit bersifat hemafrodit jika
jenis kelamin jantan maupun betina terdapat pada satu individu. Hal ini
ditemukan misalnya pada parasi cacing terutama dari kelas Trematoda (cacing
daun) dan Cestoida (cacing pita).
Untuk menjalankan siklus hidupnya,
parasit tidak hanya selalu membutuhkan satu tuan rumah. Untuk ini dikenal
adanya tuan rumah definitif (hospes terminal/akhir) dan tuan rumah perantara (intermediate host). Tempat hidup parasit
dewasa adalah tuan rumah definitif sedangkan tempat hidup stadium lainnya
(persiapan parasit untuk menjadi dewasa) disebut tuan rumah perantara. Khusus
untuk kelompok protozoa yang dimaksud dengan tuan rumah definitif, yaitu pada
tuan rumah tersebut terjadi pembiakan secara seksual. Misalnya Plasmodium sp betina karena pembiakan
seksual terjadi dalam tubuh Anophelses sp.
Tersebut.
Pada Ascaris lumbricoides dan Trichuris
trichiura hanya membutuhkan satu tuan rumah sehingga siklus hidupnya
disebut siklus hidup langsung.
Perkembangan parasit dalam tubuh
manusia dikenal adanya masa tunas biologi/masa tunas prepaten serta masa tunas
klinis. Masa tunas biologi yaitu waktu yang dibutuhkan parasit, sejak parasit
masuk ke dalam tubuh sampai berkembang biak dan salah satu stadium parasit
ditemukan pada pemeriksaan laboratorium ( dari tinja atau darah), sedangkan
masa tunas klinik yaitu waktu yang dibutuhkan sejak parasit masuk sampai
munculnya gejala awal penyakit. Biasanya
masa tunas biologi lebih singkat waktunya dibandingkan dengan masa tunas
klinik. Parasit baru akan dapat dilihat dan ditemukan dalam bahan pemeriksaan,
jika jumlah parasit telah melewati nilai ambnag mikroskopik. (Natadisastra, 2009)
5. Epidemiologi dan Distribusi Geografik
Penyebaran parasit tergantung
beberapa faktor, diantranya adanya sumber infeksi (penderita ataupun hospes
reservoir), keadaan lingkungan (iklim, curah hujan, suhu, kelembapan, sinar
matahari sanitasi dll, tersedianya vektor (bagi parasit yang membutuhkan vektor
), keadaan penduduk (padat/jarang, kebiasaan, pendidikan, sosial ekonomi dan
sebagainya). Distribusi geografik ini dapat bersifat kosmopolis (tersebar
seluruh dunia), regional, atau lokal.
Daerah tropik merupakan tempat hidup
yang baik bagi tumbuh dan berkembangnya parasit. Hal ini didukung oleh berbagai
faktor, antara lain penduduk padat, sosial ekonomi rendah, pendidikan kesehatan
kurang baik khususnya sanitasi lingkungaan serta kebiasaan masyarakat yang
kurang baik terutama dalam hal pembuangan sampah, tinja, kebiasaan penggunaan
air untuk minum dan cuci makanan dan sebagainya. Penyakit parasit akan lebih
susah dicegah dan diberantas jika parasit tersebut memiliki hospes reservoir yang
terdapat di sekeliling penduduk.
Dalam epidemiologi suatu pnyakit
parasit perlu diketahui mengenai endemi, yaitu penyakit normal yang terdapat
pada suatu daerah geografik tertentu. Endemi ini sering terjadi pada penyakit
oleh parasit. Biasanya penyakit parasit
bersifat endemik pada suatu daerah dalam waktu yang lama. (Soedarto, Buku
Ajar Parasitologi Kedokteran , 2011)
6. Diagnosis
Manifestasi klinis parasit sering
kali bersifat dengan gejala dan keluhan penderita hampir sama satu dengan yang
lainnya. Misalnya, berbagai infeksi cacing usus menunjukkan gejala dan keluhan
sama dan tidak spesifik sehingga sukar diketahui parasit penyebabnya. Oleh
karena itu untuk diagnosis diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk mencari
salah satu stadium parasit, seperti pemeriksaan tinja secara langsung,
konsentrasi ataupun biakan, pemeriksaan usapan anus, biopsi, autopsi,
pemeriksaan darah, urine atau sputum serta reaksi imunologis (imunodiagnosis).
Bahan pemeriksaan ditentukan dengan
melihat siklus hidup parasit tersebut. Pada parasit yang hidup di usus, diambil
bahan pemeriksaan tinja, sedangkan yang hidup dalam darah, bahan pemeriksaanya
darah perifer dan sebagainya. (Soedarto,
Pengobatan Penyakit Parasit, 2009)
Penyakit parasitik umumnya bersifat
menahun dan jarang menimbulkan kematian mendadak. Kekurangan gizi dan anemia
merupakan akibat yang sering dialami oleh penderita. Diare yang disebabkan oleh
berbagai macam penyakit parasit kerapkali lebih memperberat kurang gizi
sehingga menimbulkan manifestasi malnutrition yang berat. Infeksi cacing
tambang yang berat dapat menimbulkan anemia berat yang menyebabkan turunnya
produktivitas kerja orang dewasa dan remaja. Ibu hamil dapat mengalami gangguan
kehamilan dan proses persalinannya, misalnya terjadinya abortus dan bayi lahir
prematur. Anak-anak penderita anemia menahun atau kurang gizi dapat mengalami
gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan mentalnya
7. Pengobatan
Pengobatan terhadap infeksi parasit
dapat berupa pengobatan masal atau perorangan. Diagnosisny yang tepat
dikarenakan obat-obat harus sesuai dengan penyebabnya. Pada pengobatan penyakit
parasit harus juga diperhatikan beberapa hal anatara lain obat-obat berupa obat
kemoterapi dengan efek letal terhadap parasit, efek samping minimal pada
hospes, memperbaiki keadaan umum dan daya tahan penderita. Agar pengobatan
berhasil dengan baik, sangat penting pengobatan penyakit parasit disertai
dengan perbaikan sanitasi lingkungan. (Soedarto,
Pengobatan Penyakit Parasit, 2009)
8. Pencegahan dan Pemberantasan
Pada siklus hidup parasit, ada
saat-saat kehidupan parasit ini kritis, karena parasit harus menghadapi keadaaan
lingkungan yang mengancam kelangsungan hidupnya. Stadium parasit demikian ini
dapat dimanfaatkan dalam pemberantasan penyakit parasit tersebut. Pada prinsipnya
pemberantasan penyakit parasit ditujukan untuk memutuskan mata rantai dari
siklus hidup parasit tersebut. Sehubungan parasit ini tersebar luas terutama di
daerah tropis dengan banyak faktor yang membantu penyebarannya, sangat sulit
untuk dapat memberantas penyakit parasit ini. Untuk memberantas penyakit parasit
ini dilakukan upaya-upaya pencegahan.
Pencegahan infeksi parasit dapat
dilakukan dengan cara mengurangi sumber infeksi dengan mengobati penderita,
berikut ini bentuk pencegahannya:
1. Mengurangi
sumber infeksi dengan mengobati penderita
2. Melakukan
penyuluhan kesehatan dan menghindari kontak dengan parasit untuk tujuan
mencegah penyebaran penyakit parasit
3. Melakukan
pengawasan dan menjaga kebersihan air, makanan, lingkungan dan pembuangan
sampah dengan cara yang baik
4. Memberantas
vektor penular penyakit
5. Mengendalikam
hewan-hewan yang menjadi hospes cadangan (reservoir host)
6. Meningkatkan
daya tahan tubuh penderita (Natadisastra, 2009)
B. Malaria pada Kehamilan
1. Definisi Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi
menular yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles dengan gambaran penyakit
berupa demam yang sering periodik, anemia, pembesaran limpa dan berbagai
kumpulan gejala oleh karena pengaruhnya pada beberapa organ misalnya otak, hati
dan ginjal.
Malaria merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok
risiko tinggi salah satu nya ibu hamil, selain itu malaria secara langsung
menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja. (Muslim, 2009)
2. Etiologi Malaria
Etiologi penyakit malaria adalah
parasit malaria, suatu protozoa dari genus Plasmodium.
Sampai saat ini di Indonesia dikenal 4 jenis spesies plasmodium penyebab malaria pada manusia, yaitu :
1. Plasmodium falciparum, penyebab malaria
tropika yang sering menyebabkan malaria yang berat (malaria serebral dengan
kematian)
2. Plasmodium vivax, penyebab malaria
tertiana
3. Plasmodium malariae, penyebab malaria
quartana
4. Plasmodium ovale, menyebabkan malaria
ovale tetapi jenis ini jarang dijumpai. (Mandal, 2006)
3. Gejala Penyakit malaria
Gejala malaria mirip dengan gejala
flu biasa. Penderita mengalami menggigil, nyeri otot persendian dan sakit kepala.
Penderita mengalami mual, muntah, batuk, diare. Gejala khas malaria adalah
adanya siklus menggigil, demam, dan berkeringat yang terjadi berulang-ulang.
Pengulangan bisa berlangsung tiap hari, dua hari sekali atau tiga hari sekali
tergantung jenis malaria yang menginfeksi. Gejala lain warna kuning pada kulit
akibat rusaknya sel darah merah dan sel hati. Infeksi awal malaria umum nya
memiliki tanda dan gejala seperti menggigil, demam tinggi, berkeringat secara
berlebihan seiring menurunnya suhu tubuh, mengalami ketidak nyamanan dan
kegelisahan.
(Situasi Malaria di Indonesia, 2014)
4. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Terjadinya Malaria
Lingkungan
fisik Lingkungan fisik yang berhubungan dengan perkembangbiakan nyamuk, yaitu:
a. Suhu udara
Suhu udara sangat dipengaruhi
panjang pendeknya siklus sporogoni atau masa inkubasi ekstrinsik. Suhu yang
hangat membuat nyamuk mudah untuk berkembang biak dan agresif mengisap darah.
b. Kelembaban
udara (relative humidity).
Kelembaban udara yang rendah akan memperpendek
usia nyamuk, meskipun tidak berpengaruh pada parasit.
c. Hujan
Hujan berhubungan dengan
perkembangan larva nyamuk menjadi bentuk dewasa.
d. Ketinggian
Secara umum malaria berkurang pada
ketinggian yang semakin bertambah, hal ini berkaitan dengan menurunnya suhu
ratarata.
e. Angin
Kecepatan angin pada saat matahari
terbit dan terbenam merupakan saat terbang nyamuk ke dalam atau keluar rumah
dan salah satu faktor yang ikut menentukan jumlah kontak antara manusia dan
nyamuk adalah jarak terbang nyamuk (flight
range) tidak lebih dari 0,5-3 km dari tempat perindukannya, jika ada tiupan
angin yang kencang, bisa terbawa sejauh 20-30 km.
f. Sinar
matahari
Pengaruh sinar matahari terhadap
pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. Anopheles
sundaicus lebih suka tempat yang terkena sinar matahari langsung, Anopheles hyrcanus spp dan Anopheles pinctutatus spp lebih menyukai
tempat terbuka, sedangkan Anopheles
barbirostris dapat hidup baik di tempat teduh maupun kena sinar matahari.
g. Arus air
Anopheles
barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis/mengalir lambat,
sedangkan Anopheles minimus menyukai
aliran air yang deras dan Anopheles
latifer menyukai air tergenang.
h. Lingkungan
kimia
Lingkungan kimia, seperti kadar
garam pada suatu tempat perindukan nyamuk, seperti diketahui nyamuk An. sundaicus tumbuh optimal pada air
payau yang kadar garamnya berkisar antara 12-18‰ dan tidak dapat berkembangbiak
pada kadar garam 40‰ ke atas. An. latifer
dapat hidup ditempat yang asam/ pH rendah. Ketika kemarau datang luas laguna
menjadi mengecil dan sebagian menjadi rawa-rawa yang ditumbuhi ilalang,
lumut-lumut seperti kapas berwarna hijau bermunculan. Pada saat seperti inilah
kadar garam air payau meninggi dan menjadi habitat yang subur bagi jentik-jentik
nyamuk.
i. Lingkungan
biologi
Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan
berbagai jenis tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva karena dapat
menghalangi sinar matahari yang masuk atau melindungi serangan dari makhluk
hidup lain. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah,
gambus, nila, mujair dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk di suatu
wilayah. Selain itu juga adanya ternak besar seperti sapi dan kerbau dapat
mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila kandang hewan tersebut
diletakkan di luar rumah.
j. Lingkungan
sosial budaya
Sosial budaya (culture) juga
berpengaruh terhadap kejadian malaria seperti: kebiasaan keluar rumah sampai
larut malam, dimana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan mempermudah
kontak dengan nyamuk. Tingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan
mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria, seperti penyehatan
lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa pada ventilasi rumah dan
menggunakan obat nyamuk. Faktor sosio-budaya ini merupakan faktor eksternal
untuk membentuk perilaku manusia. Lingkungan sosial budaya ini erat kaitannya
dengan kejadian suatu penyakit termasuk malaria. (Mandal, 2006)
5. Cara Penularan Malaria
Cara
penularan penyakit malaria dapat di bedakan menjadi dua macam yaitu :
a. Penularan secara alamiah (natural infection)
Malaria ditularkan oleh nyamuk anopheles. Nyamuk ini jumlahnya kurang
lebih ada 80 jenis dan dari 80 jenis itu, hanya kurang lebih 16 jenis yang menjadi
vector penyebar malaria di Indonesia. Penularan secara alamiah terjadi melalui
gigitan nyamuk anopheles betina yang
telah terinfeksi oleh plasmodium.
Sebagian besar spesies menggigit pada senja dan menjelang malam hari. Beberapa
vector mempunyai waktu puncak menggigit pada tengah malam dan menjelang pajar.
Pada saat menggigit manusia, parasit malaria yang ada dalam tubuh nyamuk masuk
ke dalam darah manusia sehingga manusia tersebut terinfeksi lalu menjadi sakit.
b . Penularan
tidak alamiah (not natural infection)
1) Malaria
bawaan.
Terjadi pada
bayi yang baru lahir karena ibunya menderita malaria. Penularannya terjadi
melalui tali pusat atau plasenta (transplasental)
2) Secara
mekanik.
Penularan
terjadi melalui transfusi darah melalui jarum suntik.
3) Secara oral.
Cara penularan
ini pernah dibuktikan pada burung (P.gallinasium),
burung dara (P.relection) dan monyet
(P.knowlesi).
Manifestasi klinik malaria dalam kehamilan berbeda antara daerah dengan
transmisi rendah dengan transmisi tinggi karena berbedanya tingkat
imunitas. Pada daerah endemik, imunitas yang didapat tinggi sehingga
mortalitas jarang terjadi, sering asimtomatik dan juga jarang terjadi
parasitemia. Sekuestrasi plasmodium di plasenta dan terjadi plasenta
malaria, sedangkan hasil pemeriksaan plasmodium di darah tepi seringkali
negatif. Parasitemia yang berat terjadi terutama pada trimester 2
dan 3, anemia dan gangguan integritas plasenta meyebabkan berkurangnya hantaran
nutrisi ke janin sehingga menyebabkan berat lahir rendah, abortus, kematian
janin dalam rahim, persalinan prematur dan semakin meningkatnya morbiditas dan
mortalitas pada janin. Masalah ini lebih sering terjadi pada kehamilan
pertama dan kedua karena kadar parasitemia akan menurun pada kehamilan berikutnya. Strategi
penanganan malaria pada ibu hamil di area dengan transmisi tinggi adalah terapi
intermiten dan pemakaian kelambu berinsektisida.
Di
daerah dengan transmisi rendah, masalahnya sangat berbeda. Risiko
malaria dalam kehamilan lebih tinggi dan dapat menyebabkan kematian maternal
serta abortus spontan pada >60% kasus. Berat lahir
rendah dapat terjadi walaupun telah diterapi; namun malaria yang asimtomatik
jarang terjadi. Strategi penanganannya adalah pencegahan dengan
kemoprofilaksis, deteksi dini dan pengobatan yang adekuat. (Suparman, 2005)
6. Komplikasi
Malaria
dalam Kehamilan
a. Anemia
Malaria
dapat menyebabkan atau memperburuk anemia. Hal
ini disebabkan:
1) Hemolisis
eritrosit yang diserang parasit
2) Peningkatan
kebutuhan Fe selama hamil
3) Hemolisis
berat dapat menyebabkan defisiensi asam folat.
Anemia yang disebabkan oleh malaria
lebih sering dan lebih berat antara usia kehamilan 16-29
minggu. Adanya defisiensi asam folat sebelumnya dapat memperberat
anemia ini. Anemia meningkatkan kematian perinatal dan morbiditas
serta mortalitas maternal. Kelainan ini meningkatkan risiko
edema paru dan perdarahan pasca salin.
b. Edema paru akut
Edema
paru akut adalah komplikasi malaria yang lebih sering terjadi pada wanita hamil
daripada wanita tidak hamil. Keadaan ini bisa ditemukan saat pasien
datang atau baru terjadi setelah beberapa hari dalam
perawatan. Kejadiannya lebih sering pada trimester 2 dan
3.
Edema
paru akut bertambah berat karena adanya anemia sebelumnya dan adanya perubahan
hemodinamik dalam kehamilan. Kelainan ini sangat meningkatkan risiko
mortalitas.
c. Hipoglikemia
Keadaan
ini juga merupakan komplikasi yang cukup sering terjadi dalam
kehamilan. Faktor-faktor yang mendukung terjadinya hipoglikemia
adalah sebagai berikut:
1) Meningkatnya
kebutuhan glukosa karena keadaan hiperkatabolik dan infeksi parasit
2) Sebagai
respon terhadap starvasi/kelaparan
3) Peningkatkan
respon pulau-pulau pankreas terhadap stimulus sekresi (misalnya guinine)
menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia dan hipoglikemia.
Hipoglikemia pada pasien-pasien
malaria tersebut dapat tetap asimtomatik dan dapat luput terdeteksi karena
gejala-gejala hipoglikemia juga menyerupai gejala infeksi malaria, yaitu:
takikardia, berkeringat, menggigil dll. Akan tetapi sebagian pasien
dapat menunjukkan tingkah laku yang abnormal, kejang, penurunan kesadaran,
pingsan dan lain-lain yang hampir menyerupai gejala malaria serebral. Oleh
karena itu semua wanita hamil yang terinfeksi malaria falciparum, khususnya
yang mendapat terapi quinine harus dimonitor kadar gula darahnya setiap 4-6 jam
sekali. Hipoglikemia juga bisa rekuren sehingga monitor kadar gula
darah harus konstan dilakukan.
Kadang-kadang
hipoglikemia dapat berhubungan dengan laktat asidosis dan pada
keadaan seperti ini risiko mortalitas akan sangat
meningkat. Hipoglikemia maternal juga dapat menyebabkan gawat janin
tanpa ada tanda-tanda yang spesifik.
d. Imunosupresi
Imunosupresi
dalam kehamilan menyebabkan infeksi malaria yang terjadi menjadi lebih sering
dan lebih berat. Lebih buruk lagi, infeksi malaria sendiri dapat
menekan respon imun.
Perubahan
hormonal selama kehamilan menurunkan sintesis imunoglobulin. Penurunan
fungsi sistem retikuloendotelial adalah penyebab imunosupresi dalam
kehamilan. Hal ini menyebabkan hilangnya imunitas didapat terhadap
malaria sehingga ibu hamil lebih rentan terinfeksi
malaria. Infeksi malaria yang diderita lebih berat dengan
parasitemia yang tinggi. Pasien juga lebih sering mengalami demam
paroksismal dan relaps.
Infeksi
sekunder (Infeksi saluran kencing dan pneumonia) dan pneumonia algid (syok
septikemia) juga lebih sering terjadi dalam kehamilan karena imunosupresi ini. (Suparman, 2005)
7. Risiko
Terhadap Janin
Malaria
dalam kehamilan adalah masalah bagi janin. Tingginya demam,
insufisiensi plasenta, hipoglikemia, anemia dan komplikasi-komplikasi lain
dapat menimbulkan efek buruk terhadap janin. Baik malaria P.
vivax dan P. falciparum dapat menimbulkan masalah
bagi janin. Akibatnya
dapat terjadi abortus spontan, persalinan prematur, kematian janin dalam rahim,
insufisiensi plasenta, gangguan pertumbuhan janin (kronik/temporer), berat
badan lahir rendah dan gawat janin. Selain itu penyebaran infeksi
secara transplasental ke janin dapat menyebabkan malaria kongenital. (Suparman, 2005)
8. Malaria
kongenital
Malaria
kongenital sangat jarang terjadi, diperkirakan timbul pada <5%
kehamilan. Barier plasenta dan antibodi Ig G maternal yang menembus
plasenta dapat melindungi janin dari keadaan ini. Akan tetapi pada
populasi non imun dapat terjadi malaria kongenital, khususnya pada keadaan
epidemi malaria. Kadar quinine plasma janin dan klorokuin sekitar
l/3 dari kadarnya dalam plasma ibu sehingga kadar subterapeutik ini tidak dapat
menyembuhkan infeksi pada janin. Keempat spesies plasmodium dapat
menyebabkan malaria kongenital, tetapi yang lebih sering adalah P. malariae. Neonatus
dapat menunjukan adanya demam, iritabilitas, masalah minum, hepatosplenomegali,
anemia, ikterus dll. Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan
apus darah tebal dari darah umbilikus atau tusukan di tumit, kapan saja dalam
satu minggu pascanatal. Diferensial diagnosisnya adalah inkompatibilitas
Rh, infeksi CMV, Herpes, Rubella, Toksoplasmosis dan sifilis. (Suparman, 2005)
6. Pencegahan Penyakit Malaria
Pencegahan penyakit malaria secara
garis besar dapat dikelompokkan menjadi beberapa kegiatan :
a. Pencegahan
terhadap parasit yaitu dengan pengobatan profilaksis atau pengobatan pencegahan
yaitu orang yang akan bepergian ke daerah-daerah endemis malaria harus minum
obat anti malaria sekurang-kurangnya seminggu sebelum keberangkatan sampai
empat minggu setelah orang tersebut meninggalkan daerah endemis malaria.
1) Wanita hamil
yang akan bepergian ke daerah endemis malaria diperingatkan tentang risiko yang
mengancam kehamilannya. Sebelum bepergian, ibu hamil disarankan untuk
berkonsultasi ke klinik atau Rumah Sakit dan mendapatkan obat anti malaria.
2) Bayi dan anak-anak berusia di bawah empat
tahun dan hidup di daerah endemis malaria harus mendapat obat anti malaria
karena tingkat kematian bayi/anak akibat infeksi malaria cukup tinggi.
b. Pencegahan
terhadap vector atau gigitan nyamuk
Pencegahan terhadap vector atau
gigitan nyamuk dengan melakukan pendidikan kesehatan masyarakat untuk
merubah perilaku yang belum sehat
menjadi perilaku sehat contohnya menjaga kebersihan lingkungan seperti:
•
tidak buang sampah sembarangan
•
menguras bak mandi dan menaburkan bubuk abate
•
menutup
tempat penampungan air
•
melakukan pengasapan/ fogging untuk memberantas nyamuk penyebab malaria.
Daerah yang jumlah penderitanya
sangat banyak, tindakan untuk menghindari gigitan nyamuk sangat penting. Maka
dari itu disarankan untuk memakai baju lengan panjang dan celana panjang saat
keluar rumah terutama pada malam hari, memasang kawat kasa di jendela dan
ventilasi rumah, serta menggunakan kelambu saat tidur. Masyarakat juga dapat
memakai minyak anti nyamuk saat tidur dimalam hari untuk mencegah gigitan
nyamuk malaria, karena biasanya vector malaria menggigit pada malam hari. (Mandal, 2006)
7. Pengobatan Malaria
a. Pengobatan
malaria klinis
Pengobatan yang diberikan
berdasarkan gejala klinis dan ditujukan untuk menekan gejala klinis malaria
serta membunuh gamet untuk mencegah terjadinya penularan. Obat yang sering
digunakan yaitu kina, klorokuin, hidroksiklorokuin, dan amodiakuin yang
semuanya efektif apabila parasit masuk ke eritrosit melalui hati dan mulai dengan
siklus eritrositik.
b. Pengobatan
radikal
Pengobatan yang diberikan kepada
penderita malaria dengan pemeriksaan laboratorium positif malaria. Pengobatan
ini bertujuan untuk mencegah timbulnya kambuh. WHO merekomendasikan pengobatan malaria secara
global dengan penggunaan regimen obat ACT (Artemisinin Combination Therapy).
Komisi ahli malaria dari Depkes RI sejak tahun 2004 sepakat dan menyetujui
penggunaan obat ACT sebagai obat lini I di seluruh Indonesia. (Suparman,
2005)
C. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)
1. Definisi
Soil
Transmitted Helminths (STH) adalah suatu
kelompok parasit nematoda yang menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak
dengan telur parasit atau larva yang berkembang di dalam tanah yang hangat dan
lembab pada negara-negara tropis dan subtropis di dunia.
STH yang paling sering ditemui meliputi
Ascaris lumbricoides (cacing gelang
atau roundworm), Trichuris trichiura
(cacing cambuk atau whipworm), Necator
americanus, dan Ancylostoma duodenale
(cacing tambang atau hookworm)
Infeksi STH pada manusia dapat
menyebabkan gangguan pada jaringan dan organ tubuh, di mana parasit tersebut
hidup dan mengambil nutrisi dari dalam tubuh manusia. Pada keadaan kronis,
infeksi STH mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan
intelektual anak-anak. Selain itu, infeksi STH juga diperkirakan berdampak
negatif terhadap kemampuan kognitif, mempengaruhi prestasi belajar di sekolah,
di mana akan mempengaruhi produktivitas ekonomi masa depan. (Natadisastra, 2009)
2. Morfologi dan Siklus Hidup
a. Ascaris lumbricoides
Ascaris
lumbricoides berbentuk giling (silindris) memanjang, berwarna krem / merah
muda keputihan, panjangnya dapat mencapai 40 cm. Jangka hidup (life span)
cacing dewasa adalah 10-12 bulan. Ukuran cacing betina 20-35 cm dengan diameter
3-6 mm. Sedangkan ukuran cacing jantan 15-31cm dengan diameter 2-4 mm. Mulut Ascaris lumbricoides memiliki tiga
tonjolan bibir berbentuk segitiga, antara lain satu tonjolan di bagian dorsal
dan dua tonjolan di ventrolateral. Pada bagian tengah mulut terdapat rongga
mulut (buccal cavity)
Infeksi pada manusia terjadi karena
menelan telur matang dari tanah yang terkontaminasi. Telur yang tertelan akan
menetas di duodenum, kemudian secara aktif menembus dinding usus dan via
sirkulasi portal menuju jantung kanan. Kemudian larvanya masuk ke dalam
sirkulasi pulmonal dan tersaring kapiler. Setelah kira-kira 10 hari di
paru-paru, larva menempus kapiler dan masuk ke alveoli, melalui bronchi
bermigrasi sampai trakea dan faring, lalu tertelan. Cacing akan menjadi matur
dan kawin di dalam usus dan memproduksi telur yang akan keluar bersama tinja.
Siklus ini membutuhkan waktu 8-12 minggu mencapai 27.000.000 telur.
Pada tinja penderita askariasis yang
membuang air tidak pada tempatnya dapat mengandung telur askariasis yang telah
dubuahi. Telur ini akan matang dalam waktu 21 hari. bila terdapat orang lain
yang memegang tanah yang telah tercemar telur Ascaris dan tidak mencuci tangannya, kemudian tanpa sengaja makan
dan menelan telur Ascaris.
Telur akan masuk ke saluran
pencernaan dan telur akan menjadi larva pada usus. Larva akan menembus usus dan
masuk ke pembuluh darah. Ia akan beredar mengikuti sistem peredaran, yakni
hati, jantung dan kemudian di paru-paru.
Pada paru-paru, cacing akan merusak
alveolus, masuk ke bronkiolus, bronkus, trakea, kemudian di laring. Ia akan
tertelan kembali masuk ke saluran cerna. Setibanya di usus, larva akan menjadi
cacing dewasa.
Cacing akan menetap di usus dan
kemudian berkopulasi dan bertelur. Telur ini pada akhirnya akan keluar kembali
bersama tinja. Siklus pun akan terulang kembali bila penderita baru ini
membuang tinjanya tidak pada tempatnya. (Mandal, 2006)
b. Trichuris trichiura
Cacing ini mendapat sebutan sebagai cacing cambuk karena
bentuknya yang menyerupai cambuk. Cacing jantan Trichuris trichiura panjangnya 30 sampai 45 mm, bagian anterior halus seperti
cambuk, bagian ekor melingkar, cacing betina panjangnya 35 sampai 50 mm, bagian
anterior halus seperti cambuk, bagian ekor lurus berujung tumpul. Telur T.
trichiura berukuran lebih kurang 50 x 22 mikron, bentuk seperti tempayan dengan kedua ujung menonjol,
berdinding tebal dan berisi ovum kemudian berkembang menjadi larva setelah 10
sampai 14 hari (Pasaribu dan Lubis, 2008). Bagian ‘cambuk’ Trichuris trichiura terlihat sepanjang
3/5 dari panjang tubuh seluruhnya. Bagian posterior cacing ini lebih gemuk.
Trikuriasis merupakan penyakit yang
dapat terjadi jika manusia menelan telur cacing Trichuris trichiura.
Misalnya melalui makanan yang terkontaminasi telur cacing (tidak dicuci dengan
bersih atau dimasak kurang matang). Di dalam duodenum
(bagian dari usus halus) larva akan menetas, menembus dan berkembang di mukosa
usus halus dan menjadi dewasa di sekum, akhirnya melekat pada mukosa
usus besar. Siklus ini berlangsung selama lebih
kurang 3 bulan; cacing dewasa akan hidup selama 1 sampai 5 tahun dan cacing
betina dewasa akan menghasilkan 3.000 sampai 20.000 telur setiap harinya.
Telur yang telah dibuahi kemudian akan dikeluarkan dari
tubuh manusia atau hospes bersama dengan tinja. Telur
tersebut akan matang dalam waktu 3 sampai 6 minggu pada lingkungan yang sesuai,
yaitu
pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Telur
matang adalah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif dari Trichuris trichiura. Masa pertumbuhan
mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina meletakkan telur
kurang lebih selama 30 sampai 90 hari.
Hospes definitive cacing ini adalah manusia dan T.trichiura tidak membutuhkan hospes intermediet. Telur
yang dihasilkan tidak akan berkembang bila berada di lingkungan yang terpapar
sinar matahari secara langsung dan akan mati bila berada pada suhu dibawah -9oC
atau diatas 52oC. Cacing dewasa umumnya bisa ditemukan pada epitel
sekum atau kolon. Namun, pada infeksi berat cacing
dewasa juga bisa ditemukan pada apendiks, rektum, atau bagian distal ileum. (Suriptiastuti, 2006)
c. Ancylostoma
Duodenale dan Necator Americanus (Cacing Tambang)
Hospes parasit ini adalah manusia,
Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya melekat pada mucosa
usus. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina
mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa
berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi
Daur hidup cacing tambang adalah
sebagai berikut, telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari
dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu
sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit
dan dapat 13 bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, larva
ikut aliran darah ke jantung terus ke paruparu. Di paru-paru menembus pembuluh
darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut
tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi
terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama
makanan. (Suriptiastuti, 2006)
3. Diagnosis
Infeksi STH seringkali tidak
menimbulkan keluhan dan gejala yang spesifik, dengan demikian para dokter harus
melakukan pemeriksaan feses. Cara Kato-Katz fecal-thick smear dan McMaster
digunakan untuk mengukur intensitas dari infeksi dengan memperkirakan jumlah
telur per gram tinja. Ultrasonografi dan endoskopi bermanfaat untuk diagnosis
dari komplikasi ascariasis termasuk
obstruksi usus dan saluran hepatobiliar serta pankreas.
a. Gejala klinis
askariasis
Diklasifikasikan menjadi gejala akut
yang berhubungan dengan migrasi larva melalui kulit dan viseral, serta gejala
akut dan kronik yang disebabkan oleh infeksi parasit di saluran pencernaan oleh
cacing dewasa. Gejala klinis oleh larva Ascaris
lumbricoides biasanya terjadi pada saat di paru. Pada orang yang rentan,
terjadi pendarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang
disertai batuk, demam, dan eosinofilia. Di paru, antigen larva askariasis
menyebabkan respon inflamasi sehingga terbentuk infiltrat eosinofilik yang
dapat dilihat pada pemeriksaan foto toraks. Infiltrat tersebut menghilang dalam
waktu tiga minggu. Keadaan tersebut disebut dengan sindrom Loeffler.
Gejala klinis oleh cacing dewasa
tergantung pada jumlah cacing, dan keadaan gizi penderita. Umumnya, hanya
infeksi dengan intensitas yang sedang dan berat pada saluran pencernaan dapat
menimbulkan gejala klinis. Cacing dewasa Ascaris
lumbricoides yang terdapat dalam jumlah banyak pada usus halus dapat
menyebabkan distensi abdomen dan nyeri abdomen. Keadaan ini juga dapat
menyebabkan intoleransi laktosa serta malabsorpsi vitamin A dan bahan nutrisi
lainnya, di mana dapat mengakibatkan kekurangan gizi dan gangguan pertumbuhan. Berbeda
dengan obstruksi usus, Askariasis
hepatobilier dan pankreas lebih sering dijumpai pada orang dewasa, terutama
wanita, daripada anak-anak. Hal ini mungkin disebabkan ukuran percabangan
duktus bilier (biliary tree) orang
dewasa cukup besar untuk dilewati oleh cacing dewasa. (Soedarto, Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran , 2011)
b. Gejala Klinis
Trikuriasis
Banyak penderita trikuriasis tidak
memiliki gejala dan hanya didapati keadaan eosinofilia pada pemeriksaan darah
tepi . Pada trikuriasis, inflamasi pada tempat perlekatan cacing dewasa dalam
jumlah besar dapat menyebabkan kolitis.
Pada infeksi ringan, trikuriasis umumnya tidak menunjukkan gejala. Pada
infeksi sedang, dimana terdapat sekitar 20 cacing dewasa dalam tubuh, akan
terlihat gejala nyeri perut, diare (jarang terdapat darah), muntah, kembung,
kehilangan berat badan, serta anemia dan defesiensi zat besi. Pada infeksi berat
trikuriasis dapat ditemukan sekitar 200 cacing dewasa di dalam tubuh. Gejala
klinis yang tampak adalah diare yang disertai darah, nyeri perut, tenesmus,
anemia berat, prolapsus rekti, dan eosinofilia derajat sedang.
Infeksi
berat pada anak-anak dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan rendahnya
kesehatan fisik serta status nutrisi. Infeksi trikuriasis berat pada anak-anak
akan memperlihatkan persebaran cacing di seluruh kolon dan rektum. Infeksi
berat T. trichiura juga sering
disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa.
Trikuriasis
dapat didiagnosis ketika ditemukannya telur T. trichiura pada pemeriksaan tinja. Data yang didapat dari hasil
pemeriksaan tinja adalah jumlah telur yang dinyatakan dalam satuan telur per
gram (eggs per gram).
Selain dengan pemeriksaan tinja, diagnosis T. trichiura dapat dilakukan dengan
teknik colonoscopy. Namun, colonoscopy merupakan teknik yang kurang
biasa digunakan. Colonoscopy biasanya
dilakukan untuk evaluasi jika muncul gejala gastrointestinal non-spesifik
seperti sakit perut, diare, dan anemia. Colonoscopy
dilakukan seperti pada endoskopi, yaitu melihat keadaan pada usus individu
dengan bantuan alat yang akan memvisualisasikan keadaan usus di dalam tubuh
individu. Jika terdapat infeksi, maka hasil colonoscopy
akan menunjukkan adanya cacing T.
trichiura yang menempel pada usus, seperti gambar berikut:
c. Gejala Klinis
Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus (Cacing Tambang) Dapat menimbulkan gejala akut yang
berhubungan dengan migrasi larva melalui kulit dan viseral, serta gejala akut
dan kronik yang disebabkan oleh infeksi parasit di saluran pencernaan oleh
cacing dewasa. Larva filariform (larva stadium tiga) yang menembus kulit dalam
jumlah yang banyak akan menyebabkan sindrom kutaneus berupa ground itch, yaitu
eritema dan papul lokal yang diikuti dengan pruritus pada tempat larva
melakukan penetrasi. Setelah melakukan invasi pada kulit, larva tersebut
bermigrasi ke paru-paru dan menyebabkan pneumonitis. Pneumonitis yang
disebabkan oleh infeksi larva cacing tambang tidak seberat pada infeksi larva Ascaris lumbricoides.
Manusia yang belum pernah terpapar
dapat mengalami nyeri epigastrik, diare, anoreksia, dan eosinofilia selama
30-45 hari setelah penetrasi larva yang mulai melekat pada mukosa usus halus. Infeksi
larva filariform Ancylostoma duodenale
secara oral dapat menyebabkan sindrom Wakana, yang ditandai dengan gejala mual,
muntah, iritasi faring, batuk, dispepsia, dan serak.
Gejala klinis yang disebabkan oleh
cacing tambang dewasa dihasilkan dari kehilangan darah sebagai akibat dari
invasi dan perlekatan cacing tambang dewasa pada mukosa dan submukosa usus
halus. Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita
(Fe dan protein).
4. Komplikasi STH
Cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,05-0,10
cc per hari, sedangkan Ancylostoma
duodenale 0,08-0,34 cc per hari. Penyakit yang disebabkan oleh cacing
tambang terjadi ketika darah yang hilang melebihi cadangan nutrisi hospes, dan
akan menyebabkan anemia defisiensi besi. Anemia yang disebabkan oleh cacing
tambang menyebabkan gambaran eritrosit mikrositik hipokromik dengan gejala
pucat, lemah, dipsnoe, terutama pada anak malanutrisi. Kehilangan protein yang
kronis dari infeksi berat cacing tambang dapat menyebabkan hipoproteinemia dan
edema anasarka. Infeksi sedang dan anemia dapat mengganggu fisik, kognitif, dan
intelektual pada anak yang sedang bertumbuh. Pada banyak kasus infeksi berat, anemia
yang disebabkan oleh cacing tambang dapat menyebabkan gagal jantung kongestif. (Muslim, 2009)
5. Pencegahan Penyakit
a. Promotion
Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik
dan tepat guna serta hygiene
keluarga dan hygiene pribadi seperti :
1) Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.
2) Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan,
tangan dicuci terlebih dahulu dengan menggunkan sabun dan air mengalir.
3) Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai
lalapan, hendaklah dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat.
4) Ajarkan masyarakat menggunakan fasilitas jamban yang memenuhi syarat
kesehatan.
5) Mengajarkan kepada masyarakat agar tidak membuang feses outdors.
6) Mengajarkan kepada masyarakat untuk tidak kontak langsung dengan tanah
tanpa menggunakan pelidung diri (sarung tangan) apalagi dengan tanah yang
terkontaminasi feses.
b. Specifik
Protection
1) Sediakan fasilitas yang cukup memadai untuk pembuangan kotoran yang
layak dan cegah kontaminasi tanah pada daerah yang berdekatan langsung dengan
rumah, terutama di tempat anak bermain.
2) Di daerah pedesaan, buatlah jamban umum yang konstruksinya sedemikian
rupa sehingga dapat mencegah penyebaran telur cacing melalui aliran air, angin,
dan lain-lain. Kompos yang dibuat dari kotoran manusia untuk digunakan sebagai
pupuk kemungkinan tidak membunuh semua telur.
3) Lakukan kegiatan pemberian obat cacing secara berkala di masyarakat
melalui unit pelayanan kesehatan dasar (PUSKESMAS).
4) Di daerah endemis, jaga agar makanan selalu di tutup supaya tidak
terkena debu dan kotoran. Makanan yang telah jatuh ke lantai jangan dimakan
kecuali telah dicuci atau dipanaskan.
5) Ketika bepergian ke negara yang sanitasi dan higienisnya jelek, hindari
makanan yang mungkin berkontaminasi dengan tanah.
c. Early Diagnosis and Promt Treatment
1) Melakukan pemerikasaan kesehatan secara berkala di unit pelayanan
kesehatan agar mengetahui kondisi kesehatan dan bisa mencegah terkena infeksi
cacing .
2) Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada untuk meningkatkan status
kesehatan. Bisa dengan berkonsultasi dengan tenaga kesehatan agar memperoleh
informasi tentang diagnosa penyakit dini.
d. Disabillity Limitation
Investigasi kontak dan
sumber infeksi : cari dan temukan penderita lain yang perlu diberikan
pengobatan. Perhatikan lingkungan yang tercemar yang menjadi sumber infeksi
terutama disekitar rumah penderita. Penderita penyakit askariasis tidak perlu
di isolasi ataupun di karantina karena tidak akan membahayakan orang lain dan
dirinya sendiri.
Untuk penaganan wabah di
daerah endemis tinggi cukup dengan pemberian penyuluhan tentang sanitasi
lingkungan dan higiene perseorangan yang baik serta pengobatan massal kepada
kelompok resiko tinggi. (Suriptiastuti, 2006)
6. Pengobatan
Pengobatan dapat
dilakukan secara perorangan atau masal pada masyarakat. Untuk perorangan dapat
diberikan piperasin dosis tunggal untuk dewasa 3-4gram, anak 25mg/kgBB;
pirantel pamoat dosis tunggal 10mg/kgBB; mebenzadol 2×100mg/hr selama 3hr atau
500mg dosis tunggal; albenzadol dosis tunggal 400mg.
WHO menyarankan strategi pemberantasan difokuskan pada penduduk dengan
resiko tinggi termasuk pengobatan pada masyarakat (juga terhadap Trichuris
trichura dan cacing tambang). Pengobatan dibedakan berdasarkan prevalensi dan
beratnya penyakit infeksi:
1) Pengobatan masal pada wanita (sekali setahun termasuk wanita hamil) dan
anak prasekolah usia diatas satu tahun (2 kali setahun). Pengobatan massal
untuk anak sekolah diberikan apabila lebih dari 10% menunjukkan adanya infeksi
berat (> 50.000) telur askariasis/gram tinja tanpa melihat angka
prevalensinya.
2) Pengobatan massal setahun sekali untuk risiko tinggi (termasuk wanita
hamil) apabila prevalensinya > 50% dan infeksi berat pada anak sekolah <
10%.
3) Pengobatan individual, apabila prevalensinya < 50% dan infeksi berat
pada anak sekolah < 10%. (Suriptiastuti,
2006)
No comments:
Post a Comment