Monday, March 26, 2018

Infeksi Parasit pada Kehamilan dan Nifas


BAB I
PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang

            Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah penting di negara berkembang. Lingkungan tempat tinggal yang tidak memadai, kumuh kepadatan penduduk tinggi, menjadi faktor risiko terjadinya penyakit infeksi. Faktor penyebab dari infeksi antara lain karena virus, bakteri, dan parasit. Infeksi yang disebabkan parasit ini juga masih sering terjadi di Indonesia. Hal ini dikarenakan banyak faktor yang menunjang untuk hidup dan berkembang nya parasit, antara lain kondisi alam dan lingkungan, iklim, suhu, kelembapan serta juga hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat seperti kurangnya pengetahuan, sosial ekonomi rendah yang akan berdampak menjadi keadaan sanitasi yang lingkungan kurang baik, kepadatan penduduk, kebersihan perorangan kurang baik serta kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik misalnya buang air besar di sembarangan tempat, penggunaan air yang kurang baik untuk mencuci alat makan maupun untuk diminm dll. Jenis Infeksi parasit yaitu malaria,filariasis dll. Saat ini malaria masih menjadi perhatian karena, dikarenakan masih menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB), berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi, dapat mengakibatkan kematian.
            Data dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menyebutkan bahwa  Insidensi malaria pada penduduk Indonesia adalah 1,9% menurun dibanding tahun 2007 (2,9 %). Prevalensi malaria tahun 2013 adalah 6,0 %.  (Riset Kesehatan Dasar, 2013)
            Provinsi Sumatera Barat mempunyai insidensi malaria yaitu 0,3 % dan prevalensinya yaitu  1,1 % pada tahun 2013. Untuk kota padang angka kesakitan malaria nya adalah 0,07 per 1.000 penduduk berisiko. Dapat dilihat bahwa kejadian infeksi parasit seperti malaria ini masih tinggi.  (Profil Kesehatan Kota Padang, 2014)
            Diperlukan upaya untuk menanggulanginya infeksi parasit ini. Upaya yang paling tepat untuk seorang bidan dalam membantu menurunkan kejadian infeksi parasit ini yaitu dengan cara meningkatkan pengetahuan tentang infeksi parasit seperti mengetahui penyebab atau sumber infeksinya, faktor risikonya, serta gejala penyakitnya, dan yang paling penting  menekankan pencegahan yang adekuat.

B. Tujuan

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang infeksi parasit

 

 

 

 

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


 A. Infeksi Parasit

1. Definisi Infeksi Parasit

            Sebelum membahas mengenai infeksi parasit, sebaiknya kita perlu mengetahui definisi infeksi secara umum. Infeksi merupakan proses invasi dan multiplikasi berbagai mikroorganisme ke dalam tubuh (seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit), yang saat dalam keadaan normal, mikroorganisme tersebut tidak terdapat di dalam tubuh. (Mandal, 2006)
            Parasit adalah organisme yang membutuhkan makhluk hidup lain sebagai sumber makanan sehingga dapat merugikan kehidupan bahkan dapat menimbulkan kematian induk semang (hospes) tempatnya menumpang hidup. Jadi infeksi parasit adalah proses invasi dan multiplikasi suatu parasit  ke dalam tubuh sehingga menimbulkan infeksi.  (Natadisastra, 2009)

2. Parasit dan Hospes

            Parasit merupakan mikroorganisme yang membutuhkan organisme atau host lainnya untuk bertahan. Beberapa parasit tidak mempengaruhi host yang ia tinggali, sedangkan beberapa lainnya mengalami pertumbuhan, reproduksi, dan bahkan mengeluarkan toksin (racun) yang menyebabkan host mengalami infeksi parasit. Infeksi parasit disebabkan oleh tiga jenis organisme: protozoa, helminth (cacing), dan ektoparasit seperti serangga.
            Parasit dapat diperankan oleh binatang atau tumbuhan. Jika yang bertindak sebagai parasit tersebut binatang atau tumbuhan. Jika yang bertindak sebagai parasit tersebut binatang, disebut zooparasit, sedangkan jika tumbuhan disebut phytoparasit. Sekarang ini yang dimaksud dengan parasit yaitu zooparasit.
            Menurut jumlah sel yang membentuknya, parasit dibagi atas parasit satu sel disebut protozoa. Protozoa bermultiplikasi di dalam tubuh manusia. Infeksi yang disebabkan oleh protozoa antara lain giardiasis, yaitu infeksi pencernaan yang dapat terjadi akibat meminum air yang terinfeksi oleh protozoa sedangkan jika terdiri dari banyak sel disebut metazoa.
            Menurut tempat hidup parasit pada hospes, ada dua macam parasit yaitu ektoparasit, hidupnya pada permukaan tubuh (kulit) hospes, kebanyakan dari arthropoda. Ektoparasit merupakan organisme yang  juga memiliki banyak sel yang biasanya hidup atau makan dari kulit manusia, seperti nyamuk, lalat, kutu, atau tungau. Sedangkan endoparasit hidupnya didalam tubuh hospes. Helminth merupakan organisme yang memiliki banyak sel (multi sel) yang biasanya dikenal dengan nama cacing. Terdapat berbagai jenis cacing yang dapat menginfeksi manusia, seperti Ascaris lumbricoides (cacing gelang atau roundworm), Trichuris trichiura (cacing cambuk atau whipworm), Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale (cacing tambang atau hookworm)
            Proses masuknya endoparasit ke dalam tubuh hospes disebut infeksi. Sedangkan menempelnya ektoparasit pada tubuh hospes disebut infestasi.
            Mengenai hospes (tuan rumah) yang menjadi tempat bagi parasit untuk menggantungkan hidup dan pembiakannya, ada beberapa istilah yang perlu diketahui
            Beberapa parasit, pada manusia tidak menimbulkan gangguan, komensal, misalnya beberapa amoeba dan flagelata usus. Dilihat dari segi kerusakan yang ditimbulkan oleh parasit, parasit dibagi dua kelompok, yaitu yang dapat menimbulkan kerusakan lokal/sistemik disebut parasit patogen, sedangkan yang tidak menimbulkan kerusakan disebut parasit apotogen.
            Mengenai hospes (tuan rumah) yang menjadi tempat bagi parasit untuk menggantungkan hidup dan pembiakannya, ada beberapa istilah yang perlu diketahui. Hospes definitif (hospes terminal/akhir), yaitu manusia, hewan, atau tumbuhan yang menjadi tempat hidup parasit dewasa  dan atau parasit mengadakan reproduksi seksual. Hospes perantara (intermediate host) yaitu manusia, hewan, atau tumbuhan yang menjadi tempat parasit menyempurnakan sebagian dari siklus hidupnya dan atau tempat parasit mengadakan pembiakan aseksualnya. Tuan rumah peserta ialah hospes yang dapat juga dihuni oleh parasit tertentu walaupun sebenarnya bukan merupakan tuan rumah definitif bagi parasit tersebut. Hospes paratenik merupakan tuan rumah potensial dan di dalamnya tidak terjadi perkembangan parasit muda, hospes itu tidak mendukung atau menghalangi parasit itu dalam menyelesaikan siklus hidupnya, misalnya Toxocara cati yang merupakan ascaris pada kucing. Jika telur yang tela matang termakan manusia maka larva keluar setelah larva menetas akan tetapi larva ini tidak akan pernah berkembang lebih lanjut, manusia bertindak sebagai hospes paratenik. Ada hospes yang menularkan parasit pada manusia disebut vektor, biasanya yang bertindak sebagai vektor tersebut arthopoda. Ada dua jenis vektor yaitu vektor mekanis (phoretik) dan vektor biologis. Yang dimaksud vektor adalah  biologis yang sebagian siklus hidup parasitnya terjadi pada tubuh vektor tersebut, jika dalam tubuh vektor tidak terjadi sebagian siklusnya maka disebut vektor mekanis. (Natadisastra, 2009)

3. Sumber Infeksi

            Parasit yang dapat menjadi sumber infeksi bagi manusia dapat bersal dari tanah atau air yang terkontaminasi, makanan yang mengandung stadium infektif yaitu stadium parasit yang dapat menginfeksi manusia, arthopoda penghisap darah, binatang, tumbuhan air, dari manusia lain ( dari seseorang ke orang lain) atau dapat berasal dari diri sendiri.
            Tanah yang dikotori tinja manusia terutama sekali dapat dapat bertindak sebagai sumber infeksi dari beberapa cacing, yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale), Stongyloides stercoralis.
            Air dapat berisi krista amoeba, flagelata usus, telur Taenia solium, dan stadium cercaria trematoda darah.
            Ikan air tawar dapat mengandung larva Diphyllothrium latum, beberapa trematoda usus dan hati, sedangkan ketam dan udang batu dapat mengandung trematoda paru-paru (Paragonimus westermani). Daging babi dapat mengandung larva Trichinellaspiralis dan Taennia solium, tumbuhan air dari spesies Trapa spp mengandung Fasciolopsis buski dan slada air (Nasturtium officanale) mengandung Fasciola hepatica.
            Arthopoda pengisap darah menyebarkan parasit-parasit malaria (Plasmodiun sp.), Leishmania, Trypanosoma, filaria. Swdangkan anjing dapat merupakan sumber penularan dari larva Echinococcus granulosus (kista hydatid) juga untuk larva migrans viscerale yang disebabkan Toxocara canis. Herbivora dapat merupakan sumber infeksi dari Trichostrongylus spp.
            Manusia lain dapat menjadi sumber infeksi bagi amoeba patogen (Entamoeba histolytica), Enterobius vermicularis dan Hymenolepis nana. Autoinfeksi terjadi pada reinfeksi oleh Strongyloides stercoralis. (Natadisastra, 2009)

3. Cara Masuk Parasit


            Parasit masuk ke dalam tubuh manusia dengan berbagai jalan/tempat masuk, diantaranya melalui mulut, menembus kulit, gigitan arthopoda (arthopoda berperan sebagai ektoparasit atau vektor bagi cacing ataupun protozoa) atau melalui inhlasi. Cara lain walaupun jarang dengan menembus plasenta/transplansentral/kongenital, hubungan seksual, jarum suntik, transfusi darah atau melalui transplantasi jaringan.
            Parasit usus biasanya masuk melalui mulut, anatara lain pada protozoa usus, untuk dapat berlangsungnya kehidupan parasit, masuknya melalui stadium kista seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Enterobius vermicularis dan Hymenolepis nana ( semua melalui stadium telur matang/mengandung embrio), Trischostronglyus spp. sebagai larva infektif bebas, dan Trichinella spiralis, Taenia solium, T. Saginata. Diphyllobothrium latum, trematoda usus serta trematoda paru-paru semua melalui makanan yang mengandung stadium larva matang.
            Beberapa nematoda penting lainnya, yaitu cacing tambang (Ancylostoma duodenale, Necator americanus), dan Strongyloides stercoralis, secara aktif larva yang berada di tanah akan menembus kulit. Hal serupa terjadi pula pada trematoda darah (Schistosoma spp.), stadium cercaria yang berada pada air tawar.
            Banyak parasit harus mengalami perkembangan di dalam tubuh arthopoda penghisap darah, masuk perkutan ketika arthopoda tersebut menusuk kulit untuk makan. Parasit yang dimaksud antara lain parasit malaria (Plasmodium sp.), Leishmania, Trypanosoma, filaria serta mikroorganisme lain, yaitu virus, rickettsia, bakteri, dan spirochaeta.
            Cara transmisi lainnya, meliputi : inhalasi telur Enterobius vermicularis (air borne) sampai di pharinx posterior, infeksi transplasenta (kongenital) pada toxoplasma gondii kadang-kadang parasit malaria, trematoda darah dan lainnya, infeksi transmammary(susu) oleh spesies Strongyloides stercolaris, Ancylostoma duodenale serta beberapa trematoda, melalui hubungan seksual pada Trichomonas vaginalis, melalui ransfusi darah serta transplantasi jaringan antara lain Plasmodium sp, dari ibu hamil  ke janin melalui plasenta. (Muslim, 2009)

4. Siklus Hidup

            Parasit dalam siklus hidupnya terjadi beberapa tingkat perubahan bentuk (metamorfosis). Banyak parasit yang memiliki daur hidup yang sederhana dan langsung, ialah stadium infektif (misalnya kista spora atau larva motil) yang dilepaskan oleh hospes, langsung diambil (sering kali dimakan) oleh hospes lain, kemudian parasit tumbuh dan berkembang. Spesies parasit lain dapat memiliki siklus hidup yang rumit dan tidak langsung, sering kali membutuhkan satu atau lebih tuan rumah perantara.
            Pembiakan parasit dilakukan secara seksual atupun aseksual tergantung spesies parasit, bahkan ada pula parasit yang berkembang biak secara seksual dan aseksual secara bergantian. Pembiakan seksual terjadi jika parasit tersebut mengadakan pembiakan melalui jenis kelamin jantan dan betina, sedangkan pembiakan aseksual tidak melalui alat kelamin, misalnya dengan cara pembelahan, terutama parasit protozoa.
            Parasit bersifat hemafrodit jika jenis kelamin jantan maupun betina terdapat pada satu individu. Hal ini ditemukan misalnya pada parasi cacing terutama dari kelas Trematoda (cacing daun) dan Cestoida (cacing pita).
            Untuk menjalankan siklus hidupnya, parasit tidak hanya selalu membutuhkan satu tuan rumah. Untuk ini dikenal adanya tuan rumah definitif (hospes terminal/akhir) dan tuan rumah perantara (intermediate host). Tempat hidup parasit dewasa adalah tuan rumah definitif sedangkan tempat hidup stadium lainnya (persiapan parasit untuk menjadi dewasa) disebut tuan rumah perantara. Khusus untuk kelompok protozoa yang dimaksud dengan tuan rumah definitif, yaitu pada tuan rumah tersebut terjadi pembiakan secara seksual. Misalnya Plasmodium sp betina karena pembiakan seksual terjadi dalam tubuh Anophelses sp. Tersebut.
            Pada Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura hanya membutuhkan satu tuan rumah sehingga siklus hidupnya disebut siklus hidup langsung.
            Perkembangan parasit dalam tubuh manusia dikenal adanya masa tunas biologi/masa tunas prepaten serta masa tunas klinis. Masa tunas biologi yaitu waktu yang dibutuhkan parasit, sejak parasit masuk ke dalam tubuh sampai berkembang biak dan salah satu stadium parasit ditemukan pada pemeriksaan laboratorium ( dari tinja atau darah), sedangkan masa tunas klinik yaitu waktu yang dibutuhkan sejak parasit masuk sampai munculnya gejala awal penyakit.  Biasanya masa tunas biologi lebih singkat waktunya dibandingkan dengan masa tunas klinik. Parasit baru akan dapat dilihat dan ditemukan dalam bahan pemeriksaan, jika jumlah parasit telah melewati nilai ambnag mikroskopik. (Natadisastra, 2009)       

5. Epidemiologi dan Distribusi Geografik

            Penyebaran parasit tergantung beberapa faktor, diantranya adanya sumber infeksi (penderita ataupun hospes reservoir), keadaan lingkungan (iklim, curah hujan, suhu, kelembapan, sinar matahari sanitasi dll, tersedianya vektor (bagi parasit yang membutuhkan vektor ), keadaan penduduk (padat/jarang, kebiasaan, pendidikan, sosial ekonomi dan sebagainya). Distribusi geografik ini dapat bersifat kosmopolis (tersebar seluruh dunia), regional, atau lokal.
            Daerah tropik merupakan tempat hidup yang baik bagi tumbuh dan berkembangnya parasit. Hal ini didukung oleh berbagai faktor, antara lain penduduk padat, sosial ekonomi rendah, pendidikan kesehatan kurang baik khususnya sanitasi lingkungaan serta kebiasaan masyarakat yang kurang baik terutama dalam hal pembuangan sampah, tinja, kebiasaan penggunaan air untuk minum dan cuci makanan dan sebagainya. Penyakit parasit akan lebih susah dicegah dan diberantas jika parasit tersebut memiliki hospes reservoir yang terdapat di sekeliling penduduk.
            Dalam epidemiologi suatu pnyakit parasit perlu diketahui mengenai endemi, yaitu penyakit normal yang terdapat pada suatu daerah geografik tertentu. Endemi ini sering terjadi pada penyakit oleh parasit. Biasanya  penyakit parasit bersifat endemik pada suatu daerah dalam waktu yang lama.  (Soedarto, Buku Ajar Parasitologi Kedokteran , 2011)

6. Diagnosis

            Manifestasi klinis parasit sering kali bersifat dengan gejala dan keluhan penderita hampir sama satu dengan yang lainnya. Misalnya, berbagai infeksi cacing usus menunjukkan gejala dan keluhan sama dan tidak spesifik sehingga sukar diketahui parasit penyebabnya. Oleh karena itu untuk diagnosis diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk mencari salah satu stadium parasit, seperti pemeriksaan tinja secara langsung, konsentrasi ataupun biakan, pemeriksaan usapan anus, biopsi, autopsi, pemeriksaan darah, urine atau sputum serta reaksi imunologis (imunodiagnosis).
            Bahan pemeriksaan ditentukan dengan melihat siklus hidup parasit tersebut. Pada parasit yang hidup di usus, diambil bahan pemeriksaan tinja, sedangkan yang hidup dalam darah, bahan pemeriksaanya darah perifer dan sebagainya. (Soedarto, Pengobatan Penyakit Parasit, 2009)
            Penyakit parasitik umumnya bersifat menahun dan jarang menimbulkan kematian mendadak. Kekurangan gizi dan anemia merupakan akibat yang sering dialami oleh penderita. Diare yang disebabkan oleh berbagai macam penyakit parasit kerapkali lebih memperberat kurang gizi sehingga menimbulkan manifestasi malnutrition yang berat. Infeksi cacing tambang yang berat dapat menimbulkan anemia berat yang menyebabkan turunnya produktivitas kerja orang dewasa dan remaja. Ibu hamil dapat mengalami gangguan kehamilan dan proses persalinannya, misalnya terjadinya abortus dan bayi lahir prematur. Anak-anak penderita anemia menahun atau kurang gizi dapat mengalami gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan mentalnya

7. Pengobatan

            Pengobatan terhadap infeksi parasit dapat berupa pengobatan masal atau perorangan. Diagnosisny yang tepat dikarenakan obat-obat harus sesuai dengan penyebabnya. Pada pengobatan penyakit parasit harus juga diperhatikan beberapa hal anatara lain obat-obat berupa obat kemoterapi dengan efek letal terhadap parasit, efek samping minimal pada hospes, memperbaiki keadaan umum dan daya tahan penderita. Agar pengobatan berhasil dengan baik, sangat penting pengobatan penyakit parasit disertai dengan perbaikan sanitasi lingkungan. (Soedarto, Pengobatan Penyakit Parasit, 2009)

8. Pencegahan dan Pemberantasan

            Pada siklus hidup parasit, ada saat-saat kehidupan parasit ini kritis, karena parasit harus menghadapi keadaaan lingkungan yang mengancam kelangsungan hidupnya. Stadium parasit demikian ini dapat dimanfaatkan dalam pemberantasan penyakit parasit tersebut. Pada prinsipnya pemberantasan penyakit parasit ditujukan untuk memutuskan mata rantai dari siklus hidup parasit tersebut. Sehubungan parasit ini tersebar luas terutama di daerah tropis dengan banyak faktor yang membantu penyebarannya, sangat sulit untuk dapat memberantas penyakit parasit ini. Untuk memberantas penyakit parasit ini dilakukan upaya-upaya pencegahan.
            Pencegahan infeksi parasit dapat dilakukan dengan cara mengurangi sumber infeksi dengan mengobati penderita, berikut ini bentuk pencegahannya:
1. Mengurangi sumber infeksi dengan mengobati penderita
2. Melakukan penyuluhan kesehatan dan menghindari kontak dengan parasit untuk tujuan mencegah penyebaran penyakit parasit
3. Melakukan pengawasan dan menjaga kebersihan air, makanan, lingkungan dan pembuangan sampah dengan cara yang baik
4. Memberantas vektor penular penyakit
5. Mengendalikam hewan-hewan yang menjadi hospes cadangan (reservoir host)
6. Meningkatkan daya tahan tubuh penderita (Natadisastra, 2009)

B. Malaria pada Kehamilan

1. Definisi Malaria

            Malaria adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles dengan gambaran penyakit berupa demam yang sering periodik, anemia, pembesaran limpa dan berbagai kumpulan gejala oleh karena pengaruhnya pada beberapa organ misalnya otak, hati dan ginjal.
            Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi salah satu nya ibu hamil, selain itu malaria secara langsung menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja. (Muslim, 2009)

2. Etiologi Malaria

            Etiologi penyakit malaria adalah parasit malaria, suatu protozoa dari genus Plasmodium. Sampai saat ini di Indonesia dikenal 4 jenis spesies plasmodium penyebab malaria pada manusia, yaitu :
1. Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika yang sering menyebabkan malaria yang berat (malaria serebral dengan kematian)
2. Plasmodium vivax, penyebab malaria tertiana
3. Plasmodium malariae, penyebab malaria quartana
4. Plasmodium ovale, menyebabkan malaria ovale tetapi jenis ini jarang dijumpai.  (Mandal, 2006)

3. Gejala Penyakit malaria

            Gejala malaria mirip dengan gejala flu biasa. Penderita mengalami menggigil, nyeri otot persendian dan sakit kepala. Penderita mengalami mual, muntah, batuk, diare. Gejala khas malaria adalah adanya siklus menggigil, demam, dan berkeringat yang terjadi berulang-ulang. Pengulangan bisa berlangsung tiap hari, dua hari sekali atau tiga hari sekali tergantung jenis malaria yang menginfeksi. Gejala lain warna kuning pada kulit akibat rusaknya sel darah merah dan sel hati. Infeksi awal malaria umum nya memiliki tanda dan gejala seperti menggigil, demam tinggi, berkeringat secara berlebihan seiring menurunnya suhu tubuh, mengalami ketidak nyamanan dan kegelisahan.  (Situasi Malaria di Indonesia, 2014)

4. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Terjadinya Malaria

            Lingkungan fisik Lingkungan fisik yang berhubungan dengan perkembangbiakan nyamuk, yaitu:
a. Suhu udara
            Suhu udara sangat dipengaruhi panjang pendeknya siklus sporogoni atau masa inkubasi ekstrinsik. Suhu yang hangat membuat nyamuk mudah untuk berkembang biak dan agresif mengisap darah.
b. Kelembaban udara (relative humidity).
             Kelembaban udara yang rendah akan memperpendek usia nyamuk, meskipun tidak berpengaruh pada parasit.
 c. Hujan
            Hujan berhubungan dengan perkembangan larva nyamuk menjadi bentuk dewasa.
d. Ketinggian
            Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah, hal ini berkaitan dengan menurunnya suhu ratarata.
 e. Angin
            Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam merupakan saat terbang nyamuk ke dalam atau keluar rumah dan salah satu faktor yang ikut menentukan jumlah kontak antara manusia dan nyamuk adalah jarak terbang nyamuk (flight range) tidak lebih dari 0,5-3 km dari tempat perindukannya, jika ada tiupan angin yang kencang, bisa terbawa sejauh 20-30 km.
f. Sinar matahari
            Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. Anopheles sundaicus lebih suka tempat yang terkena sinar matahari langsung, Anopheles hyrcanus spp dan Anopheles pinctutatus spp lebih menyukai tempat terbuka, sedangkan Anopheles barbirostris dapat hidup baik di tempat teduh maupun kena sinar matahari.

g. Arus air
            Anopheles barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis/mengalir lambat, sedangkan Anopheles minimus menyukai aliran air yang deras dan Anopheles latifer menyukai air tergenang.
h. Lingkungan kimia
            Lingkungan kimia, seperti kadar garam pada suatu tempat perindukan nyamuk, seperti diketahui nyamuk An. sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya berkisar antara 12-18‰ dan tidak dapat berkembangbiak pada kadar garam 40‰ ke atas. An. latifer dapat hidup ditempat yang asam/ pH rendah. Ketika kemarau datang luas laguna menjadi mengecil dan sebagian menjadi rawa-rawa yang ditumbuhi ilalang, lumut-lumut seperti kapas berwarna hijau bermunculan. Pada saat seperti inilah kadar garam air payau meninggi dan menjadi habitat yang subur bagi jentik-jentik nyamuk.
i. Lingkungan biologi
            Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai jenis tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva karena dapat menghalangi sinar matahari yang masuk atau melindungi serangan dari makhluk hidup lain. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah, gambus, nila, mujair dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk di suatu wilayah. Selain itu juga adanya ternak besar seperti sapi dan kerbau dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila kandang hewan tersebut diletakkan di luar rumah.
j. Lingkungan sosial budaya
            Sosial budaya (culture) juga berpengaruh terhadap kejadian malaria seperti: kebiasaan keluar rumah sampai larut malam, dimana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan mempermudah kontak dengan nyamuk. Tingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria, seperti penyehatan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa pada ventilasi rumah dan menggunakan obat nyamuk. Faktor sosio-budaya ini merupakan faktor eksternal untuk membentuk perilaku manusia. Lingkungan sosial budaya ini erat kaitannya dengan kejadian suatu penyakit termasuk malaria.  (Mandal, 2006)

5. Cara Penularan Malaria

            Cara penularan penyakit malaria dapat di bedakan menjadi dua macam yaitu :
 a. Penularan secara alamiah (natural infection)
            Malaria ditularkan oleh nyamuk anopheles. Nyamuk ini jumlahnya kurang lebih ada 80 jenis dan dari 80 jenis itu, hanya kurang lebih 16 jenis yang menjadi vector penyebar malaria di Indonesia. Penularan secara alamiah terjadi melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang telah terinfeksi oleh plasmodium. Sebagian besar spesies menggigit pada senja dan menjelang malam hari. Beberapa vector mempunyai waktu puncak menggigit pada tengah malam dan menjelang pajar. Pada saat menggigit manusia, parasit malaria yang ada dalam tubuh nyamuk masuk ke dalam darah manusia sehingga manusia tersebut terinfeksi lalu menjadi sakit.

b . Penularan tidak alamiah (not natural infection)
1) Malaria bawaan.
Terjadi pada bayi yang baru lahir karena ibunya menderita malaria. Penularannya terjadi melalui tali pusat atau plasenta (transplasental)
2) Secara mekanik.
Penularan terjadi melalui transfusi darah melalui jarum suntik.
 3) Secara oral.
Cara penularan ini pernah dibuktikan pada burung (P.gallinasium), burung dara (P.relection) dan monyet (P.knowlesi).
            Manifestasi klinik malaria dalam kehamilan berbeda antara daerah dengan transmisi rendah dengan transmisi tinggi  karena berbedanya tingkat imunitas.  Pada daerah endemik, imunitas yang didapat tinggi sehingga mortalitas jarang terjadi, sering asimtomatik dan juga jarang terjadi parasitemia.  Sekuestrasi plasmodium di plasenta dan terjadi plasenta malaria, sedangkan hasil pemeriksaan plasmodium di darah tepi seringkali negatif.  Parasitemia yang berat terjadi terutama pada trimester 2 dan 3, anemia dan gangguan integritas plasenta meyebabkan berkurangnya hantaran nutrisi ke janin sehingga menyebabkan berat lahir rendah, abortus, kematian janin dalam rahim, persalinan prematur dan semakin meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada janin. Masalah ini lebih sering terjadi pada kehamilan pertama dan kedua karena kadar parasitemia akan menurun pada kehamilan berikutnya.  Strategi penanganan malaria pada ibu hamil di area dengan transmisi tinggi adalah terapi intermiten dan pemakaian kelambu berinsektisida.
            Di daerah dengan transmisi rendah, masalahnya sangat berbeda.  Risiko malaria dalam kehamilan lebih tinggi dan dapat menyebabkan kematian maternal serta  abortus spontan pada >60% kasus.  Berat lahir rendah dapat terjadi walaupun telah diterapi; namun malaria yang asimtomatik jarang terjadi.  Strategi penanganannya adalah pencegahan dengan kemoprofilaksis, deteksi dini dan pengobatan yang adekuat. (Suparman, 2005)

6. Komplikasi Malaria dalam Kehamilan

a. Anemia
Malaria dapat menyebabkan atau memperburuk anemia.  Hal ini disebabkan:
1) Hemolisis eritrosit yang diserang parasit
2) Peningkatan kebutuhan Fe selama hamil
3) Hemolisis berat dapat menyebabkan defisiensi asam folat.
            Anemia yang disebabkan oleh malaria lebih sering dan lebih berat antara usia kehamilan 16-29 minggu.  Adanya defisiensi asam folat sebelumnya dapat memperberat anemia ini. Anemia meningkatkan kematian perinatal dan morbiditas serta mortalitas maternal. Kelainan ini meningkatkan risiko edema paru dan perdarahan pasca salin.
b. Edema paru akut
            Edema paru akut adalah komplikasi malaria yang lebih sering terjadi pada wanita hamil daripada wanita tidak hamil.  Keadaan ini bisa ditemukan saat pasien datang atau baru terjadi setelah beberapa hari dalam perawatan.    Kejadiannya lebih sering pada trimester 2 dan 3.
            Edema paru akut bertambah berat karena adanya anemia sebelumnya dan adanya perubahan hemodinamik dalam kehamilan.  Kelainan ini sangat meningkatkan risiko mortalitas.
c. Hipoglikemia
            Keadaan ini juga merupakan komplikasi yang cukup sering terjadi dalam kehamilan.  Faktor-faktor yang mendukung terjadinya hipoglikemia adalah  sebagai berikut:
1) Meningkatnya kebutuhan glukosa karena keadaan hiperkatabolik dan infeksi parasit
2) Sebagai respon terhadap starvasi/kelaparan
3) Peningkatkan respon pulau-pulau pankreas terhadap stimulus sekresi (misalnya guinine) menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia dan hipoglikemia.
            Hipoglikemia pada pasien-pasien malaria tersebut dapat tetap asimtomatik dan dapat luput terdeteksi karena gejala-gejala hipoglikemia juga menyerupai gejala infeksi malaria, yaitu: takikardia, berkeringat, menggigil dll.  Akan tetapi sebagian pasien dapat menunjukkan tingkah laku yang abnormal, kejang, penurunan kesadaran, pingsan dan lain-lain yang hampir menyerupai gejala malaria serebral.  Oleh karena itu semua wanita hamil yang terinfeksi malaria falciparum, khususnya yang mendapat terapi quinine harus dimonitor kadar gula darahnya setiap 4-6 jam sekali.  Hipoglikemia juga bisa rekuren sehingga monitor kadar gula darah harus konstan dilakukan.
            Kadang-kadang hipoglikemia dapat berhubungan dengan  laktat asidosis dan pada keadaan seperti ini risiko mortalitas  akan sangat meningkat.  Hipoglikemia maternal juga dapat menyebabkan gawat janin tanpa ada tanda-tanda yang spesifik.
d. Imunosupresi
            Imunosupresi dalam kehamilan menyebabkan infeksi malaria yang terjadi menjadi lebih sering dan lebih berat.  Lebih buruk lagi, infeksi malaria sendiri dapat menekan respon imun. 
            Perubahan hormonal selama kehamilan menurunkan sintesis imunoglobulin. Penurunan fungsi sistem retikuloendotelial adalah penyebab imunosupresi dalam kehamilan.  Hal ini menyebabkan hilangnya imunitas didapat terhadap malaria  sehingga ibu hamil lebih rentan terinfeksi malaria.  Infeksi malaria yang diderita lebih berat dengan parasitemia yang tinggi.  Pasien juga lebih sering mengalami demam paroksismal dan relaps. 
            Infeksi sekunder (Infeksi saluran kencing dan pneumonia) dan pneumonia algid (syok septikemia) juga lebih sering terjadi dalam kehamilan karena imunosupresi ini. (Suparman, 2005)

7. Risiko Terhadap Janin

            Malaria dalam kehamilan adalah masalah bagi janin.  Tingginya demam, insufisiensi plasenta, hipoglikemia, anemia dan komplikasi-komplikasi lain dapat menimbulkan efek buruk terhadap janin.  Baik malaria P. vivax dan P. falciparum dapat menimbulkan masalah bagi janin. Akibatnya dapat terjadi abortus spontan, persalinan prematur, kematian janin dalam rahim, insufisiensi plasenta, gangguan pertumbuhan janin (kronik/temporer), berat badan lahir rendah dan gawat janin.  Selain itu penyebaran infeksi secara transplasental ke janin dapat menyebabkan malaria kongenital. (Suparman, 2005)

8. Malaria kongenital

            Malaria kongenital sangat jarang terjadi, diperkirakan timbul pada <5% kehamilan. Barier plasenta dan antibodi Ig G maternal yang menembus plasenta dapat melindungi janin dari keadaan ini.  Akan tetapi pada populasi non imun dapat terjadi malaria kongenital, khususnya pada keadaan epidemi malaria.  Kadar quinine plasma janin dan klorokuin sekitar l/3 dari kadarnya dalam plasma ibu sehingga kadar subterapeutik ini tidak dapat menyembuhkan infeksi pada janin.  Keempat spesies plasmodium dapat menyebabkan malaria kongenital, tetapi yang lebih sering adalah P. malariae.  Neonatus dapat menunjukan adanya demam, iritabilitas, masalah minum, hepatosplenomegali, anemia, ikterus dll.  Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan apus darah tebal dari darah umbilikus atau tusukan di tumit, kapan saja dalam satu minggu pascanatal. Diferensial diagnosisnya adalah inkompatibilitas Rh, infeksi CMV, Herpes, Rubella, Toksoplasmosis dan sifilis. (Suparman, 2005)

6.  Pencegahan Penyakit Malaria

            Pencegahan penyakit malaria secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi beberapa kegiatan :
a. Pencegahan terhadap parasit yaitu dengan pengobatan profilaksis atau pengobatan pencegahan yaitu orang yang akan bepergian ke daerah-daerah endemis malaria harus minum obat anti malaria sekurang-kurangnya seminggu sebelum keberangkatan sampai empat minggu setelah orang tersebut meninggalkan daerah endemis malaria.
1) Wanita hamil yang akan bepergian ke daerah endemis malaria diperingatkan tentang risiko yang mengancam kehamilannya. Sebelum bepergian, ibu hamil disarankan untuk berkonsultasi ke klinik atau Rumah Sakit dan mendapatkan obat anti malaria.
 2) Bayi dan anak-anak berusia di bawah empat tahun dan hidup di daerah endemis malaria harus mendapat obat anti malaria karena tingkat kematian bayi/anak akibat infeksi malaria cukup tinggi.
b. Pencegahan terhadap vector atau gigitan nyamuk
            Pencegahan terhadap vector atau gigitan nyamuk dengan melakukan pendidikan kesehatan masyarakat untuk merubah  perilaku yang belum sehat menjadi perilaku sehat contohnya menjaga kebersihan lingkungan seperti:
         tidak buang sampah sembarangan
         menguras bak mandi dan menaburkan bubuk abate
          menutup tempat penampungan air
         melakukan pengasapan/ fogging untuk  memberantas nyamuk penyebab malaria.
            Daerah yang jumlah penderitanya sangat banyak, tindakan untuk menghindari gigitan nyamuk sangat penting. Maka dari itu disarankan untuk memakai baju lengan panjang dan celana panjang saat keluar rumah terutama pada malam hari, memasang kawat kasa di jendela dan ventilasi rumah, serta menggunakan kelambu saat tidur. Masyarakat juga dapat memakai minyak anti nyamuk saat tidur dimalam hari untuk mencegah gigitan nyamuk malaria, karena biasanya vector malaria menggigit pada malam hari. (Mandal, 2006)

7. Pengobatan Malaria

a. Pengobatan malaria klinis
            Pengobatan yang diberikan berdasarkan gejala klinis dan ditujukan untuk menekan gejala klinis malaria serta membunuh gamet untuk mencegah terjadinya penularan. Obat yang sering digunakan yaitu kina, klorokuin, hidroksiklorokuin, dan amodiakuin yang semuanya efektif apabila parasit masuk ke eritrosit melalui hati dan mulai dengan siklus eritrositik.
b. Pengobatan radikal
            Pengobatan yang diberikan kepada penderita malaria dengan pemeriksaan laboratorium positif malaria. Pengobatan ini bertujuan untuk mencegah timbulnya kambuh.  WHO merekomendasikan pengobatan malaria secara global dengan penggunaan regimen obat ACT (Artemisinin Combination Therapy). Komisi ahli malaria dari Depkes RI sejak tahun 2004 sepakat dan menyetujui penggunaan obat ACT sebagai obat lini I di seluruh Indonesia.  (Suparman, 2005)

C. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)

1. Definisi

            Soil Transmitted Helminths (STH)  adalah suatu kelompok parasit nematoda yang menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak dengan telur parasit atau larva yang berkembang di dalam tanah yang hangat dan lembab pada negara-negara tropis dan subtropis di dunia.
            STH yang paling sering ditemui meliputi Ascaris lumbricoides (cacing gelang atau roundworm), Trichuris trichiura (cacing cambuk atau whipworm), Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale (cacing tambang atau hookworm)
            Infeksi STH pada manusia dapat menyebabkan gangguan pada jaringan dan organ tubuh, di mana parasit tersebut hidup dan mengambil nutrisi dari dalam tubuh manusia. Pada keadaan kronis, infeksi STH mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan intelektual anak-anak. Selain itu, infeksi STH juga diperkirakan berdampak negatif terhadap kemampuan kognitif, mempengaruhi prestasi belajar di sekolah, di mana akan mempengaruhi produktivitas ekonomi masa depan. (Natadisastra, 2009)

2. Morfologi dan Siklus Hidup

a. Ascaris lumbricoides
            Ascaris lumbricoides berbentuk giling (silindris) memanjang, berwarna krem / merah muda keputihan, panjangnya dapat mencapai 40 cm. Jangka hidup (life span) cacing dewasa adalah 10-12 bulan. Ukuran cacing betina 20-35 cm dengan diameter 3-6 mm. Sedangkan ukuran cacing jantan 15-31cm dengan diameter 2-4 mm. Mulut Ascaris lumbricoides memiliki tiga tonjolan bibir berbentuk segitiga, antara lain satu tonjolan di bagian dorsal dan dua tonjolan di ventrolateral. Pada bagian tengah mulut terdapat rongga mulut (buccal cavity)
            Infeksi pada manusia terjadi karena menelan telur matang dari tanah yang terkontaminasi. Telur yang tertelan akan menetas di duodenum, kemudian secara aktif menembus dinding usus dan via sirkulasi portal menuju jantung kanan. Kemudian larvanya masuk ke dalam sirkulasi pulmonal dan tersaring kapiler. Setelah kira-kira 10 hari di paru-paru, larva menempus kapiler dan masuk ke alveoli, melalui bronchi bermigrasi sampai trakea dan faring, lalu tertelan. Cacing akan menjadi matur dan kawin di dalam usus dan memproduksi telur yang akan keluar bersama tinja. Siklus ini membutuhkan waktu 8-12 minggu mencapai 27.000.000 telur.
            Pada tinja penderita askariasis yang membuang air tidak pada tempatnya dapat mengandung telur askariasis yang telah dubuahi. Telur ini akan matang dalam waktu 21 hari. bila terdapat orang lain yang memegang tanah yang telah tercemar telur Ascaris dan tidak mencuci tangannya, kemudian tanpa sengaja makan dan menelan telur Ascaris.
            Telur akan masuk ke saluran pencernaan dan telur akan menjadi larva pada usus. Larva akan menembus usus dan masuk ke pembuluh darah. Ia akan beredar mengikuti sistem peredaran, yakni hati, jantung dan kemudian di paru-paru.
            Pada paru-paru, cacing akan merusak alveolus, masuk ke bronkiolus, bronkus, trakea, kemudian di laring. Ia akan tertelan kembali masuk ke saluran cerna. Setibanya di usus, larva akan menjadi cacing dewasa.
            Cacing akan menetap di usus dan kemudian berkopulasi dan bertelur. Telur ini pada akhirnya akan keluar kembali bersama tinja. Siklus pun akan terulang kembali bila penderita baru ini membuang tinjanya tidak pada tempatnya.  (Mandal, 2006)

b. Trichuris trichiura
            Cacing ini mendapat sebutan sebagai cacing cambuk karena bentuknya yang menyerupai cambuk. Cacing jantan Trichuris trichiura panjangnya 30 sampai 45 mm, bagian anterior halus seperti cambuk, bagian ekor melingkar, cacing betina panjangnya 35 sampai 50 mm, bagian anterior halus seperti cambuk, bagian ekor lurus berujung tumpul. Telur T. trichiura berukuran lebih kurang 50 x 22 mikron, bentuk seperti tempayan dengan kedua ujung menonjol, berdinding tebal dan berisi ovum kemudian berkembang menjadi larva setelah 10 sampai 14 hari (Pasaribu dan Lubis, 2008). Bagian ‘cambuk’ Trichuris trichiura terlihat sepanjang 3/5 dari panjang tubuh seluruhnya. Bagian posterior cacing ini lebih gemuk.

            Trikuriasis merupakan penyakit yang dapat terjadi jika manusia menelan telur cacing Trichuris trichiura. Misalnya melalui makanan yang terkontaminasi telur cacing (tidak dicuci dengan bersih atau dimasak kurang matang). Di dalam duodenum (bagian dari usus halus) larva akan menetas, menembus dan berkembang di mukosa usus halus dan menjadi dewasa di sekum, akhirnya melekat pada mukosa usus besar. Siklus ini berlangsung selama lebih kurang 3 bulan; cacing dewasa akan hidup selama 1 sampai 5 tahun dan cacing betina dewasa akan menghasilkan 3.000 sampai 20.000 telur setiap harinya.
          Telur yang telah dibuahi kemudian akan dikeluarkan dari tubuh manusia atau hospes bersama dengan tinja. Telur tersebut akan matang dalam waktu 3 sampai 6 minggu pada lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang adalah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif dari Trichuris trichiura. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina meletakkan telur kurang lebih selama 30 sampai 90 hari.
          Hospes definitive cacing ini adalah manusia dan T.trichiura tidak membutuhkan hospes intermediet. Telur yang dihasilkan tidak akan berkembang bila berada di lingkungan yang terpapar sinar matahari secara langsung dan akan mati bila berada pada suhu dibawah -9oC atau diatas 52oC. Cacing dewasa umumnya bisa ditemukan pada epitel sekum atau kolon. Namun, pada infeksi berat cacing dewasa juga bisa ditemukan pada apendiks, rektum, atau bagian distal ileum.  (Suriptiastuti, 2006)

c. Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus (Cacing Tambang)
            Hospes parasit ini adalah manusia, Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya melekat pada mucosa usus. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi

            Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat 13 bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paruparu. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan. (Suriptiastuti, 2006)

3. Diagnosis

            Infeksi STH seringkali tidak menimbulkan keluhan dan gejala yang spesifik, dengan demikian para dokter harus melakukan pemeriksaan feses. Cara Kato-Katz fecal-thick smear dan McMaster digunakan untuk mengukur intensitas dari infeksi dengan memperkirakan jumlah telur per gram tinja. Ultrasonografi dan endoskopi bermanfaat untuk diagnosis dari komplikasi ascariasis termasuk obstruksi usus dan saluran hepatobiliar serta pankreas.
a. Gejala klinis askariasis
            Diklasifikasikan menjadi gejala akut yang berhubungan dengan migrasi larva melalui kulit dan viseral, serta gejala akut dan kronik yang disebabkan oleh infeksi parasit di saluran pencernaan oleh cacing dewasa. Gejala klinis oleh larva Ascaris lumbricoides biasanya terjadi pada saat di paru. Pada orang yang rentan, terjadi pendarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai batuk, demam, dan eosinofilia. Di paru, antigen larva askariasis menyebabkan respon inflamasi sehingga terbentuk infiltrat eosinofilik yang dapat dilihat pada pemeriksaan foto toraks. Infiltrat tersebut menghilang dalam waktu tiga minggu. Keadaan tersebut disebut dengan sindrom Loeffler.
            Gejala klinis oleh cacing dewasa tergantung pada jumlah cacing, dan keadaan gizi penderita. Umumnya, hanya infeksi dengan intensitas yang sedang dan berat pada saluran pencernaan dapat menimbulkan gejala klinis. Cacing dewasa Ascaris lumbricoides yang terdapat dalam jumlah banyak pada usus halus dapat menyebabkan distensi abdomen dan nyeri abdomen. Keadaan ini juga dapat menyebabkan intoleransi laktosa serta malabsorpsi vitamin A dan bahan nutrisi lainnya, di mana dapat mengakibatkan kekurangan gizi dan gangguan pertumbuhan. Berbeda dengan obstruksi usus, Askariasis hepatobilier dan pankreas lebih sering dijumpai pada orang dewasa, terutama wanita, daripada anak-anak. Hal ini mungkin disebabkan ukuran percabangan duktus bilier (biliary tree) orang dewasa cukup besar untuk dilewati oleh cacing dewasa.  (Soedarto, Buku Ajar Parasitologi Kedokteran , 2011)
b. Gejala Klinis Trikuriasis
            Banyak penderita trikuriasis tidak memiliki gejala dan hanya didapati keadaan eosinofilia pada pemeriksaan darah tepi . Pada trikuriasis, inflamasi pada tempat perlekatan cacing dewasa dalam jumlah besar dapat menyebabkan kolitis.  
            Pada infeksi ringan, trikuriasis umumnya tidak menunjukkan gejala. Pada infeksi sedang, dimana terdapat sekitar 20 cacing dewasa dalam tubuh, akan terlihat gejala nyeri perut, diare (jarang terdapat darah), muntah, kembung, kehilangan berat badan, serta anemia dan defesiensi zat besi. Pada infeksi berat trikuriasis dapat ditemukan sekitar 200 cacing dewasa di dalam tubuh. Gejala klinis yang tampak adalah diare yang disertai darah, nyeri perut, tenesmus, anemia berat, prolapsus rekti, dan eosinofilia derajat sedang.
            Infeksi berat pada anak-anak dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan rendahnya kesehatan fisik serta status nutrisi. Infeksi trikuriasis berat pada anak-anak akan memperlihatkan persebaran cacing di seluruh kolon dan rektum. Infeksi berat T. trichiura juga sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa.
            Trikuriasis dapat didiagnosis ketika ditemukannya telur T. trichiura pada pemeriksaan tinja. Data yang didapat dari hasil pemeriksaan tinja adalah jumlah telur yang dinyatakan dalam satuan telur per gram (eggs per gram).
            Selain dengan pemeriksaan tinja, diagnosis T. trichiura dapat dilakukan dengan teknik colonoscopy. Namun, colonoscopy merupakan teknik yang kurang biasa digunakan. Colonoscopy biasanya dilakukan untuk evaluasi jika muncul gejala gastrointestinal non-spesifik seperti sakit perut, diare, dan anemia. Colonoscopy dilakukan seperti pada endoskopi, yaitu melihat keadaan pada usus individu dengan bantuan alat yang akan memvisualisasikan keadaan usus di dalam tubuh individu. Jika terdapat infeksi, maka hasil colonoscopy akan menunjukkan adanya cacing T. trichiura yang menempel pada usus, seperti gambar berikut:
  
c. Gejala Klinis Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus (Cacing Tambang)        Dapat menimbulkan gejala akut yang berhubungan dengan migrasi larva melalui kulit dan viseral, serta gejala akut dan kronik yang disebabkan oleh infeksi parasit di saluran pencernaan oleh cacing dewasa. Larva filariform (larva stadium tiga) yang menembus kulit dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan sindrom kutaneus berupa ground itch, yaitu eritema dan papul lokal yang diikuti dengan pruritus pada tempat larva melakukan penetrasi. Setelah melakukan invasi pada kulit, larva tersebut bermigrasi ke paru-paru dan menyebabkan pneumonitis. Pneumonitis yang disebabkan oleh infeksi larva cacing tambang tidak seberat pada infeksi larva Ascaris lumbricoides.
            Manusia yang belum pernah terpapar dapat mengalami nyeri epigastrik, diare, anoreksia, dan eosinofilia selama 30-45 hari setelah penetrasi larva yang mulai melekat pada mukosa usus halus. Infeksi larva filariform Ancylostoma duodenale secara oral dapat menyebabkan sindrom Wakana, yang ditandai dengan gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, dispepsia, dan serak.
            Gejala klinis yang disebabkan oleh cacing tambang dewasa dihasilkan dari kehilangan darah sebagai akibat dari invasi dan perlekatan cacing tambang dewasa pada mukosa dan submukosa usus halus. Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fe dan protein).

4. Komplikasi STH

            Cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,05-0,10 cc per hari, sedangkan Ancylostoma duodenale 0,08-0,34 cc per hari. Penyakit yang disebabkan oleh cacing tambang terjadi ketika darah yang hilang melebihi cadangan nutrisi hospes, dan akan menyebabkan anemia defisiensi besi. Anemia yang disebabkan oleh cacing tambang menyebabkan gambaran eritrosit mikrositik hipokromik dengan gejala pucat, lemah, dipsnoe, terutama pada anak malanutrisi. Kehilangan protein yang kronis dari infeksi berat cacing tambang dapat menyebabkan hipoproteinemia dan edema anasarka. Infeksi sedang dan anemia dapat mengganggu fisik, kognitif, dan intelektual pada anak yang sedang bertumbuh. Pada banyak kasus infeksi berat, anemia yang disebabkan oleh cacing tambang dapat menyebabkan gagal jantung kongestif.  (Muslim, 2009)

5. Pencegahan Penyakit

a. Promotion
Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna serta hygiene keluarga dan hygiene pribadi seperti : 
1) Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.
2) Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci terlebih dahulu dengan menggunkan sabun dan air mengalir.
3) Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat.
4) Ajarkan masyarakat menggunakan fasilitas jamban yang memenuhi syarat kesehatan.
5) Mengajarkan kepada masyarakat agar tidak membuang feses outdors.
6) Mengajarkan kepada masyarakat untuk tidak kontak langsung dengan tanah tanpa menggunakan pelidung diri (sarung tangan) apalagi dengan tanah yang terkontaminasi feses.

b. Specifik Protection
1) Sediakan fasilitas yang cukup memadai untuk pembuangan kotoran yang layak dan cegah kontaminasi tanah pada daerah yang berdekatan langsung dengan rumah, terutama di tempat anak bermain.
2) Di daerah pedesaan, buatlah jamban umum yang konstruksinya sedemikian rupa sehingga dapat mencegah penyebaran telur cacing melalui aliran air, angin, dan lain-lain. Kompos yang dibuat dari kotoran manusia untuk digunakan sebagai pupuk kemungkinan tidak membunuh semua telur.
3) Lakukan kegiatan pemberian obat cacing secara berkala di masyarakat melalui unit pelayanan kesehatan dasar (PUSKESMAS).
4) Di daerah endemis, jaga agar makanan selalu di tutup supaya tidak terkena debu dan kotoran. Makanan yang telah jatuh ke lantai jangan dimakan kecuali telah dicuci atau dipanaskan.
5) Ketika bepergian ke negara yang sanitasi dan higienisnya jelek, hindari makanan yang mungkin berkontaminasi dengan tanah.

c. Early Diagnosis and Promt Treatment
1) Melakukan pemerikasaan kesehatan secara berkala di unit pelayanan kesehatan agar mengetahui kondisi kesehatan dan bisa mencegah terkena infeksi cacing .
2) Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada untuk meningkatkan status kesehatan. Bisa dengan berkonsultasi dengan tenaga kesehatan agar memperoleh informasi tentang diagnosa penyakit dini.
d. Disabillity Limitation
            Investigasi kontak dan sumber infeksi : cari dan temukan penderita lain yang perlu diberikan pengobatan. Perhatikan lingkungan yang tercemar yang menjadi sumber infeksi terutama disekitar rumah penderita. Penderita penyakit askariasis tidak perlu di isolasi ataupun di karantina karena tidak akan membahayakan orang lain dan dirinya sendiri.
            Untuk penaganan wabah di daerah endemis tinggi cukup dengan pemberian penyuluhan tentang sanitasi lingkungan dan higiene perseorangan yang baik serta pengobatan massal kepada kelompok resiko tinggi. (Suriptiastuti, 2006)

6. Pengobatan

            Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau masal pada masyarakat. Untuk perorangan dapat diberikan piperasin dosis tunggal untuk dewasa 3-4gram, anak 25mg/kgBB; pirantel pamoat dosis tunggal 10mg/kgBB; mebenzadol 2×100mg/hr selama 3hr atau 500mg dosis tunggal; albenzadol dosis tunggal 400mg.
            WHO menyarankan strategi pemberantasan difokuskan pada penduduk dengan resiko tinggi termasuk pengobatan pada masyarakat (juga terhadap Trichuris trichura dan cacing tambang). Pengobatan dibedakan berdasarkan prevalensi dan beratnya penyakit infeksi:
1) Pengobatan masal pada wanita (sekali setahun termasuk wanita hamil) dan anak prasekolah usia diatas satu tahun (2 kali setahun). Pengobatan massal untuk anak sekolah diberikan apabila lebih dari 10% menunjukkan adanya infeksi berat (> 50.000) telur askariasis/gram tinja tanpa melihat angka prevalensinya.
2) Pengobatan massal setahun sekali untuk risiko tinggi (termasuk wanita hamil) apabila prevalensinya > 50% dan infeksi berat pada anak sekolah < 10%.
3) Pengobatan individual, apabila prevalensinya < 50% dan infeksi berat pada anak sekolah < 10%. (Suriptiastuti, 2006)


No comments: