Monday, March 26, 2018

Infeksi Intrauterine


PENYAKIT INFEKSI DALAM KEHAMILAN DAN NIFAS

INFEKSI INTRAUTERIN


ANJELINA PUSPITASARI        1420332011
NURSYAHID SIREGAR            1420332013
SUCI RAHMANI NURITA        1420332029
RIKA ARMALINI                       1420332040


DOSEN MATA KULIAH
dr.Hj.Desmiwarti, SpOG (K)



PASCA SARJANA KEBIDANAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS PADANG
TA. 2015/2016





KATA PENGANTAR


Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang maha pengasih dan penyayang yang telah memberikan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini tentang “Infeksi Intrauteri”.
Makalah ini merupakan salah satu tugas yang di berikan kepada penulis dalam rangka meningkatkan pemahaman terhadap mata kuliah “Penyakit infeksi dalam kehamilan dan nifas”. Penulis mengharapkan dengan adanya makalah  ini, dapat menjadi energi teleologis dalam penunjang pemahaman akan pentingnya pengetahuan tentang Infeksi Intrauteri
Akhirnya, penulis menyadari dalam penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis  menerima kritik dan saran yang menbangun agar penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.              

Padang, 13 April  2016

                                                                                              


























BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar belakang

Infeksi intrauterin atau korioamnionitis merupakan infeksi pada cairan amnion, selaput korioamnion dan atau uterus yang timbul segera sebelum atau pada saat persalinan yang disebabkan oleh bakteri. Penelitian membuktikan bahwa insiden dari infeksi intrauterin adalah 0,5-2% dari semua persalinan, penelitian lain mengemukakan insiden terjadi pada sekitar 5% kehamilan cukup bulan. Korioamnionitis dihubungkan dengan 20-40% kasus sepsis neonatal dini dan pneumonia (Tita, Alan, 2010)
Korioamnionitis merupakan penyebab terpenting terjadinya peningkatan morbiditas maternal dan mortalitas perinatal. Penelitian terakhir membuktikan adanya hubungan antara infeksi dengan kelainan neurologis termasuk serebral palsi. Selain itu juga dapat menyebabkan sepsis, respiratory distress, kejang, perdarahan intraventrikular dan berat lahir rendah. Pada ibu juga dapat menyebabkan sepsis, endometritis pasca persalinan dan infeksi luka. Infeksi intrauterin disebutkan sebagai salah satu faktor penyebab utama dari persalinan preterm. Diagnosis infeksi intrauterin atau korioamnionitis membutuhkan penanganan terminasi kehamilan yang segera, baik secara pervaginam ataupun perabdominam (Tita, Alan, 2010)
. Sampai saat ini ketuban pecah dini (KPD) preterm masih merupakan masalah di dunia termasuk Indonesia, yang terkait dengan prevalensi, prematuritas, morbiditas dan mortalitas perinatal.
Pecahnya selaput ketuban secara spontan pada saat belum inpartu atau bila diikuti satu jam kemudian tidak timbul tanda persalinan pada umur kehamilan 28 minggu sampai 37 minggu ini merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas pada persalinan preterm terbanyak. Diketahui prevalensi dari KPD preterm di dunia adalah 3 - 4,5 % kehamilan dan merupakan penyumbang 6 - 40 % persalinan preterm atau prematuritas. Prematuritas yang diawali oleh KPD preterm menyebabkan 5-60 % sepsis neonatorum, 12-15% gangguan pernafasan dan 3-22% kematian neonatal serta 10,5 % kematian perinatal (Leveno, 2009) .
Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi KPD preterm melalui studi faktor risiko. Beberapa faktor risiko KPD preterm terutama infeksi sebesar 29,4 % selain faktor serviks dan riwayat KPD preterm sebelumnya. Sementara status sosial ekonomi rendah, ras kulit hitam, merokok, defisiensi vitamin C dan zinc, indeks massa tubuh rendah (<19,8 kg/m2), perdarahan pervaginam, kehamilan multipel juga ikut berperan.Tidak semua infeksi memberikan gejala yang terkait dengan risiko terjadinya KPD preterm dimana sumber utama adalah infeksi ascenden vagina selain saluran kemih (Tita, Alan, 2010)
Menon menyatakan bahwa infeksi dalam uterus dapat berlokasi pada ruang antara desidua dan selaput ketuban, selaput ketuban sendiri, dalam cairan amnion dan janin. Dalam hal ini korioamnionitis yang merupakan inflamasi dari selaput ketuban memegang peranan utama oleh karena menginisiasi kaskade proses inflamasi. Kemokin seperti Interleukin-1β (IL-1β), IL-6 dan IL-8 secara poten menarik neutrofil yang merupakan pertahanan pertama terhadap infeksi. Beberapa tahun terakhir, infeksi saluran kemih (ISK) terkait dengan KPD preterm mendapat perhatian para peneliti. Beberapa peneiti menyatakan bahwa ISK meningkatkan risiko terjadinya KPD preterm. Sekitar 15% wanita hamil akan menderita ISK dan Nicolle melaporkan 2-14% dari wanita hamil dengan bakteriuri asimtomatis (BAS). Bakteriuri asimtomatis adalah suatu keadaan dimana ditemukan bakteri dalam urin tanpa disertai timbulnya gejala klinis (disuria, rasa panas saat berkemih, nyeri suprapubik, frekuensi, urgensi, demam, hematuria) dan pada pemeriksaan urinalisis akan ditemukan ≥ 100.000 Colony Forming Unit (CFU)/ml urin. Bakteriuri asimtomatis pada wanita hamil meningkatkan risiko terjadinya sistitis sebesar 40% dan pielonefritis sebesar 25-30%.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai infeksi intrauterin saat kehamilan atau korioamnionitis  dan saat nifas yaitu endometritis dan miometritis.

B.     Tujuan

·         Untuk mengetahui infeksi intrauterin selama masa kehamilan (korioamnionitis)
·         Untuk mengetahui infeksi intrauterin selama masa nifas yaitu endometritis dan miometritis




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Definisi korion dan amion

Korion adalah salah satu membran yang ada selama kehamilan antara janin dan ibu. Korion ini dibentuk oleh mesoderm ekstraembrionik dan dua lapisan trofoblas. Korion mengelilingi embrio dan membran lainnya. Vili korionik muncul dari korion, menyelusup ke dalam endometrium, dan memungkinkan transfer nutrisi dari darah ibu ke darah janin. (Cunningham, 2006)
Amnion adalah membran pembentuk kantung ketuban yang mengelilingi dan melindungi embrio. Peran utamanya adalah melindungi perkembangan embrio. Amnion berasal dari mesoderm somatik ekstraembrionik pada sisi luarnya dan ektoderm ekstraembrionik pada sisi dalamnya. (Cunningham, 2006)

B.     Infeksi Intrauterin Dalam Kehamilan

1.      Defenisi Korioamnionitis

Korioamnionitis merupakan infeksi jaringan membran fetalis beserta cairan amnion yang terjadi sebelum partus sampai 24 jam post partum. Insidensi dari chorioamnionitis adalah 1 – 5% dari kehamilam aterm dan sekitar 25% dari partus preterm. (Sarwono, 2010)
Korioamnionitis adalah perdarangan ketuban, biasanya berkaitan dengan pecah ketuban lama dan persalinan lama. Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana korion, amnion, dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan berlanjut menjadi sepsis. Korioamnionitis tersamar (“silent”), yang disebabkan oleh beragam mikroorganisme, baru-baru ini muncul sebagai salah satu penjelasan kasus-kasus pecah ketuban, persalinan premature, atau keduanya. Korioamnionitis meningkatkan morbiditas janin dan neonatus secara bermakna. Secara spesifik , sepsis neonatus, distress pernapasan, perdarahan intraventrikel, kejang, leukomalasia periventrikel, dan palsi serebral lebih sering terjadi pada bayi yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis. (Leveno J. 2009)

Perdisposisi:
1.      Hamil usia muda
2.      Persalinan lama atau terlantar
3.      Ketuban pecah dini/ pemeriksaan dalam berulang
4.      Infeksi pada alat genital bagian bawah ( Manuaba. 2007)
Infeksi intrauterin atau korioamnionitis merupakan infeksi secara klinis pada cairan amnion, selaput korioamnion dan atau uterus yang timbul segera sebelum atau pada saat persalinan yang disebabkan oleh bakteri. Penelitian membuktikan bahwa insiden dari infeksi intrauterin adalah 0,5-2% dari semua persalinan, dan dihubungkan dengan 20-40% kasus sepsis neonatal dini dan pneumonia. Pada kehamilan cukup bulan, insiden terjadi pada sekitar 5% kehamilan. Infeksi ini berhubungan dengan ketuban pecah dini dan persalinan lama. Sekitar 25% infeksi intrauterin disebabkan oleh ketuban pecah dini. Makin lama jarak antara ketuban pecah dengan persalinan, makin tinggi pula risiko morbiditas dan mortalitas ibu dan janin (Leveno J. 2009).
Korioamnionitis  merupakan inflamasi pada membrane fetal / selaput ketuban yang merupakan manifestasi dari infeksi intrauterine (IIU). Seringkali berhubungan dengan pecahnya selabut ketuban  yang lama dan persalinan yang lama. Hal ini dapat dilihat dengan menjadi keruhnya ( seperti awan) selaput membrane. Selain itu bau busuk dapat tercium, tergantung jenis dan konsentrasi bakteri. Ketika mono dan  leukosit  polimononuklear  (PMN) menginfiltrasi korion, dalam penemuan mikroskopik maka hal ini dikatakan korioamnionitis. Sel-sel tersbut berasal dari ibu. Sebaliknya, jika leukosit ditemukan pada cairan amnion ( amnionitis ) atau selaput plasenta ( funisitis ), sel-sel ini berasal dari fetus.  Sebelum usia 20 minggu, hampir seluruh sel PMN berasal dari ibu, namun kemudian respon inflamasi berasal dari ibu dan fetus. Pembuktian mikroskopik adanya gambaran struktur inflamasi lebih banyak ditemukan pada persalianan preterm. Para peneliti menemukan bahwa reaksi inflamasi dapat bersifat tidak spesifik dan tidak selalu terbukti terjadi infeksi pada ibu. Sebagai contoh, Yamada dan kolega menemukan bahwa cairan yang terwarna mekonium merupaka penarik kimiawi bagi leukosit. Sebaliknya, Benirschke dan Kaufmann mempercayai bahwa korioamnionitis secara mikroskopik selalu disebabkan infeksi. Korioamnionitis sering berhubungan dengan rupture membran, kelahiran preterm, ataupun keduanya. Sering kali sulit dibedakan apakah infeksi terlebih dahulu atau ruptur membran  terlebih dahulu yang terjadi (Leveno J. 2009).
Infeksi pada membran dan cairan amnion dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang bervariasi. Bakteri dapat ditemukan melalui amniosintersis transabdominal sebanyak 20% pada wanita dengan persalinan preterm tanpa manifestasi klinis infeksi dan dengan membrane fetalis yang intak. Produk viral juga ditemukan . Infeksi tidak terbatas pada cairan amnion. Pada penelitian yang dilakukan pada 609 wanita dengan sectio caesarea dengan membrane yang intak, Hauth dan rekan kerja mengkonfirmasi bahwa organism dari korioamnion meningkat secara signifikan dalam persalinan spontan preterm. Proses penyembuhan dari bakter patogen juga berhubungan secara terbalik dengan usia kehamilan (Leveno J. 2009).
Infeksi intrauterin merupakan infeksi pada cairan amnion, selaput korioamnion dan atau uterus yang timbul sebelum atau pada saat persalinan yang diakibatkan oleh bakteri maupun virus. Infeksi intrauterin yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang terjadi pada periode organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Infeksi menyebabkan perlekatan meninges. Secara patologis terlihat penebalan jaringan piamater dan arachnoid di sekitar sisterna basalis dan daerah lain. Di samping mengganggu aliran LCS, infeksi dapat menyebabkan kerusakan parenkim otak. Proses lanjut dari lesi-lesi ini terjadi pada kehamilan trimester kedua. Beberapa infeksi selama kehamilan yang dapat menyebabkan sejumlah kelainan bawaan adalah:
·         Cytomegalovirus
M. Baris Petrikavslay, meneliti bahwa prevalensi cytomegalovirus terdeteksi dengan USG lebih tinggi dalam cairan ketuban dari janin dengan anomali kongenital. Serangan virus ini biasanya asimtomatis namun efeknya pada janin dapat menyebabkan meningocephalitis yang berakibat pada keterbelakangan mental. Arakhnoiditis basalis juga dapat terjadi sebagai proses lanjut dari hidrosefalus kongenital.
·         Rubella
Virus rubella dapat menyebabkan Congenital Rubella Syndrome (CRS) pada bayi yang baru lahir yang ditandai dengan defek pada cerebral, opthalmic, auditori, keterbelakangan mental dan cerebral palsy.
·         Varicella
Sebuah penelitian di Turki menyebutkan bahwa virus Varicella dapat menyebabkan cacat lahir dengan persentase sebesar 20%. Sindroma varicellakongenital ditandai dengan mikrosefalus dan sindroma Down.
·         Toxoplasmosis
Penyakit ini menular melalui konsumsi daging yang kurang matang dan mengandung kista dari parasit protozoa Toxoplasma Gondii. Infeksi toksoplasmosis sekunder dapat menyebabkan stenosis akuaduktus, kerusakan rongga subarachnoid dan parenkim otak. Ciri infeksi Toxoplasmosis adalah kalsifikasi serebral, gangguan pendengaran, ketidakmampuan belajar, sindroma Down dan cerebral palsy. Perempuan yang sebelumnya pernah terinfeksi toksoplasma kemudian sembuh dan membentuk antibodi terhadap patogen tersebut, dapat diperkirakan bayinya tidak akan mengalami kecacatan saat lahir.
·         Herpes genitalis
Infeksi virus ini jika ditularkan kepada bayinya sebelum atau selama proses persalinan berlangsung, bisa menyebabkan kerusakan otak, cerebral palsy, serta kematian bayi. Infeksi virus intrauterine juga dapat menghasilkan stenosis akuaduktus diikuti oleh hidrosefalus.

Menurut Gibbs dkk (1999), infeksi intrauterin dapat diketahui dengan melihat tandatanda sebagai berikut:
    • takikardia ibu (>120 kali/menit),
    • takikardia janin (>160 kali/menit),
    • temperatur tubuh diatas 38oC,
    • kedinginan,
    • uterus teraba tegang,
    • cairan vagina purulen dan berbau busuk,
    • leukositosis ibu (15.000-18.000 sel/mm3).

2.      Etiologi

Infeksi pada membran dan cairan amnion dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang bervariasi. Bakteri dapat ditemukan melalui amniosintesis transabdominal sebanyak 20% pada wanita dengan persalinan preterm tanpa manifestasi klinis infeksi dan dengan membrane fetalis yang intak. (Tita, Alan, 2010)
Sebabnya terjadi akibat infeksi asenden, bakteri yang sering menimbulkan : Jenis bakterioides, jenis prevotella, streptokokus grup B, escherichia coli, virus-hematogen-transplasenta. ( Manuaba. 2007)
            Penyebab korioamnionitis adalah infeksi bakteri yang terutama berasal dari traktus urogenitalis ibu. Secara spesifik permulaan infeksi berasal dari vagina, anus, atau rektum dan menjalar ke uterus. Angka kejadian korioamnionitis 1-2 % Faktor resiko terjadinya korioamninitis adalah kelahiran prematur atau ketuban pecah lama. Mycoplasma genital, seperti ureaplasma urealyticum dan mycoplasma hominis (genital mycoplasma), organisme ini memicu efek reaksi inflamasi mempengaruhi ibu dan fetus khususnya pada umur kehamilan preterm. Biasanya organisme ini terisolasi dalam cairan amnion pada persalinan preterm atau pada ketuban pecah dini tanpa tanda-tanda korioamnionitis. Genital mycoplasma ditemukan pada traktus genital bawah (vagina atau servik) sedangkan keberadaannya di traktus genital atas (uterus dan atau tuba falopi) dan korioamnion sangat jarang terjadi (<5%) pada saat tidak saat bersalin atau ketuban pecah. (Tita, Alan, 2010)
Bakteri anaerob lainnya yang dapat menyebabkan korioamnionitis seperti Gardnerella vaginalis dan bacteroides, bakteri aerob lainnya termasuk Group B Streptococcus (GBS 15 %) dan bakteri gram negatif termasuk Escherichia coli. Organisme-organisme ini merupakan flora normal vagina dan flora normal enterik. Biasanya korioamnionitis disebabkan oleh penyebaran secara hematogen ke placenta karena bakteri dan virus. (Tita, Alan, 2010)

3.      Patofisiologi

Patogenesis korioamnionitis disebabkan oleh organisme yang menginfeksi korioamnion dan atau tali pusat lalu menjalar ke plasenta. Mulainya infeksi biasanya disebabkan oleh  infeksi secara retrograde atau ascending  dari traktus genitalia bawah (cervix dan vagina). Penyebaran secara hematogen atau tranplacental dan infeksi iatrogenic karena komplikasi dari amniosintesis atau sampling korionik villous jarang menimbulkan infeksi. Infeksi anterograde bermula dari peritoneum via tuba falopi. Adanya infeksi dari mikroorganisme memicu respon inflamasi dari maternal dan fetal sehingga melepaskan kombinasi proinflamasi dan inhibisi sitokin dan chemokines dari ibu dan janinnya. Respon inflamasi mungkin menimbulkan tanda-tanda korioamnionitis dan atau dapat memicu pelepasan prostaglandin, pematangan servik, perlukaan membrane dan persalinan aterm atau preterm pada umur kehamilan dini. Selain dapat menimbulkan infeksi dan sepsis pada fetus, respon inflamasi fetus dapat menimbulkan kerusakan pada serebral pada white matter, yang akhirnya dapat menyebabkan cerebral palsy dan kelainan neurological jangka pendek dan jangka panjang lainnya. (Tita, Alan, 2010)
            Mekanisme pertahanan tubuh tidak bisa secara adekuat mencegah infeksi intramnion, namun mekanisme pertahanan local memerankan peran penting dalam pencegahan infeksi. Mucous plug yang terdapat di cervical serta mucous yang terdapat di placenta dan membrannya memberikan perlindungan barier untuk mencegah infeksi dari carian amnion dan fetus. Lactobacillus yang memproduksi peroxide dan berkoloni di jalan lahir yang merupakan flora normal juga dapat menahan virulensi mikroorganisme pathogen. (Tita, Alan, 2010)
Setiap kehamilan dengan korioamnionitis merupakan faktor risiko penyebab prematuritas dan ketuban pecah dini. Banyak penelitian yang menghubungkan antara korioamnionitis dengan persalinan prematur. Teori yang paling banyak dipergunakan saat ini adalah teori invasi bakteri dari ruang koriodesidua, yang memulai terjadinya proses persalinan preterm. Hal ini dikarenakan pelepasan endotoksin dan eksotoksin oleh bakteri akan mengakitivasi desidua dan membran fetus untuk memproduksi beberapa sitokin, yang diantaranya tumor nekrosis factor-α (TNF- α), interleukin-1α, interleukin-1β, interleukin-6, interleukin-8, dan granulosite coloni stimulating factor (GCsF). Kemudian seluruh sitokin, endotoksin dan eksotoksin akan menstimulasi sintesis prostaglandin yang akan terakumulasi dengan sintesis dan pelepasan metaloprotease dan komponen bioaktif lainnya. Prostaglandin akan menstimulasi kontraksi uterus sementara metaloprotease akan menyerang membran korioamnion yang akan menyebabkan pecahnya membran. Metaloprotease akan membentuk kolagen di serviks yang menyebabkan terjadinya perlunakan serviks (Alexander,2009).
Persalinan prematur disebabkan akibat janin itu sendiri. Pada janin yang terinfeksi terjadi peningkatan kadar sekresi kortikotropin akibat peningkatan dari corticotropin releasing hormone (CRH) dari hipotalamus janin dan juga produksi CRH dari plasenta. Hal ini akan meningkatkan kadar produksi adrenal janin berupa peningkatan kortisol yang berhubungan dengan peningkatan kadar prostaglandin ((Alexander,2009).).

4.      Manifestasi Klinik

   Koriomnionitis tidak selalu menimbulkan gejala. Bila timbul gejala antara lain demam, nadi cepat, berkeringat, uterus pada perabaan lembek, dan cairan berbau keluar dari vagina. Diagnosis korioamninitis ditegakkan dengan pemeriksaan fisik, gejala-gejala tersebut di atas, kultur darah, dan cairan amnion. Kesejahteraan janin dapat diperiksa dengan ultrasound dan kardiotokografi. (Sarwono, 2010)

Korioamnionitis secara klinis bermanifestasi sebagai demam pada ibu dengan suhu 38 celcius atau lebih, biasanya berkaitan dengan pecah ketuban. Demam pada ibu selama persalinan atau setelah ketuban pecah biasanya disebabkan oleh korioamnionitis kecuali dibuktikan lain. Demam sering disertai oleh takikardi ibu dan janin, lokia berbau busuk, dan nyeri tekan fundus. Leukositosis material semata-mata tidak dapat diandalkan untuk mendiagnosis korioamnionitis. (Tita, Alan, 2010)

Tabel 1 Parameter klinis yang digunakan untuk mendiagnosis korioamnionitis
 (Tita, Alan, 2010)
Demam
Temperatur > 38 C
Maternal Takikardi
>100/menit
Fetal Takikardi
>160 / menit
Nyeri tekan pada fundus
Nyeri pada palpasi
Lochea
Lochea yang bau.


PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dasar diagnosis korioamnionitis
1.      Perut tegang dan tersa nyeri dan nyeri tekan
2.      Ibu hamil dan janin mengalami takikardi
3.      Gejala infeksi umumnya: demam, dapat disertai mual muntah
4.      Cairan yang dikeluarkan: mikropurulen, berbau
5.      Pemeriksaan laboratorium: leukositosis, pewarnaan gram bakterimultiform memberikan hasil positif, kultur pertumbuhan bakteri jamak.
(Manuaba. 2007)
Uji laboratorium untuk diagnosis seperti pemeriksaan hapusan Gram atau kultur pada cairan amnion biasanya tidak dilakukan. Pemeriksaan amniosentesis biasanya dilakukan pada persalinan preterm yang refrakter (supaya dapat diputuskan apabila tokolisis tetap dilanjutkan atau tidak) dan pada pasien yang PROM (apakah induksi perlu dilakukan).  Indikasi lain dari
amniosentesis adalah untuk mencari differential diagnosis dari Infeksi intramnion, prenatal genetic studies, dan memperediksi kematangan paru.
(Tita, Alan, 2010)

Tabel 2 Parameter Cairan Amniotik (Tita, Alan, 2010)
Kultur
Pertumbuhan mikroba
Pewarnaan gram
Bakteri atau leukosit
Kadar glukosa
<15 mg/dl
IL-6
>7,9 mg/ml
Matrix metalloproteinase
Hasilnya positif
Jumlah leukosit
>30/mm
Leukosit esterase
Positif (dipstick)
Tabel 6.1 (Tita, Alan, 2010)

5.      Prognosis

            Usahakan diagnosis dini untuk korioamnionitis. Hal ini berhubungan dengan prognosis, segera lahirkan janin. Bila kelahiran prematur, keadaan ini akan memperburuk prognosa janin. (Sarwono, 2010)   Hasil penelitian Alexander JM, Gilstrap LC, Cox SM, McIntire DM, dan Leveno KJ menunjukkan adanya hubungan antara indeks korioamnionitis dan beberapa klinis morbiditas neonatal pada bayi berat badan lahir sangat rendah. (JM, Alexander)  Korioamnionitis tampaknya membuat bayi berat lahir sangat rendah sangat rentan terhadap kerusakan neurologis. Komplikasi jangka pendek bagi neonatus yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis adalah resiko infeksi tinggi. Morbiditas kelainan neurologi pada neonatus lebih dikarenakan komplikasi pada saat persalinan, bukan karena komplikasi karena korioamnionitis. (JM, Alexander).
Grether dan Nelson (1997) meneliti anak dengan berat lahir lebih dari 2500 g dan menemukan peningkatan risiko cerebral palsy sebesar sembilan kali lipat baik dengan demam maternal intrapartum atau koriamnionitis, Mereka memperhatikan risiko sembilan belas kali lipat jika terjadi infeks neonatus (Cunningham, 2012).

Wu, dkk (2003), baru-baru ini meneliti lebih dari 231.500 bayi lahir tunggal pada usia > 36 minggu dan melaporkan peningkatan cerebral palsy empat kali lipat dengan koriamnionitis klinis (Cunningham, 2012).
Karena adanya hubungan antara persalinan yang lama dengan infeksi pascapartum  ibu, sebagian klinisi telah menunjukkan bahwa infeksi itu sendiri berperan dalam aktivitas uterus yang abnormal. Satin, dkk meneliti efek koriamnionitis terhadap stimulasi oksitosin pada 266 kehamilan. Infeksi yang terlambat didiagnosis saat persalinan, diketahui sebagai petanda pelahira caesar untuk distosia sementara keadaan ini tidak dijumpai pada perempuan yang didiagnosis mengalami koriamnionitis dini pada persalinan (Cunningham, 2012).
           

6.      Faktor Risiko


Ada beberapa faktor risiko yang diketahui terkait dengan korioamnionitis. Faktor risiko yang ditunjukkan dalam Kotak 2.(Clark T.Johnson, 2014)

Box 2
A list of reported risk factors for the development of chorioamnionitis

Obstetric Risk Factors forChorioamnionitis
Prolonged Labor
Prolonged Rupture of Membranes (PROM)
Prolonged Labor
Nulliparity
History of chorioamnionitis in priorpregnancy
Group B Streptococcus Colonization
Bacterial Vaginosis
Sexually Transmitted Diseases
Other Genital Tract infection
Meconium stained fluid
Multiple digital examinations
Fetal Scalp Electrodes (FSEs)
Intrauterine Pressure Catheters
Epidural Anesthesia
Tobacco Use
Alcohol Use

7.      Penatalaksanaan

   Penatalaksanaan korioamnionitis terdiri atas pemberian antimikroba, antipiretik, dan pelahiran janin, sebaiknya melalui vagina. Terapi antibiotik harus dapat memberi perlindungan terhadap lingkungan polimikroba yang terdapat di vagina dan serviks. Salah satu regimen korioamnionitis adalah ampicilin 2 g IV setiap 6 jam atau 3 x 1000 mg, dan gentamisin, 2 mg/kg dosis awal serta selanjutnya 1,5 mg/kg intravena setiap 8 jam atau 5mg/kgBB/hari. Klinadamisin, 900 mg setiap 8 jam, dapat diberikan apabila pasien direncanankan untuk operasi sectio caesar. Untuk pasien dengan alergi terhadap penisilin dapat diberikan vancomycin. Antibiotik biasanya dilanjutkan setelah persalinan sampai wanita yang bersangkutan tidak demam dan asimptomatik selama 24 – 48 jam post partum. (Levono, Kenneth,2009)
Bila janin telah meninggal upayakan persalinan pervaginam, tindakan perabdominam (seksio sesarea) cenderung terjadi sepsis. Lakukan induksi atau akselerasi persalinan. Berikan uterotonika supaya kontraksi uterus baik pasca persalinan. Hal ini akan mencegah / menghambat invasi mikroorganisme melalui sinus-sinus pembuluh darah pada dinding uterus. (Tita, Alan, 2010) 

8.      Pencegahan

   Manajemen dari Preterm Premature Rupture Membrane (PPROM)  adalah penyebab utama terjadinya korioamnionitis. Pemberian antibiotik profilaksis atau latency, biasanya ampicillin dan eritromisin telah diuji dalam menurunkan angka kematian neonatus, penyakit paru kronis,atau hasil ultrasound cerebral yang abnormal. Antibiotic telah menunjukkan menurunkan
insiden korioamnionitis dan sepsis neonatus dan pada persalinan dengan partus lama dengan ketuban pecah dini kecuali pada persalinan fase aktif dengan ketuban utuh. Amoksisilin / klavulanik kombinasi antibiotic harus dihindari untuk indikasi ini karena potensial meningkatkan resiko necrotizing enterocolitis.
(Tita, Alan, 2009)
   Percobaan lain besar yang dilakukan oleh Institut Kesehatan Nasional dan Pembangunan Manusia Maternal-Fetal Medicine Unit (NICHD MFMU) jaringan di akhir 1990-an menyarankan untuk memberi eritromisin dalam mengurangi hasil perinatal yang merugikan termasuk kematian perinatal dan morbiditas serta infeksi maternal. Tidak ada tindak lanjut jangka panjang dari studi ini. Standar yang biasa di AS tetap memberikan antibiotik spektrum luas biasanya melibatkan makrolida (eritromisin atau azitromisin) dan ampisilin selama 7-10 hari melalui intravena (2 hari) diikuti oleh rute oral. Induksi persalinan dan kelahiran dini untuk PPROM setelah usia kehamilan 34 minggu dianjurkan, karena dibandingkan dengan manajemen infeksi saat masih hamil, melahirkan dengan cepat dapat mengurangi infeksi ibu dan  mengurangi perawatan intensif pada neonatal tanpa meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal. (Tita, Alan, 2009)
   Namun kini sedang berlangsung uji coba untuk mengetahui manfaat dari induksi persalinan sebelum 37 minggu dalam kasus PPROM. Pada ketuban pecah dini (> 18 jam), antibiotik profilaksis tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan pada ibu yang tidak terinfeksi GBS, namun CDC merekomendasikan terapi profilaksis untuk GBS jika status GBS tidak diketahui. Dalam salah satu uji coba secara acak penggunaan antibiotik profilaksis intrapartum (ampisilin / sulbaktam) pada ibu hamil dengan air ketuban bercampur mekonium, dapat menurunkan risiko korioamnionitis. (Tita, Alan, 2009)

9.      Komplikasi

Komplikasi Maternal
   Chorioamnionitis dapat meningkatkan 2-3 kali lipat persalinan secara perabdominan dan 2-4 kali lipat terjadinya endomyometritis, infeksi perlukaan, abses pelvik, bakteremia, dan post partum hemorragic. Peningkatan terjadinya post partum hemorrage kelihatannya disebabkan oleh kontraksi uterus yang disfungsional karena adanya inflamasi. 10% ibu dengan korioamnionitis memiliki hasil kultur darah yang positif (bakteremia) sebagian besar oleh bakteri GBS dan E.coli. Namun komplikasi lainnya seperti DIC, ARDS, septic shock, kematian maternal jarang terjadi. (Tita, Alan, 2010)

Komplikasi Fetus
   Paparan infeksi pada fetus dapat menimbulkan kematian fetus, sepsis neonatus, dan beberapa komplikasi postnatal lainnya. Respon fetus terhadap infeksi yang disebut Fetal Inflammatory Response Syndrome (FIRS) dapat menyebabkan komplikasi berikut ini. FIRS merupakan kebalikan proses dari Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS). Karena parameternya hampir sama dengan SIRS, maka agak sulit membedakannya dengan yang terjadi pada fetus, FIRS sebenarnya dapat dideteksi bila terjadi peningkatan IL-6 pada darah umbilical (tali pusat) yang biasanya didapatkan pada persalinan preterm dan PPROM namun kadang dapat muncul pada umur kehamilan aterm. Penunjuk histopatologik dari FIRS adalah funisitis dan korionik vaskulitis. FIRS sekarang dikenal sebagai representasi respon pertahanan fetus terhadap infeksi atau mediasi perlukaan yang dapat melepas sitokin dan chemokines seperti interleukins, TNF-alpha, C-reactive protein, dan matriks melloproteinases. FIRS juga dihubungkan dengan persalinan preterm yang dapat menimbulkan kematian dan berhubungan pada neonatus preterm dengan kegagalan multi organ, termasuk penyakit paru kronis, leukomalasia periventrikular  dan cerebral palsy. Meski FIRS dapat ditimbulkan oleh inflamasi non infeksis, namun manifestasinya biasanya lebih terlihat pada proses infeksi. Meski kontoversial, paparan fetus pada mycoplasma genital ( U. Urealyticum dan M. Hominis) memiliki hubungan dengan sindrom respon sistem inflamasi, pneumonia. (Tita, Alan, 2009)

            Komplikasi jangka panjang untuk neonatus
Neonatus yang terpapar oleh infeksi intrauterin dan inflamasi dapat menampakkan efek advers saat atau segera setelah lahir. Efek advers yang muncul termasuk kematian perinatal, asfiksi, sepsis neonatus dini, septic shock, pneumonia, intraventrikular hemorrhagic (IVH), kerusakan serebral di white matter, dan kelumpuhan jangka panjang termasuk cerebral palsy. (Tita, Alan, 2010)      

10.  Morbiditas Dan Mortalitas Akibat Korioamnionitis

Korioamnionitis mengakibatkan mortalitas perinatal yang signifikan, terutama pada neonatus dengan berat badan lahir rendah, dimana terjadi peningkatan 3-4x lipat kematian perinatal diantara neonatus dengan berat lahir yang rendah yang dilahirkan dari ibu yang menderita korioamnionitis. Selain itu terjadi juga kejadian respiratory distress syndrome (RDS), perdarahan intraventrikular, dan sepsis neonatal atau meningitis. Janin memiliki risiko tinggi terhadap kejadian pneumonia neonatal ataupun kongenital akibat aspirasi cairan amion yang terinfeksi. Korioamnionitis dihubungkan dengan 20-40% kasus sepsis neonatal dan pneumonia.
Korioamnionitis merupakan penyebab nyata terjadinya morbiditas maternal,  namun jarang mengakibatkan mortalitas maternal. Bakteremia dapat terjadi pada 2-5% kasus. Infeksi intrapartum meningkatkan risiko infeksi puerpuralis pada persalinan pervaginam menjadi 13%, dibandingkan dengan persalinan yang tidak disertai dengan infeksi intrapartum hanya 6%. Pada ibu korioamnionitis dapat mengakibatkan metritis, peritonitis, sepsis hingga kematian ibu.

C.    Infeksi Intrauterin Pascasalin

Enam sampai delapan minggu setelah persalinan, ibu bisa mengalami gejala-gejala yang ringan dan bersifat sementara karena tubuhnya kembali menyesuaikan dengan keadaan sebelum hamil. 24 jam pertama denyut nadinya turun dan suhu tubuh agak meningkat. Dari vagina keluar cairan berdarah selama 3-4 hari, lalu warnanya menjadi kecoklatan sampai hari ke 10-12 dan akhirnya menjadi putih kekuningan (sarwono,2009).
Setelah persalinan, rahim yang membesar terus berkontraksi dan ukurannya semakin mengecil sampai kembali ke ukuran normal. Kontraksi yang tidak teratur ini seringkali menimbulkan nyeri dan bisa diatasi dengan analgetik (obat pereda nyeri). Nyeri berlangsung selama 5-7 hari dan semakin bertambah pada saat menyusui karena kontraksi rahim juga dirangsang oleh hormon oksitosin yang secara alami dilepaskan pada saat menyusui (Sarwono, 2009).
Setelah 5-7 hari, rahim kembali keras dan tidak lembek, tetapi masih tetap bisa dirasakan oleh dokter pada pemeriksaan abdomen. Pada minggu ke 2 setelah persalinan, pada pemeriksaan abdomen, rahim tidak dapat lagi dirasakan. Pada awal pembentukan air susu, payudara akan terisi penuh oleh air susu sehingga menjadi keras dan sakit. Ibu yang tidak menyusui biasanya akan kembali mengalami ovulasi (pelepasan sel telur) 4 minggu setelah persalinan. Ibu yang menyusui cederung mengalami ovulasi lebih lambat, biasanya 10-12 minggu setelah persalinan. Hubungan seksual bisa dilakukan setelah ibu merasa siap. Sebaiknya digunakan alat kontrasepsi untuk menghindari kemungkinan terjadinya kehamilan (Sarwono,2009).
Infeksi Post-partum adalah infeksi yang terjadi pada ibu yang baru melahirkan. Jika suhu tubuh pada 2 kali pemeriksaan yang dilakukan 24 jam setelah persalinan dengan selang waktu 6 jam mencapai 380 Celsius dan tidak ditemukan penyebab lainnya (misalnya bronkitis), maka dikatakan bahwa telah terjadi infeksi post-partum.
Infeksi yang secara langsung berhubungan dengan proses persalinan adalah infeksi rahim, daerah sekitar rahim atau vagina. Infeksi ginjal juga bisa terjadi segera setelah persalinan. Penyebab lain dari demam yang cenderung terjadi 4 hari atau lebih setelah persalinan adalah bekuan darah di dalam tungkai atau infeksi payudara (Workowski,2015).

Infeksi Rahim
Infeksi post-partum biasanya berawal di rahim. Infeksi pada kantung cairan ketuban dan demam selama proses persalinan bisa menyebabkan endometritis (infeksi lapisan rahim), miometritis (infeksi otot rahim) atau parametritis (infeksi daerah di sekitar rahim) (Workowski,2015).
Infeksi uterus pascapartum sering disebut dengan berbagai nama yaitu endometritis, endomiometritis, dan endoparametritis (Cunningham, 2012).
Pada berbagai keadaan berikut, wanita semakin rentan terhadap terjadinya infeksi (sehingga bakteri yang dalam keadaan normal hidup di dalam vagina, setelah persalinan bisa menyebabkan infeksi):
* Anemia
* Pre-eklamsi
* Pemeriksaan vagina berulang kali
* Penundaan persalinan selama lebih dari 6 jam setelah ketuban pecah
* Persalinan yang lama
* Operasi sesar
* Tertinggalnya bagian plasenta di dalam rahim setelah persalinan
* Perdarahan hebat setelah persalinan.

Gejalanya berupa:
·         menggigil
·         sakit kepala
·         merasa tidak enak badan
·         wajah pucat
·         denyut jantung yang cepat
·         peningkatan jumlah sel darah putih
·         rahimnya lunak, membengkak dan nyeri bila ditekan
·         cairan yang keluar dari rahim berbau busuk.
·         Jika infeksi menyerang jaringan di sekeliling rahim, maka nyeri dan demamnya lebih hebat.
(Sarwono,2009).

Komplikasi:
·         Peritonitis (peradangan selaput rongga perut)
·         Tromboflebitis pelvika (bekuan darah di dalam vena panggul), dengan resiko terjadinya emboli pulmoner
·         Syok toksik akibat tingginya kadar racun yang dihasilkan oleh bakteri di dalam darah. Syok toksik bisa menyebabkan kerusakan ginjal yang berat dan bahkan kematian.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan paru-paru dan rahim dan hasil biakan contoh air kemih dan cairan dari rahim. Infeksi diatasi dengan pemberikan antibiotik melalui infus sampai penderita bebas demam selama 48 jam (Workowski,2015).

1.      Endometrits

a)      Pengertian

Endometritis adalah peradangan pada lapisan endometrium. Selain endometrium, peradangan mungkin melibatkan miometrium dan, kadang-kadang, parametrium. Endometritis adalah suatu peradangan endometrium yang biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri pada jaringan. Endometritis adalah infeksi pada endometrium (lapisan dalam dari rahim. Endometritis adalah suatu infeksi yag terjadi di endometrium, merupakan komplikasi pascapartum, biasanya terjadi 48 sampai 72 jam setelah melahirkan.( (Workowski,2015)

b)     Faktor risiko

Wanita sangat rentan terhadap endometritis setelah kelahiran atau aborsi. Risiko meningkat karena mulut serviks terbuka, kehadiran sejumlah besar darah dan instrumentasi partus.
Faktor risiko utama untuk endometritis obstetrik  meliputi:
·         Persalinan sesar (terutama jika sebelum 28 minggu kehamilan)
·         Prolonged rupture of membranes
·         Persalinan yang lama dengan beberapa pemeriksaan vagina
·         Severely meconium-stained amniotic fluid
·         Manual plasenta
·         Usia pasien
·         status sosial ekonomi rendah
(Workowski,2015)

Faktor risiko minor meliputi (kalsius,2012)
·         tidak adanya cervical mucus plug normal
·         pemberian  beberapa kursus kortikosteroid untuk pencegahan persalinan prematur
·         pemantauan janin internal yang terlalu lama
·          operasi berkepanjangan
·          anestesi umum
·         Anemia postpartum
Faktor-faktor berikut meningkatkan risiko endometritis secara umum:
·         Terkait servisitis sekunder untuk gonore atau infeksi Chlamydia
·         Terkait bakteri  vaginosis
·         Sering douching
·         Aktivitas seksual yang tidak aman
·         Seks bebas
·         Ektopi serviks
(kalsius,2012)

c)      Etiologi

Endometritis adalah penyakit polymicrobial yang melibatkan rata-rata 2-3 organisme. Dalam kebanyakan kasus, endometritis muncul dari infeksi asendens dari organisme yang ditemukan dalam flora normal vagina. organisme yang biasa diisolasi termasuk Ureaplasma urealyticum, Peptostreptococcus, Gardnerella vaginalis, Bacteroides bivius, dan kelompok B Streptococcus. Chlamydia telah dikaitkan dengan penyebab endometritis postpartum. Enterococcus diidentifikasi hingga 25% dari perempuan yang telah menerima sefalosporin profilaksis. Herpes dan tuberkulosis adalah penyebab yang jarang ditemukan, meskipun di beberapa negara TB bukan merupakan agen etiologi yang jarang.( McGill, Onuigbo,2012)
                        Sedang menurut Varney, H. (2001), hal-hal yang dapat menyebabkan infeksi pada wanita adalah:
·                 Waktu persalinan lama, terutama disertai pecahnya ketuban.
·                 Pecahnya ketuban berlangsung lama.
·                 Adanya pemeriksaan vagina selama persalinan dan disertai pecahnya ketuban.
·                 Teknik aseptik tidak dipatuhi.
·                 Manipulasi intrauterus (pengangkatan plasenta secara manual).
·                 Trauma jaringan yang luas/luka terbuka.
·                 Kelahiran secara bedah.
·                 Retensi fragmen plasenta/membran amnion.

d)     Klasifikasi

Endometritis dapat dibagi menjadi endometritis terkait kehamilan dan endometritis yang tidak terkait dengan kehamilan. Ketika kondisi ini tidak terkait dengan kehamilan, ini disebut penyakit radang panggul sebagai (PID). Endometritis sering dikaitkan dengan peradangan saluran tuba (salpingitis), indung telur (oophoritis), dan peritoneum pelvis (peritonitis pelvis). Centers for Disease Control and Prevention (CDC) atau Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) 2015 pengobatan pedoman penyakit menular seksual mendefinisikan PID sebagai kombinasi dari endometritis, salpingitis, tubo-ovarium abses, dan peritonitis panggul. (Kalsius,2015)

            Klasifikasi endometritis menurut Kalsius,2015:
1)            Endometritis akuta
Terutama terjadi pada masa post partum / post abortum.
Pada endometritis post partum regenerasi endometrium selesai pada hari ke-9, sehingga endometritis post partum pada umumnya terjadi sebelum hari ke-9. Endometritis post abortum terutama terjadi pada abortus provokatus.
Pada endometritis akuta, endometrium mengalami edema dan hiperemi, dan pada pemeriksaan mikroskopik terdapat hiperemi, edema dan infiltrasi leukosit berinti polimorf yang banyak, serta perdarahan-perdarahan interstisial. Sebab yang paling penting ialah infeksi gonorea dan infeksi pada abortus dan partus. Infeksi gonorea mulai sebagai servisitis akut, dan radang menjalar ke atas dan menyebabkan endometritis akut.
Pada abortus septik dan sepsis puerperalis infeksi cepat meluas ke miometrium dan melalui pembuluh-pembuluh darah limfe dapat menjalar ke parametrium, ketuban dan ovarium, dan ke peritoneum sekitarnya. Gejala-gejala endometritis akut dalam hal ini diselubungi oleh gejala-gejala penyakit dalam keseluruhannya. Penderita demam tinggi, kelihatan sakit keras, keluar leukorea yang bernanah, dan uterus serta daerah sekitarnya nyeri pada perabaan.

Penyebab lain tergantung dari virulensi kuman yang dimasukkan dalam uterus, apakah endometritis akut tetap berbatas pada endometrium, atau menjalar ke jaringan di sekitarnya. Endometritis akut yang disebabkan oleh kuman-kuman yang tidak seberapa patogen pada umumnya dapat diatasi atas kekuatan jaringan sendiri, dibantu dengan pelepasan lapisan fungsional dari endometrium pada waktu haid. Dalam pengobatan endometritis akuta yang paling penting adalah berusaha mencegah, agar infeksi tidak menjalar.
Gejalanya :
·         Demam.
·         Lochea berbau : pada endometritis post abortum kadang-kadang keluar flour yang purulent.
·         Lochea lama berdarah malahan terjadi metrorrhagi.
·         Kalau radang tidak menjalar ke parametrium atau parametrium tidak nyeri.

Terapi :
·         Uterotonika.
·         Istirahat, letak fowler.
·         Antibiotika.
·         Endometritis senilis perlu dikuret untuk menyampingkan corpus carsinoma. Dapat di beri uterotonika.

2)            Endometritis kronika
Endometritis kronika tidak seberapa sering terdapat, oleh karena itu infeksi yang tidak dalam masuknya pada miometrium, tidak dapat mempertahankan diri, karena pelepasan lapisan fungsional darn endometrium pada waktu haid. Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan banyak sel-sel plasma dan limfosit. Penemuan limfosit saja tidak besar artinya karena sel itu juga ditemukan dalam keadaan normal dalam endometrium.Gejala-gejala klinis endometritis kronika adalah
leukorea dan menorargia.
Sedangkan Pengobatannya tergantung dari penyebabnya.
Endometritis kronis ditemukan pada:
·         Pada tuberkulosis.
·         Jika tertinggal sisa-sisa abortus atau partus.
·         Jika terdapat korpus alineum di kavum uteri.
·         Pada polip uterus dengan infeksi.
·         Pada tumor ganas uterus.   
·         Pada salpingo – oofaritis dan selulitis pelvik.

Endometritis tuberkulosa terdapat pada hampir setengah kasus-kasus TB genital. Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan tuberkel pada tengah-tengah endometrium yang meradang menahun.
Pada abortus inkomplitus dengan sisa-sisa tertinggal dalam uterus terdapat desidua dan vili korealis di tengah-tengah radang menahun endometrium.
Pada partus dengan sisa plasenta masih tertinggal dalam uterus, terdapat peradangan dan organisasi dari jaringan tersebut disertai gumpalan darah, dan terbentuklah apa yang dinamakan polip plasenta.
Endometritis kronika yang lain umumnya akibat ineksi terus-menerus karena adanya benda asing atau polip/tumor dengan infeksi di dalam kavum uteri.
Gejalanya :
·         Flour albus yang keluar dari ostium.
·         Kelainan haid seperti metrorrhagi dan menorrhagi.

Terapi :
·      Perlu dilakukan kuretase.

e)      Gambaran Klinis 

Gambaran klinis dari endometritis tergantung pada jenis dan virulensi kuman, daya tahan penderita dan derajat trauma pada jalan lahir. Kadang-kadang lokhea tertahan oleh darah, sisa-sisa plasenta dan selaput ketuban. Keadaan ini dinamakan lokiometra dan dapat menyebabkan kenaikan suhu yang segera hilang setelah rintangan dibatasi. Uterus pada endometrium agak membesar, serta nyeri pada perabaan, dan lembek. Pada endometritis yang tidak meluas penderita pada hari-hari pertama merasa kurang sehat dan perut nyeri, mulai hari ke 3 suhu meningkat, nadi menjadi cepat, akan tetapi dalam beberapa hari suhu dan nadi menurun, dan dalam kurang lebih satu minggu keadaan sudah normal kembali, lokhea pada endometritis, biasanya bertambah dan kadang-kadang berbau. Hal yang terakhir ini tidak boleh menimbulkan anggapan bahwa infeksinya berat. Malahan infeksi berat kadang-kadang disertai oleh lokhea yang sedikit dan tidak berbau.
            Gambaran klinik dari endometritis:
-        Nyeri abdomen bagian bawah.
-        Mengeluarkan keputihan (leukorea).
-        Kadang terjadi pendarahan.
-        Dapat terjadi penyebaran.
-                  Miometritis (pada otot rahim).
-                  Parametritis (sekitar rahim).
-                  Salpingitis (saluran otot).
-                  Ooforitis (indung telur).
-                  Pembentukan penahanan sehingga terjadi abses.

            Menurut Varney, H, tanda dan gejala endometritis meliputi:
·                 Takikardi 100-140 bpm.Suhu 30 – 40 derajat celcius.
·                 Menggigil.
·                 Nyeri tekan uterus yang meluas secara lateral.
·                 Peningkatan nyeri setelah melahirkan.
·                 Sub involusi.
·                 Distensi abdomen.
·                 Lokea sedikit dan tidak berbau/banyak, berbau busuk, mengandung darah seropurulen.
·                 Awitan 3-5 hari pasca partum, kecuali jika disertai infeksi streptococcus.
·                 Jumlah sel darah putih meningkat. Menurut Varney, H (2001)

f)       Prognosa

Hampir 90% dari wanita yang diobati dengan peningkatan catatan rejimen disetujui dalam 48-72 jam. Keterlambatan memulai terapi antibiotik dapat mengakibatkan keracunan sistemik. Endometritis terkait dengan kematian ibu meningkat karena syok septik. Namun, kematian jarang di Amerika Serikat karena penanganan dengan antimikroba yang cepat.  Dalam Evaluasi PID dan studi klinis Kesehatan (PEACH), endometritis tidak ditemukan berhubungan dengan komplikasi selanjutnya yang berhubungan dengan kehamilan, nyeri panggul kronis, atau infertilitas. (Ness,2007)


g)      Patofisiologi

   Kuman-kuman masuk endometrium, biasanya pada luka bekas insersio plasenta, dan waktu singkat mengikut sertakan seluruh endometrium. Pada infeksi dengan kuman yang tidak seberapa patogen, radang terbatas pada endometrium. Jaringan desidua bersama-sama dengan bekuan darah menjadi nekrosis serta cairan. Pada batas antara daerah yang meradang dan daerah sehat terdapat lapisan terdiri atas lekosit-lekosit. Pada infeksi yang lebih berat batas endometrium dapat dilampaui dan terjadilah penjalaran (Hardeman,2014).
Infeksi pada endometrium, atau desidua, biasanya hasil dari infeksi asendens dari saluran genitalia bawah. Dari perspektif patologis, endometritis dapat diklasifikasikan sebagai akut dan kronis. endometritis akut ditandai dengan adanya neutrofil dalam kelenjar endometrium. endometritis kronis ditandai dengan kehadiran sel-sel plasma dan limfosit dalam stroma endometrium. Pada populasi nonobstetric, penyakit radang panggul dan prosedur ginekologi invasif adalah penyebab paling umum untuk endometritis akut. Dalam populasi obstetri, infeksi postpartum adalah penyebab awal yang paling umum (Hardeman,2014).
Endometritis kronis pada populasi obstetrik biasanya berhubungan dengan hasil konsepsi setelah melahirkan atau aborsi elektif. Pada populasi nonobstetric, endometritis kronis berhubungan dengan infeksi (misalnya, klamidia, tuberkulosis, bakteri vaginosis) (Hardeman,2014). 

h)     Komplikasi

Komplikasi endometritis yang potensial meliputi berikut ini (Ness,2007):
·         infeksi luka
·         peritonitis
·         infeksi adneksa
·         phlegmon parametrium
·         abses pelvis
·         hematoma panggul
·         septic pelvic thromboplebitis

Penyebaran infeksi dari endometrium ke tuba falopi, ovarium, atau rongga peritoneal dapat mengakibatkan salpingitis, oophoritis, lokal peritonitis, atau abses tubo-ovarium. Salpingitis kemudian mengarah ke dismotilitas tuba dan pelekatan yang mengakibatkan infertilitas, insiden yang lebih tinggi dari kehamilan ektopik, dan nyeri panggul kronis.
 

i)        Diagnosis

Diagnosis biasanya didasarkan pada temuan klinis, sebagai berikut: (Rivlin,2016) Diagnosis endometritis biasanya didasarkan pada temuan klinis, seperti demam dan nyeri perut bagian bawah. Sebagian besar kasus endometritis, termasuk mereka yang persalinan sesar, harus dilakukan rawat inap.

·         Demam
·         Nyeri perut bagian bawah
·         Berbau busuk lokia pada populasi obstetrik
·         perdarahan vagina abnormal
·         keputihan abnormal
·         Dispareunia (mungkin hadir pada pasien dengan penyakit radang panggul [PID])
·         Disuria (mungkin ada pada pasien dengan PID)
·         Rasa tidak enak

Dalam kasus postpartum, pasien datang dengan demam, menggigil, nyeri perut bagian bawah, dan lokia berbau busuk. Pasien dengan PID datang dengan nyeri perut bagian bawah, keputihan, dispareunia, disuria, demam, dan tanda-tanda sistemik lainnya. Namun, PID disebabkan oleh Chlamydia cenderung jarang, tanpa gejala konstitusional yang signifikan.

j)       Pemeriksaan fisik (Workowski,2015)

Temuan pemeriksaan fisik meliputi:
·         Demam, biasanya terjadi dalam waktu 36 jam setelah persalinan, dalam kasus endometritis obstetrik
·         nyeri perut bagian bawah
·         nyeri tekan uterus
·         Adneksa nyeri jika berhubungan dengan salpingitis
·         Lokia Berbau busuk
·         Takikardia
·         Nyeri tekan uterus adalah ciri khas dari penyakit ini.
Suhu oral 38 ° C atau lebih tinggi dalam 10 hari pertama setelah melahirkan atau 38,7 ° C dalam 24 jam pertama postpartum diperlukan untuk membuat diagnosis endometritis postpartum. Untuk PID, kriteria diagnostik minimum nyeri perut bagian bawah, nyeri gerak serviks, atau adneksa. Dalam kasus yang parah, pasien ada dengan gejala septik.

k)     Penatalaksanaan

Setelah membuat diagnosis endometritis dan tidak termasuk sumber-sumber lain dari infeksi, diberikan segera antibiotik spektrum luas. Perbaikan di catat dalam 48-72 jam. Kebanyakan kasus endometritis, termasuk mereka yang melakukan persalinan seksio sesar, harus di rawat inap. Untuk kasus-kasus ringan setelah persalinan pervaginam, antibiotik oral dapat diberikan. Wanita hamil dengan gejala bakterial vaginosis harus di beri penatalaksanaan  karena bakteri vaginosis dikaitkan dengan kehamilan yang buruk. Meskipun penangan tidak menunjukkan hasil yang adekuat, setidaknya perawatan mengurangi tanda-tanda dan gejala infeksi vagina (Brown,2012)

Terapi antibiotik 
Kombinasi klindamisin dan gentacimin secara intravena setiap 8 jam setelah dianggap sebagai kriteria standar perawatan. Beberapa studi telah menunjukkan keberhasilan yang memadai. Kombinasi dari cephalosporin dengan metronidazole adalah pilihan populer yang lain (Mackeen,2015).
Pada remaja, endometritis postaborsi mungkin disebabkan oleh organisme yang menyebabkanpenyakit pelvic  inflammatory  disease (PID).  Pengobatan awalah biasanya intravena cefoxitin dan doxycycline, dalam dosis sama seperti PID.  Kecenderungan ke arah penggunaan pengobatan tunggal dengan antibiotik spektrum yang luas telah muncul, umumnya efektif dalam 80-90% dari pasien.  Cephalosporins, penicilins spektrum luas dan flouroquinolones digunakan sebagai monoterapi.Perbaikandicatat dalam 48-72 jam di hampir 90% dari perempuan. Terapi parenteral dilanjutkan sampai dengan demam pasien berkurang selama lebih dari 24 jam. jika pasien tidak membaik dalam periode 48-72 jam, evaluasi kembali komplikasi seperti abses (Brown,2012).

2.      Miometritis / Metritis adalah radang miometrium

a)      Pengertian

            Metritis atau  miometritis adalah  infeksi uterus setelah persalinan yang merupakan salah satu  penyebab terbesar kematian ibu. Bila pengobatan terlambat atau  kurang adekuat dapat menjadi abses pelvik, peritonitis, syok septik, thrombosis vena yang dalam, emboli pulmonal, infeksi pelvik yang  menahun, dispaerunia, penyumbatan  tuba dan fertilitas. (Sarwono,2009)
Metritis atau  miometritis adalah  infeksi uterus pasca persalinan dikenal sebagai endometritis, endomiometritis, dan endoparametritis. karena infeksi yang timbul tidak hanya mengenai desidua, miometrium, dan jaringan para metrium, maka terminologi yg lebih disukai adalah metritis disertai selulitis pelvis. (Sarwono Priwirohardja,  ilmu kebidanan, 2010)
Metritis atau  miometritis adalah  infeksi uterus setelah persalinan yang merupakan salah satu  penyebab terbesar kematian ibu. Kelambatan terapi akan menyebabkan abses, peritonitis, syok, trombosis vena, emboli paru, infeksi panggul kronik, sumbatan tuba dan infertilitas. (Saifudin, 2007 )
Metritis atau  miometritis adalah  radang  miometrium. Metritis akuta biasanya terdapat pada  abortus septik atau  infeksi  post partum. Penyakit ini tidak berdiri sendiri, akan tetapi merupakan bagian dari infeksi yang lebih luas. Kuretase pada wanita dengan endometrium yang meradang dapat menimbulkan metritis akut. (Sarwono,2007)

b)     Klasifikasi  menurut (Sarwono, 2009)

·           Metritis akut
Metritis akut biasanya terdapat pada abortus septik atau infeksi postpartum. Penyakit ini tidak berdiri sendiri, akan tetapi merupakan bagian dari infeksi yang lebih luas. Kuretase pada wanita dengan endometrium yang meradang (miometritis) dapat menimbulkan metritis akut. Pada penyakit ini miometrium menunjukkan reaksi radang berupa pembengkakan dan infiltrasi sel-sel radang. Perluasan dapat terjadi lewat jalan limfe atau lewat trombofeblitis dan kadang-kadang dapat terjadi abses
·           Metritis Kronik
Metritis kronik adalah diagnosis yang dahulu banyak dibuat atas dasar menometroragia dengan uterus lebih besar dari biasa, sakit pinggang dan leukorea. Akan tetapi pembesaran uterus pada seorang multipara umumnya disebabkan oleh pertambahan jaringan ikat akibat kelamin. Bila pengobatan terlambat atau kurang adekuat dapat menjadi :
o    Abses pelvik 
o    Peritonitis
o    Syok septic
o    Dispareunia
o    Trombosis vena yang dalam
o    Emboli pulmonal
o    Infeksi pelvik yang menahun
o    Penyumbatan tuba dan infertilitas

c)      Etiologi

Miometritis atau metris ini adalah kelanjutan dari endometritis yang penyebarannya secara cepat dan tidak segera ditangani. Penyebab yang sering menimbulkan peradangan ini adalah infeksi. Radang uterus yang akuta biasanya diakibatkan oleh infeksi gonorea atau akibat infeksi pada post abortus dan postpartum. Selain itu alat – alat yang digunakan pada saat melakukan abortus atau partus tidak diperhatikan pencegahan infeksinya yang lalu digunakan pada saat abortus atau partus.
Sebab lain selain terjadinya infeksi adalah lama belum memiliki anak masa menstruasi yang melebihi dari tujuh hari, siklus menstruasi antara 2-7 hari atau lebih singkat, ada anggota keluarga yang mengalami miometritis, menderita penyakit yang dapat mempengaruhi menstruasi secara normal, menderita infeksi panggul yang dapat menyebabkan kerusakan sel. (Sarwono Priwirohardja, 2010)

d)     Patofisiologi

Pada postbortum dan postpartum sering terdapat luka – luka pada serviks Uteri, luka dinding uterus bekas tempat plasenta, yang merupakan Porte d’entrée bagi kuman-kuman pathogen. Selain itu, alat-alat yang Digunakan pada abortus dan partus tidak steril dapat membawa kuman ke dalam uterus. 

e)      Tanda/ Gejala

Tanda dan Gejala
a. Demam
b. Keluar lochea berbau, keputihan yang berbau
c. Sakit pinggang
d. Nyeri abdomen
e. Nyeri saat berhubungan seksual
f. Nyeri di daerah pelvic
g. Nyeri di punggung kaki (betis)
h. Gangguan kesuburan (keluarnya menstruasi yang lama dan banyak)
i. Gangguan buang air besar (sembelit atau kembung)
(Sarwono, 2010)

f)       Pengaruh Terhadap Nifas

·  Gangguan ketidaknyamanan
·  Kontisipasi ( susah buang air besar )
·  Sulit untuk menyusui
·  Cemas
·  Gelisah (Sarwono Priwirohardja, 2010)

g)      Pencegahan

Cara pencegahan terjadinya miometritis adalah setiap tindakan medis yang berhubungan dengan alat reproduksi terutama alat reproduksi interna. Dengan memperhatikan pencegahan infeksi  setidaknya mengurangi transmisi kuman dan juga perawatan setelah dilakukan tindakan  medis agar tidak terjadi infeksi. Tetapi jika sudah terinfeksi segera kenali gejala yang ada tangani secara dini dengan prinsip mencegah penyebaran yang meluas karena peradangan uterus meluas dengan cepat akan menimbulkan komplikas kejaringan sekitar.
Diantaranya     :
Parametritis (infeksi sekitar rahim)
Salpingitis ( infeksi saluran otot ) 
Ooforitis ( infeksi indung telur ) 
Pembentukan nanah sehingga terjadi abses pada tuba atau indung telur) (Sarwono, 2009)

h)     Penatalaksanaan

·         Menjelaskan tentang kemungkinan penyakit yang diderita.
·      Memberikan dukungan emosional kepada pasien agar pasien tenang dan dapat menerima dengan ikhlas segala sesuatu yang terjadi pada dirinya.
·         Memberikan tablet penambah darah untuk memperbaiki kadar haemoglobinnya.
·   Antibiotika spektrum luas : Ampisilin 2 g iv / 6 jam, Gentamisin 5 mg kg / BB, Metronidasol 500 mg iv / 8 jam (Lanjutkan antibiotik ini sampai ibu tidakpanas selama 24 jam )
·          Memberikan uterotonika (bila dibutuhkan)
·           Berikan transfusi darah Packed Red Cell ( bila dibutuhkan )
·            Profilaksi Antitetanus ( terapi pertimbangan)
·         Bila dicurigai ada sisa plasenta, lakukan pengeluaran baik secara digital atau kuret yang lebar.
·            Bila terdapat pus lakukan drainase
·       Bila tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif dan ada tanda peritonitis generalisata lakukan laparotomi dan keluarkan pus.bila pada evaluasi uterus nekrotik dan septik lakukan histerektomi subtotal.

Prinsip penatalaksanaan yang mendasar adalah cegah terjadinya perluasan radang kejaringan lainnya dan lakukan pengobatan yang adekuat agar tidak terjadi abses pelvik, peritonititis, syok septik, thrombosis vena yang dalam, emboli pulmonal,  infeksi pelvik yang menahun, dyspareunia, penyumbatan tuba dan infertilitas. (Sarwono, 2009)

i)        Asuhan Kebidanan

·         Menjelaskan tentang kemungkinan penyakit yang dideritanya
·         Memberikan dukungan emosional kepada pasien agar pasien tenang dan dapat menerima dengan ikhlas segala sesuatu yang terjadi pada dirinya
·         Memberikan tablet penambah darah untuk memperbaiki kadar haemoglobinnya
·         Meminta persetujuan pasien dan keluarga untuk dilakukannya rujukan
·         Mendampingi ibu saat dilakukannya rujukan
·         Uterotonika 
·         Istirahat, posisi fowler 


BAB V
KESIMPULAN


Korioamnionitis merupakan penyebab terpenting terjadinya peningkatan morbiditas maternal dan mortalitas perinatal seperti sepsis, respiratory distress, kejang, perdarahan intraventrikular dan berat lahir rendah pada bayi dan sepsis, endometritis pasca persalinan dan infeksi luka pada ibu, selain itu korioamnionitis merupakan faktor penyebab utama dari persalinan preterm.
Pilihan persalinan pada kasus korioamnionitis masih kontroversial. Persalinan perabdominam pada korioamnionitis dapat menyebabkan morbiditas ibu meningkat 5x lipat jika dibandingkan dengan persalinan pervaginam. Persalinan pervaginam lebih baik dilakukan dengan syarat persalinan dapat dicapai sebelum 12 jam setelah diagnosis korioamnionitis ditegakkan.
Endometritis adalah suatu peradangan endometrium yang biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri pada jaringan. Endometritis adalah infeksi pada endometrium (lapisan dalam dari rahim. Endometritis adalah suatu infeksi yag terjadi di endometrium, merupakan komplikasi pascapartum, biasanya terjadi 48 sampai 72 jam setelah melahirkan.
Miometritis / Metritis adalah radang myometrium. Miometritis terjadi karena kelanjutan dari kelahiran yang tidak normal, seperti abortus, retensi sekundinarum, kelahiran premature, kelahiran kembar, /keahiran yang sukar (distosia), perlukaan yang disebabkan oleh alat-alat yang dipergunakan untuk pertolongan pada kelahiran yang sukar.











DAFTAR PUSTAKA


Abdul Bari Saifudin. 2007. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta. EGC

Brown KR, Williams SF, Apuzzio JJ. 2012.Ertapenem compared to combination drug therapy for the treatment of postpartum endometritis after cesarean delivery. J Matern Fetal Neonatal Med.[Medline].

Clark T Johnson, et all.2014.Current management and long term outcome following chorioamnionitis.. Diakses dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4254434/ tanggal 20 April 2016

Cunningham, F. Garry.2012. Obstetri Williams volume 1 & 2. Ed 23. Jakarta ; EGC

Dehaene I, Loccufier A, Temmerman M, De Keersmaecker B, De Baene L. 2012. Creatine kinase as an indicator for hysterectomy in postpartum endomyometritis due to group A streptococci: a hypothesis illustrated by a case report. Gynecol Obstet Invest. [Medline].

Hardeman J, Weiss BD. Intrauterine devices: an update. Am Fam Physician. 2014 Mar 15.[Medline].

JM, Alexander.2009. Chorioamnionitis and the prognosis for term infants. (home page on the internet) Diunduh tanggal 10  april 2016. Pada website http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10432142

Kasius JC, Broekmans FJ, Sie-Go DM, et al.2012. The reliability of the histological diagnosis of endometritis in asymptomatic IVF cases: a multicenter observer study. Hum Reprod. [Medline].

Leveno Kenneth J. 2009. Obstetri Williams. Panduan ringkas Ed. 21. Jakarta: EGC

Manuaba. 2007. Pengantar kuliah obstetri. Jakarta: EGC

McGill AL, Bavaro MF, You WB. 2012.Postpartum herpes simplex virus endometritis and disseminated infection in both mother and neonate. Obstet Gynecol. [Medline].

Michel E Rivlin, MD .2006. Endometritis. Chief Editor: Michel E Rivlin, MD.

Sarwono Priwirohardja. 2009. Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan neonatal. Jakarta: EGC

Sarwono. Ilmu Kebidanan, 2010. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka. Sarwono Prawirohardjo

Tita, Alan T.N. 2009. Diagnosis and Management of Chorioamnionitis. (homepage on the internet) Diunduh tanggal 10 april 2016. Pada website http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3008318/

Workowski KA, Bolan GA.2015.Centers for Disease Control and Prevention. Sexually transmitted diseases treatment guidelines. MMWR Recomm Rep.. [Medline].




No comments: