KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT karena atas Rahmat dan Karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas
Mata Kuliah Humaniora
yang berjudul “Diskriminasi Gender terhadap Perempuan” tepat pada waktunya.
Penulis menuliskannya dengan mengambil dari beberapa sumber
baik dari buku maupun dari internet. Penulis berterima kasih kepada beberapa
pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian makalah ini. Hingga
tersusun makalah yang sampai dihadapan pembaca pada saat ini.
Penulis
juga menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Karena itu sangat
diharapkan bagi pembaca untuk menyampaikan saran atau kritik yang membangun
demi tercapainya makalah yang lebih baik.
Palembang,
14 Oktober 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Andaikata, Anda dilahirkan kembali, apakah ingin terlahir sebagai
perempuan atau sebagai laki-laki. Itulah salah satu pertanyaan yang sangat
menarik yang disampaikan. Pertanyaan tersebut mengandung makna yang sangat dalam,
terutama yang berkaitan dengan keadilan gender yang selama ini dirasakan masih
timpang dan cenderung merugikan perempuan.
Secara bahasa, kata “gender” memiliki arti yang sama dengan kata “sex”;
jenis kelamin. Keduanya digunakan untuk membedakan antar jenis kelamin
laki-laki dan perempuan. Perbedaannya terletak pada makna konotasinya; sex
membedakan laki-laki dan perempuan dari segi biologisnya yang bersifat given;
seperti perbedaan fisik biologis, sifat dan watak, sementara gender lebih
kepada pembedaan laki-laki dan perempuan dari segi konstruksi sosial dan budaya
(sicial and cultural construction). Jadi, pembedaan laki-laki dan
perempuan dalam gender itu adalah hasil dari konstruksi manusia (human
construction). Dan karena ia konstruksi dari pemikiran manusia, maka ia
bisa berubah.
Kesetaraan gender adalah suatu keadaan setara antara pria dan wanita
dalam hak ( hukum ) dan kondisi ( kualitas hidup ). Sudah banyak issue di
balik kesetaraan gender, tetapi kesetaraan gender yang mana yang bisa
menjadi titik tolak perempuan Indonesia ?
Istilah gender dipakai dan dikembangkan untuk mengubah cara pandang
manusia terhadap perempuan. Anggapan-anggapan yang menyudutkan martabat
perempuan akan dapat diatasi dengan isu kesetaraan gender. Inilah yang
dilakukan oleh para tokoh feminis barat.
Feminisme adalah paham (dan juga gerakan) keperempuanan. Paham atau
gerakan ini muncul dari respons perlakuan buruk yang menimpa kaum perempuan di
barat. Sebagaimana namanya, kata “feminisme”, berasal dari kata femina, feminus
yang merupakan kombinasi dari dua kata fe yang berarti iman dan mina
atau minus yang artinya kurang. Jadi perempuan di barat dipandang hina.
Dan ini bukan sekedar anggapan, tapi juga telah menjadi fakta sejarah.
Kekerasan yang semakin marak yang terjadi akhir-akhir ini membuat
perempuan semakin menderita, semakin khawatir akan nasibnya dan kemungkinan
tidak lepas dari ancamam perkosaan. Seorang perempuan yang sadar akan
ketidakadilan yang terjadi sepanjang hidupnya, akan mencoba seperti apa enaknya
hidup sebagai laki-laki yang tampaknya lebih bebas, lebih longgar aturan yang
diterapkan padanya dan lebih luas kesempatannya dibanding perempuan. Tidak
hanya itu, dalam hal pendidikkan perempuan juga memperoleh kesempatan mengayomi
dunia pendidikan masih sangat rendah, padahal secara kodrati perempuan tidak
bodoh. Di Filipina misalnya masyarakat sangat memperhatikan pendidikan
perempuan dan menyadari bahwa perempuan merupakan sumber daya potensial
sehingga pendidikan juga diprioritaskan untuk perempuan. Mengapa perempuan
Indonesia masih tertinggal dibandingkan Filipina ataupun negara tetangga
lainnya ?. Hal tersebut disebabkan masih kentalnya pandangan akan lebih
pentingnya anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. (Mary Astuti, 2000)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Gender dan
Seks
Gender adalah
perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat serta
tanggunng jawab laki-laki dan perempuan.
Gender adalah pembedaan peran, atribut,
sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Peran
gender terbagi menjadi peran produktif, peran reproduksi serta peran sosial
kemasyarakatan. ( Sumber : Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak RI ).
Seks / kodrat
adalah jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki yang ditentukan
oleh tuhan. Oleh karena itu, tidak dapat ditukar atau dirubah.
Gender bukan lah kodrat ataupun ketentuan tuhan. Oleh karena itu,
gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan
perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur
ketentuan sosial dan budaya setempat ditempat mereka berada. Denga demikian
gender dapat dikatakan perbedaan peran, fungsi, tanggung jawab, antara
perempuan dan laki-laki yang dibentuk atau dikonstruksi oleh sosial budaya dan
dapat berubah sesuai perkembangan zaman.
Dengan demikian perbedaan gender dan jenis kelamin (seks) adalah gender
dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu m budaya setempat, bukan
merupakan kodrat tuhan melainkan buatan
manusia.
Kesamaan gender berati kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan
untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia agar mampu
berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, sosial, budaya,
pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan
dalam menikmati hasil pembangunan tersebut kesetaraan gender juga meliputi
penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki
maupun perempuan.
Keadailan gender adalah suatu proses
dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender
berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, marginalisasi, subordinasi dan
kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
Terwujudnya kesetaraan dan keadilan
gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan
laki-laki. Dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi
dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari
pembangunan. Memiliki akses dan partsipasi berarti memiliki peluang atau
kesempatan untuk menggunakan sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti
memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaaan dan hasil
sumber daya sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembanguanan.
B.
Permasalahan yang
Dihadapi Perempuan
Semua orang dilahirkan bebas dan dengan maratabat yang
setara. Namun, bagi perempuan, kebebasan, martabat dan kesetaraan masih sering
dilanggar, baik oleh hukum yang berlaku, maupun oleh ketentuan adat dan tradisi
yang berlaku baginya.
Perempuan adalah aset bangsa, oleh karena itu jumlah
perempuan yang lebih dari separuh penduduk Indonesia seyogianya diarahkan
menjadi potensi Bangsa, bukan menjadi masalah Bangsa. Perempuan, laki-laki dan
lingkungan merupakan suatu sistem dalam kehidupan, dimana terjadi hubungan
saling ketergantungan antara perempuan, laki-laki dan perempuan. Oleh karena
itu, tidak siapapun atau apapun dapat berdiri sendiri. Apabila terjadi masalah
pada kaum perempuan maka akan mengganggu sistem kehidupan tadi. Oleh karena
itu, sudah menjadi kewajiban semua pihak bahwa perempuan perlu diusahakan bebas
dari masalah-masalah yang mereka hadapi.
Adapun permasalahan yang dihadapi perempuan adalah
sebagai berikut :
1.
Tindak Kekerasan : di rumah tangga (KDRT), di kantor, di
tempat umum.
2.
Perkosaan dan pelecehan seksual
3.
Perdagangan perempuan : motifnya jadi pembantu rumah
tangga, penganten pesanan, pelacur (PSK), konon tidak kurang dari 40 perempuan
setiap bulannya dikirim keluar negeri.
4.
Akhirnya dari semua tindakan diatas tidak jarang membuat
permpuan meninggal karena penganiayaan, tindakan yang kasar. Diperkirakan 5
orang perempuan meninggal setiap tahunnya.
C.
Feminisme dan
Analisis Gender
Feminisme adalah gerakan yang berasal dari barat. Dari
bahasanya saja sudah jelas, gerakan itu bukan datang dari Indonesia. Feminisme
adalah ideologi kebebasan perempua dengan pendekatan percaya bahwa kesengsaraan
dan ketidakadilan terhadap perempuan karena seksualitasnya. Namun hakikat makna
dari feminisme adalah menuntut kebebasan, menuntut persamaan hak dan keadilan
sosial bagi perempuan.
Analisis gender pada dasarnya memberi makna, konsepsi,
asumsi, ideologi dan praktik hubungan antara kaum perempuan dan laki-laki.
Gender menyangkut masalah sifat yang diberikan dan terwaris secara kultural,
dipengaruhi oleh banyak hal antara lain :
1.
Kurun waktu misalnya sekarang dan masa lalu
2.
Kelompok masyarakat, misalnya : suku bangsa atau etnis
3.
Gender dan stereotip : pelabelan, misalnya perempuan
bertugas melayani suami dan merawat keluarganya, sehingga aspek penting untuk
pendidikan dirinya dinomor duakan
4.
Gender dan kekerasan : secara fisik dan psikologis
seperti pemerkosaan, pemukulan, pemaksaan dan penekanan terhadap perempuan.
5.
Gender dan beban kerja : anggapan bahwa perempuan
memiliki sifat memelihara dan fungsinya sebagai ibu dan rumah tangga menjadi
tanggung jawab perempuan. Hal ini menyebabkan perempuan tidak boleh berkerja
selain dirumah.
6.
Jam kerja yang lebih lama bila dibandingkan dengan
laki-laki.
D.
Diskriminasi Gender
terhadap perempuan dalam sektor pekerjaan
Secara umum
diskriminasi gender dalam sektor pekerjaan dilatarbelakangi oleh adanya
keyakinan gender yang keliru di tengah-tengah masyarakat. Peran gender (gender
role) sebagai bentuk ketentuan sosial diyakini sebagai sebuah kodrat sehingga
menyebabkan ketimpangan sosial dan hal ini sangat merugikan posisi perempuan
dalam berbagai komunitas sosial baik dalam pendidikan, sosial budaya, politik
dan juga ekonomi. Di sektor pekerjaan, ketidakadilan dapat saja terjadi karena
hal-hal sebagai berikut :
1.
Marginalisasi
dalam Pekerjaan
Marginalisasi secara umum dapat diartikan sebagai proses
penyingkiran perempuan dalam pekerjaan. Sebagaimana dikutip oleh Saptari
menurut Alison Scott, seorang ahli sosiologi Inggris melihat berbagai bentuk
marginalisasi dalam empat bentuk yaitu:
a.
Proses
pengucilan
Perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau jenis kerja
tertentu.
b.
Proses
pergeseran perempuan ke pinggiran (margins)
Dari pasar tenaga kerja, berupa kecenderungan bekerja pada jenis pekerjaan
yang memiliki hidup yang tidak stabil, upahnya rendah, dinilai tidak atau
kurang terampil.
c. Proses feminisasi atau segregasi
pemusatan perempuan pada jenis pekerjaan tertentu (feminisasi pekerjaan),
atau pemisahan yang sematamata dilakukan oleh perempuan saja atau laki-laki
saja.
d. Proses ketimpangan
ekonomi : Perbedaan upah antara kaum laki-laki da perempuan
Marginalisasi ini merupakan proses pemiskinan perempuan
terutama pada masyarakat lapisan bawah yang kesejahteraan keluarga mereka
sangat memprihatinkan. Marginalisasi perempuan tidak saja terjadi di tempat
pekerjaan akan tetapi juga dapat terjadi dalam rumah tangga, masyarakat, kultur
dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi dalam rumah
tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan
perempuan.
Menurut Irwan Abdullah, ada dua hal yang berkaitan dengan
ketimpangan gender dalam bentuk marginalisasi. Pertama, pekerjaan-pekerjaan
marginal yang dikerjakan perempuan dapat dilihat sebagai akibat dari proses
identifikasi perempuan terhadap apa-apa yang sesuai dengan sifat perempuan
seperti yang sudah dikonstruksi secara sosial. Identifikasi ini merupakan
proses pemaknaan diri dan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan perempuan
sehingga berbagai faktor diperhatikan di dalamnya. Dalam perspektif semacam ini
kemudian ketimpangan gender tidak lain merupakan pilihan perempuan, bukan pemaksaan
terhadap perempuan. Kedua, berbagai proses telah mereproduksi sifat
perempuan dan kenyataan tentang pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan sifat
keperempuanan tersebut. Tingkat absensi perempuan yang tinggi (karena perempuan
membutuhkan cuti hamil) seringkali dijadikan alasan untuk tidak memilih tenaga
kerja perempuan atau menempatkan perempuan dalam pekerjaan marginal.
Sebagai akibat yang ditimbulkan dari proses marginalisasi
adalah meningkatnya kemiskinan dan langkanya kesempatan kerja bagi perempuan.
2.
Kedudukan Perempuan
yang Subordinat dalam Sosial dan Budaya
Peran gender dalam masyarakat ternyata juga dapat menyebabkan
subordinasi terhadap perempuan terutama dalam pekerjaan. Anggapan bahwa
perempuan itu irrasional atau emosional menjadikan perempuan tidak bisa tampil
sebagai pemimpin dan ini berakibat pada munculnya sikap yang menempatkan
perempuan pada posisi yang kurang penting. Subordinat dapat terjadi dalam
segala bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Di
Jawa misalnya, dahulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah
tinggi-tinggi, toh akhirnya juga akan ke dapur. Dalam rumah tangga masih sering
terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas dan harus mengambil keputusan
untuk menyekolahkan anak-anaknya, maka anak laki-lai akan mendapatkan prioritas
utama. Praktik seperti itu sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak
adil.
Demikian juga berkaitan dengan pekerjaan. Tempat-tempat
kerja tertutup untuk perempuan dalam angkatan bersenjata atau kepolisian.
Potensi perempuan sering dinilai secara tidak fair. Hal ini mengakibatkan perempuan
sulit untuk menembus posisi strategis dalam komunitas yang berhubungan dengan pengambilan
keputusan. Perempuan di sektor pertanian pedesaan, mayoritas di tingkat buruh
tani. Perempuan di sektor industri perkotaan terutama terlibat sebagai buruh di
industri tekstil, garmen, sepatu, kebutuhan rumah tangga, dan elektronik. Di
sektor perdagangan, pada umumnya perempuan terlibat dalam perdagangan usaha
kecil seperti berdagang sayur mayur di pasar tradisional.
Di sektor publik, masalah umum yang dihadapi perempuan
dalam pekerjaan adalah kecenderungan perempuan terpinggirkan pada jenis-jenis
pekerjaan yang upahnya rendah, kondisi kerja buruk dan tidak memiliki keamanan
kerja. Hal ini berlaku khusus bagi perempuan berpendidikan menengah ke bawah. Pekerjaan
di kota adalah sebagai buruh pabrik, sedangkan di pedesaan adalah sebagai buruh
tani. Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa kecenderungan perempuan
terpinggirkan pada pekerjaan marginal tersebut tidak semata-mata disebabkan
faktor pendidikan. Dari kalangan pengusaha sendiri, terdapat preferensi untuk
mempekerjakan perempuan pada sektor tertentu dan jenis pekerjaan tertentu karena
upah perempuan lebih rendah dari laki-laki. Perempuan mendapat upah sepertiga
lebih rendah dibanding laki-laki untuk pekerjaan yang sama, menghadapi pelecehan
seksual, bekerja terus selama hamil dan melahirkan, serta tidak memiliki
jaminan keselamatan dan kesehatan.
3.
Stereotipe terhadap
Perempuan
Stereotipe secara umum diartikan sebagai pelabelan atau
penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Pada kenyataannya stereotipe selalu
merugikan dan menimbulkan diskriminasi. Salah satu jenis stereotipe itu adalah
yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali ketidakadilan terhadap
jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan (stereotype)
yang dilekatkan pada mereka. Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa
perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka
setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan
stereotipe ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat
berkecenderungan menyalahkan korbannya. Masyarakat memiliki anggapan bahwa
tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat
wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomorduakan.
Demikian pula perempuan adalah jenis manusia yang lemah
fisik maupun intektualnya sehingga tidak layak untuk menjadi pemimpin.
Perempuan sarat dengan keterbatasan, tidak sebagaimana laki-laki. Aktivitas
laki-laki lebih leluasa, bebas, lebih berkualitas, dan produktif. Misalnya
laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama, perempuan hanya dinilai
sebagai suplemen, karena itu perempuan dalam sistem penggajian atau upah boleh
dibayar lebih rendah dari laki-laki. Keterpurukan ini semakin parah dengan
mencari legitimasi agama yang disalahtafsirkan.
Diskriminasi upah yang terjadi secara eksplisit maupun
implisit, seringkali memanipulasi ideologi gender sebagai pembenaran. Ideologi
gender merupakan aturan, nilai, stereotipe yang mengatur hubungan antara
perempuan dan laki-laki terlebih dahulu melalui pembentukan identitas feminin
dan maskulin. Karena tugas utama perempuan adalah di sektor domestik, maka pada
saat ia masuk ke sektor publik sah-sah saja untuk memberikan upah lebih rendah
karena pekerjaan di sektor publik hanya sebagai sampingan untuk membantu suami.
Peran domestik menurut anggapan orang hanya pantas
dilakukan oleh perempuan. Keadaan tersebut menyebabkan posisi perempuan sarat
dengan pekerjaan yang beragam, dalam waktu yang tidak terbatas dan dengan beban
yang cukup berat. Misalnya, memasak, mencuci, menyeterika, menjaga kebersihan
dan kerapian rumah, membimbing anak-anak belajar dan sebagainya. Pekerjaan
domestik tersebut dilakukan bersama-sama dengan fungsi reproduksi, haid, hamil,
melahirkan dan menyusui. Adapun laki-laki dengan peran publiknya menurut
kebiasaan masyarakat, tidak bertanggung jawab terhadap beban kerja domestik
tersebut, karena hanya layak dikerjakan oleh perempuan.
Peran ganda perempuan dalam pekerjaan, baik di ranah
publik maupun domestik menyebabkan hasil kerja perempuan dianggap pekerjaan
yang rendah dan tidak memperoleh imbalan materiil yang seimbang dengan beban
pekerjaannya. Realitas ini memperkuat ketidakadilan gender yang telah melekat dalam
kultur masyarakat. Lebih-lebih lagi jika perempuan harus bekerja pada peran
publik untuk meningkatkan penghasilan ekonomi keluarga, maka semakin berat
beban yang ditanggung perempuan. Apalagi jika lingkungannya, baik suami atau
anggota keluarga lainnya tidak ikut membantu tugas-tugas domestik, karena
secara kultural dianggap bukan kewajiban laki-laki untuk melaksanakan pekerjaan
domestik tersebut.
4.
Tingkat Pendidikan
Perempuan Rendah
Analisis Gender dalam Pembangunan Pendidikan di Tingkat
Nasional menemukan adanya kesenjangan gender dalam pelaksanaan pendidikan
terutama di tingkat SMU/MA, SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) dan PT (Perguruan
Tinggi) jumlah perempuan lebih rendah dibandingkan dengan jumlah laki-laki,
namun lebih seimbang pada tingkat SD dan SMP. Kecenderungannya adalah semakin
tinggi jenjang pendidikan, maka makin meningkat kesenjangan gendernya, proporsi
laki-laki yang bersekolah semakin lebih besar dibandingkan dengan proporsi
perempuan yang bersekolah.
Kesenjangan ini disebabkan oleh berbagai hal di antaranya
adalah pertimbangan prioritas berdasarkan nilai ekonomi anak, bahwa nilai
ekonomi anak laki-laki lebih mahal dibandingkan dengan nilai ekonomi anak
perempuan. Gejala pemisahan gender (gender segregation) masih banyak
tampak dalam pemilahan jurusan (SMK Ekonomi untuk perempuan dan SMK-Teknik
Industri untuk laki-laki) yang berakibat pada diskriminasi gender pada
institusi-institusi pekerjaan.
Di beberapa tempat di Indonesia, sebagai akibat dari
rendahnya pendidikan mereka, banyak mempekerjakan perempuan sebagai TKW. Banyak
di antara mereka yang hanya berbicara dalam bahasa daerah saja dan bukan bahasa
Indonesia, sebagai bahasa nasional yang sering diajarkan di sekolah. Dari
gambaran tersebut, dapat dijelaskan bahwa pendidikan yang rendah merupakan
faktor yang turut menyebabkan diskriminasi dalam pekerjaan. Rendahnya
pendidikan dan keterampilan mempersulit perempuan yang masih gadis untuk
mencari pekerjaan lain agar dapat menghidupi dirinya dan keluarganya.
Banyak dari pekerja-pekerja yang hanya membutuhkan
sedikit keterampilan ini menuntut migrasi ke kota besar atau ke luar negeri, di
mana perempuan menjadi target para pelaku trafficking dan pihak lain yang
berniat mengeksploitasi mereka. Dengan rendahnya tingkat pendidikan serta
kurangnya keterampilan kerja yang memadai, para perempuan yang masih gadis
hanya mencari pekerjaan di sektor informal. Pekerjaan di sektor informal bagi
perempuan yang tidak berpendidikan biasanya seperti pramuwisma, atau penjual
minuman di kaki lima, pembantu rumah tangga, penjaja makanan di terminal dan
stasiun, yang tidak memperoleh perlindungan dari pemerintah dan tenaga kerja
melalui serikat buruh atau majikan.
Pendidikan yang minim dan tingkat melek huruf yang rendah
semakin menyulitkan perempuan untuk mencari pekerjaan. Jika akhirnya mendapat
pekerjaan, diposisikan pada bagian yang tidak memerlukan keterampilan misalnya
buruh, tenaga suruhan, yang memiliki pengupahan yang sangat rendah, tidak
mendapat perlindungan hukum dan juga kesehatan. Mereka tidak tahu bagaimana
mengakses sumber daya yang tersedia, karena tidak dapat membaca dan menulis
untuk mencari bantuan hukum ataupun rumah singgah jika majikan mereka bertindak
eksploitatif atau melakukan kekerasan, baik fisik, psikis, maupun seksual.
BAB III
PENUTUP
Demikian yang dapat kami paparkan
mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan
kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
Daftar Pustaka
F.M. Suroyo. 2006. Agama
dan kepercayaan membawa pembaruan: Untuk SMS/SMK Kelas I. Yogyakarta.
Kanisius.
Irwan Djamal Zoer’aini. 2009. Besarnya Eksploitasi Perempuan dan Lingkungan di Indonesia.
Jakarta. PT Elex Media Komputindo
Sadli Suparinah. 2010. Berbeda Tetapi Setara Pemikiran Tentang Kajian Perempuan. Jakarta.
Kompas
No comments:
Post a Comment