Wednesday, January 16, 2013

Gender dan seks


KATA PENGANTAR

            Puji syukur penulis panjatkan  kehadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan Karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas Mata Kuliah Humaniora yang berjudul “Diskriminasi Gender terhadap Perempuan” tepat pada waktunya.
            Penulis menuliskannya dengan mengambil dari beberapa sumber baik dari buku maupun dari internet. Penulis berterima kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian makalah ini. Hingga tersusun makalah yang sampai dihadapan pembaca pada saat ini.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Karena itu sangat diharapkan bagi pembaca untuk menyampaikan saran atau kritik yang membangun demi tercapainya makalah yang lebih baik.

                                                                        Palembang, 14 Oktober 2012


                                                                                          Penulis








BAB I
PENDAHULUAN


Andaikata, Anda dilahirkan kembali, apakah ingin terlahir sebagai perempuan atau sebagai laki-laki. Itulah salah satu pertanyaan yang sangat menarik yang disampaikan. Pertanyaan tersebut mengandung makna yang sangat dalam, terutama yang berkaitan dengan keadilan gender yang selama ini dirasakan masih timpang dan cenderung merugikan perempuan.
Secara bahasa, kata “gender” memiliki arti yang sama dengan kata “sex”; jenis kelamin. Keduanya digunakan untuk membedakan antar jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Perbedaannya terletak pada makna konotasinya; sex membedakan laki-laki dan perempuan dari segi biologisnya yang bersifat given; seperti perbedaan fisik biologis, sifat dan watak, sementara gender lebih kepada pembedaan laki-laki dan perempuan dari segi konstruksi sosial dan budaya (sicial and cultural construction). Jadi, pembedaan laki-laki dan perempuan dalam gender itu adalah hasil dari konstruksi manusia (human construction). Dan karena ia konstruksi dari pemikiran manusia, maka ia bisa berubah.
Kesetaraan gender adalah suatu keadaan setara antara pria dan wanita dalam hak ( hukum ) dan kondisi  ( kualitas hidup ). Sudah banyak issue di balik kesetaraan gender, tetapi kesetaraan gender yang mana yang bisa menjadi titik tolak perempuan Indonesia ?
Istilah gender dipakai dan dikembangkan untuk mengubah cara pandang manusia terhadap perempuan. Anggapan-anggapan yang menyudutkan martabat perempuan akan dapat diatasi dengan isu kesetaraan gender. Inilah yang dilakukan oleh para tokoh feminis barat.  Feminisme adalah paham (dan juga gerakan) keperempuanan. Paham atau gerakan ini muncul dari respons perlakuan buruk yang menimpa kaum perempuan di barat. Sebagaimana namanya, kata “feminisme”, berasal dari kata femina, feminus yang merupakan kombinasi dari dua kata fe yang berarti iman dan mina atau minus yang artinya kurang. Jadi perempuan di barat dipandang hina. Dan ini bukan sekedar anggapan, tapi juga telah menjadi fakta sejarah.
Kekerasan yang semakin marak yang terjadi akhir-akhir ini membuat perempuan semakin menderita, semakin khawatir akan nasibnya dan kemungkinan tidak lepas dari ancamam perkosaan. Seorang perempuan yang sadar akan ketidakadilan yang terjadi sepanjang hidupnya, akan mencoba seperti apa enaknya hidup sebagai laki-laki yang tampaknya lebih bebas, lebih longgar aturan yang diterapkan padanya dan lebih luas kesempatannya dibanding perempuan. Tidak hanya itu, dalam hal pendidikkan perempuan juga memperoleh kesempatan mengayomi dunia pendidikan masih sangat rendah, padahal secara kodrati perempuan tidak bodoh. Di Filipina misalnya masyarakat sangat memperhatikan pendidikan perempuan dan menyadari bahwa perempuan merupakan sumber daya potensial sehingga pendidikan juga diprioritaskan untuk perempuan. Mengapa perempuan Indonesia masih tertinggal dibandingkan Filipina ataupun negara tetangga lainnya ?. Hal tersebut disebabkan masih kentalnya pandangan akan lebih pentingnya anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. (Mary Astuti, 2000)
BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Gender dan Seks
Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat serta tanggunng jawab laki-laki dan perempuan.
Gender adalah pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Peran gender terbagi menjadi peran produktif, peran reproduksi serta peran sosial kemasyarakatan. ( Sumber : Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI ).
Seks / kodrat adalah jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki yang ditentukan oleh tuhan. Oleh karena itu, tidak dapat ditukar atau dirubah.
Gender bukan lah kodrat ataupun ketentuan tuhan. Oleh karena itu, gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur ketentuan sosial dan budaya setempat ditempat mereka berada. Denga demikian gender dapat dikatakan perbedaan peran, fungsi, tanggung jawab, antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk atau dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.
Dengan demikian perbedaan gender dan jenis kelamin (seks) adalah gender dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu m budaya setempat, bukan merupakan kodrat tuhan  melainkan buatan manusia.
Kesamaan gender berati kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, sosial, budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.

Keadailan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, marginalisasi, subordinasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partsipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaaan dan hasil sumber daya sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembanguanan.
B.       Permasalahan yang Dihadapi Perempuan
Semua orang dilahirkan bebas dan dengan maratabat yang setara. Namun, bagi perempuan, kebebasan, martabat dan kesetaraan masih sering dilanggar, baik oleh hukum yang berlaku, maupun oleh ketentuan adat dan tradisi yang berlaku baginya.
Perempuan adalah aset bangsa, oleh karena itu jumlah perempuan yang lebih dari separuh penduduk Indonesia seyogianya diarahkan menjadi potensi Bangsa, bukan menjadi masalah Bangsa. Perempuan, laki-laki dan lingkungan merupakan suatu sistem dalam kehidupan, dimana terjadi hubungan saling ketergantungan antara perempuan, laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, tidak siapapun atau apapun dapat berdiri sendiri. Apabila terjadi masalah pada kaum perempuan maka akan mengganggu sistem kehidupan tadi. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban semua pihak bahwa perempuan perlu diusahakan bebas dari masalah-masalah yang mereka hadapi.
Adapun permasalahan yang dihadapi perempuan adalah sebagai berikut :
1.    Tindak Kekerasan : di rumah tangga (KDRT), di kantor, di tempat umum.
2.    Perkosaan dan pelecehan seksual
3.    Perdagangan perempuan : motifnya jadi pembantu rumah tangga, penganten pesanan, pelacur (PSK), konon tidak kurang dari 40 perempuan setiap bulannya dikirim keluar negeri.
4.    Akhirnya dari semua tindakan diatas tidak jarang membuat permpuan meninggal karena penganiayaan, tindakan yang kasar. Diperkirakan 5 orang perempuan meninggal setiap tahunnya.
C.      Feminisme dan Analisis Gender
Feminisme adalah gerakan yang berasal dari barat. Dari bahasanya saja sudah jelas, gerakan itu bukan datang dari Indonesia. Feminisme adalah ideologi kebebasan perempua dengan pendekatan percaya bahwa kesengsaraan dan ketidakadilan terhadap perempuan karena seksualitasnya. Namun hakikat makna dari feminisme adalah menuntut kebebasan, menuntut persamaan hak dan keadilan sosial bagi perempuan.
Analisis gender pada dasarnya memberi makna, konsepsi, asumsi, ideologi dan praktik hubungan antara kaum perempuan dan laki-laki. Gender menyangkut masalah sifat yang diberikan dan terwaris secara kultural, dipengaruhi oleh banyak hal antara lain :
1.        Kurun waktu misalnya sekarang dan masa lalu
2.        Kelompok masyarakat, misalnya : suku bangsa atau etnis
3.        Gender dan stereotip : pelabelan, misalnya perempuan bertugas melayani suami dan merawat keluarganya, sehingga aspek penting untuk pendidikan dirinya dinomor duakan
4.        Gender dan kekerasan : secara fisik dan psikologis seperti pemerkosaan, pemukulan, pemaksaan dan penekanan terhadap perempuan.
5.        Gender dan beban kerja : anggapan bahwa perempuan memiliki sifat memelihara dan fungsinya sebagai ibu dan rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan. Hal ini menyebabkan perempuan tidak boleh berkerja selain dirumah.
6.        Jam kerja yang lebih lama bila dibandingkan dengan laki-laki.
D.      Diskriminasi Gender terhadap perempuan dalam sektor pekerjaan
Secara umum diskriminasi gender dalam sektor pekerjaan dilatarbelakangi oleh adanya keyakinan gender yang keliru di tengah-tengah masyarakat. Peran gender (gender role) sebagai bentuk ketentuan sosial diyakini sebagai sebuah kodrat sehingga menyebabkan ketimpangan sosial dan hal ini sangat merugikan posisi perempuan dalam berbagai komunitas sosial baik dalam pendidikan, sosial budaya, politik dan juga ekonomi. Di sektor pekerjaan, ketidakadilan dapat saja terjadi karena hal-hal sebagai berikut :
1.    Marginalisasi dalam Pekerjaan
Marginalisasi secara umum dapat diartikan sebagai proses penyingkiran perempuan dalam pekerjaan. Sebagaimana dikutip oleh Saptari menurut Alison Scott, seorang ahli sosiologi Inggris melihat berbagai bentuk marginalisasi dalam empat bentuk yaitu:
a.    Proses pengucilan
Perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau jenis kerja tertentu.
b.    Proses pergeseran perempuan ke pinggiran (margins)
Dari pasar tenaga kerja, berupa kecenderungan bekerja pada jenis pekerjaan yang memiliki hidup yang tidak stabil, upahnya rendah, dinilai tidak atau kurang terampil.
c.    Proses feminisasi atau segregasi
pemusatan perempuan pada jenis pekerjaan tertentu (feminisasi pekerjaan), atau pemisahan yang sematamata dilakukan oleh perempuan saja atau laki-laki saja.
d.    Proses ketimpangan ekonomi : Perbedaan upah antara kaum laki-laki da perempuan
Marginalisasi ini merupakan proses pemiskinan perempuan terutama pada masyarakat lapisan bawah yang kesejahteraan keluarga mereka sangat memprihatinkan. Marginalisasi perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan akan tetapi juga dapat terjadi dalam rumah tangga, masyarakat, kultur dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan.
Menurut Irwan Abdullah, ada dua hal yang berkaitan dengan ketimpangan gender dalam bentuk marginalisasi. Pertama, pekerjaan-pekerjaan marginal yang dikerjakan perempuan dapat dilihat sebagai akibat dari proses identifikasi perempuan terhadap apa-apa yang sesuai dengan sifat perempuan seperti yang sudah dikonstruksi secara sosial. Identifikasi ini merupakan proses pemaknaan diri dan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan perempuan sehingga berbagai faktor diperhatikan di dalamnya. Dalam perspektif semacam ini kemudian ketimpangan gender tidak lain merupakan pilihan perempuan, bukan pemaksaan terhadap perempuan. Kedua, berbagai proses telah mereproduksi sifat perempuan dan kenyataan tentang pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan sifat keperempuanan tersebut. Tingkat absensi perempuan yang tinggi (karena perempuan membutuhkan cuti hamil) seringkali dijadikan alasan untuk tidak memilih tenaga kerja perempuan atau menempatkan perempuan dalam pekerjaan marginal.
Sebagai akibat yang ditimbulkan dari proses marginalisasi adalah meningkatnya kemiskinan dan langkanya kesempatan kerja bagi perempuan.
2.    Kedudukan Perempuan yang Subordinat dalam Sosial dan Budaya
Peran gender dalam masyarakat ternyata juga dapat menyebabkan subordinasi terhadap perempuan terutama dalam pekerjaan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional menjadikan perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin dan ini berakibat pada munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang kurang penting. Subordinat dapat terjadi dalam segala bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Di Jawa misalnya, dahulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya juga akan ke dapur. Dalam rumah tangga masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya, maka anak laki-lai akan mendapatkan prioritas utama. Praktik seperti itu sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil.
Demikian juga berkaitan dengan pekerjaan. Tempat-tempat kerja tertutup untuk perempuan dalam angkatan bersenjata atau kepolisian. Potensi perempuan sering dinilai secara tidak fair. Hal ini mengakibatkan perempuan sulit untuk menembus posisi strategis dalam komunitas yang berhubungan dengan pengambilan keputusan. Perempuan di sektor pertanian pedesaan, mayoritas di tingkat buruh tani. Perempuan di sektor industri perkotaan terutama terlibat sebagai buruh di industri tekstil, garmen, sepatu, kebutuhan rumah tangga, dan elektronik. Di sektor perdagangan, pada umumnya perempuan terlibat dalam perdagangan usaha kecil seperti berdagang sayur mayur di pasar tradisional.
Di sektor publik, masalah umum yang dihadapi perempuan dalam pekerjaan adalah kecenderungan perempuan terpinggirkan pada jenis-jenis pekerjaan yang upahnya rendah, kondisi kerja buruk dan tidak memiliki keamanan kerja. Hal ini berlaku khusus bagi perempuan berpendidikan menengah ke bawah. Pekerjaan di kota adalah sebagai buruh pabrik, sedangkan di pedesaan adalah sebagai buruh tani. Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa kecenderungan perempuan terpinggirkan pada pekerjaan marginal tersebut tidak semata-mata disebabkan faktor pendidikan. Dari kalangan pengusaha sendiri, terdapat preferensi untuk mempekerjakan perempuan pada sektor tertentu dan jenis pekerjaan tertentu karena upah perempuan lebih rendah dari laki-laki. Perempuan mendapat upah sepertiga lebih rendah dibanding laki-laki untuk pekerjaan yang sama, menghadapi pelecehan seksual, bekerja terus selama hamil dan melahirkan, serta tidak memiliki jaminan keselamatan dan kesehatan.
3.    Stereotipe terhadap Perempuan
Stereotipe secara umum diartikan sebagai pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Pada kenyataannya stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan diskriminasi. Salah satu jenis stereotipe itu adalah yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan (stereotype) yang dilekatkan pada mereka. Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat berkecenderungan menyalahkan korbannya. Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomorduakan.
Demikian pula perempuan adalah jenis manusia yang lemah fisik maupun intektualnya sehingga tidak layak untuk menjadi pemimpin. Perempuan sarat dengan keterbatasan, tidak sebagaimana laki-laki. Aktivitas laki-laki lebih leluasa, bebas, lebih berkualitas, dan produktif. Misalnya laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama, perempuan hanya dinilai sebagai suplemen, karena itu perempuan dalam sistem penggajian atau upah boleh dibayar lebih rendah dari laki-laki. Keterpurukan ini semakin parah dengan mencari legitimasi agama yang disalahtafsirkan.
Diskriminasi upah yang terjadi secara eksplisit maupun implisit, seringkali memanipulasi ideologi gender sebagai pembenaran. Ideologi gender merupakan aturan, nilai, stereotipe yang mengatur hubungan antara perempuan dan laki-laki terlebih dahulu melalui pembentukan identitas feminin dan maskulin. Karena tugas utama perempuan adalah di sektor domestik, maka pada saat ia masuk ke sektor publik sah-sah saja untuk memberikan upah lebih rendah karena pekerjaan di sektor publik hanya sebagai sampingan untuk membantu suami.
Peran domestik menurut anggapan orang hanya pantas dilakukan oleh perempuan. Keadaan tersebut menyebabkan posisi perempuan sarat dengan pekerjaan yang beragam, dalam waktu yang tidak terbatas dan dengan beban yang cukup berat. Misalnya, memasak, mencuci, menyeterika, menjaga kebersihan dan kerapian rumah, membimbing anak-anak belajar dan sebagainya. Pekerjaan domestik tersebut dilakukan bersama-sama dengan fungsi reproduksi, haid, hamil, melahirkan dan menyusui. Adapun laki-laki dengan peran publiknya menurut kebiasaan masyarakat, tidak bertanggung jawab terhadap beban kerja domestik tersebut, karena hanya layak dikerjakan oleh perempuan.
Peran ganda perempuan dalam pekerjaan, baik di ranah publik maupun domestik menyebabkan hasil kerja perempuan dianggap pekerjaan yang rendah dan tidak memperoleh imbalan materiil yang seimbang dengan beban pekerjaannya. Realitas ini memperkuat ketidakadilan gender yang telah melekat dalam kultur masyarakat. Lebih-lebih lagi jika perempuan harus bekerja pada peran publik untuk meningkatkan penghasilan ekonomi keluarga, maka semakin berat beban yang ditanggung perempuan. Apalagi jika lingkungannya, baik suami atau anggota keluarga lainnya tidak ikut membantu tugas-tugas domestik, karena secara kultural dianggap bukan kewajiban laki-laki untuk melaksanakan pekerjaan domestik tersebut.
4.    Tingkat Pendidikan Perempuan Rendah
Analisis Gender dalam Pembangunan Pendidikan di Tingkat Nasional menemukan adanya kesenjangan gender dalam pelaksanaan pendidikan terutama di tingkat SMU/MA, SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) dan PT (Perguruan Tinggi) jumlah perempuan lebih rendah dibandingkan dengan jumlah laki-laki, namun lebih seimbang pada tingkat SD dan SMP. Kecenderungannya adalah semakin tinggi jenjang pendidikan, maka makin meningkat kesenjangan gendernya, proporsi laki-laki yang bersekolah semakin lebih besar dibandingkan dengan proporsi perempuan yang bersekolah.
Kesenjangan ini disebabkan oleh berbagai hal di antaranya adalah pertimbangan prioritas berdasarkan nilai ekonomi anak, bahwa nilai ekonomi anak laki-laki lebih mahal dibandingkan dengan nilai ekonomi anak perempuan. Gejala pemisahan gender (gender segregation) masih banyak tampak dalam pemilahan jurusan (SMK Ekonomi untuk perempuan dan SMK-Teknik Industri untuk laki-laki) yang berakibat pada diskriminasi gender pada institusi-institusi pekerjaan.
Di beberapa tempat di Indonesia, sebagai akibat dari rendahnya pendidikan mereka, banyak mempekerjakan perempuan sebagai TKW. Banyak di antara mereka yang hanya berbicara dalam bahasa daerah saja dan bukan bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional yang sering diajarkan di sekolah. Dari gambaran tersebut, dapat dijelaskan bahwa pendidikan yang rendah merupakan faktor yang turut menyebabkan diskriminasi dalam pekerjaan. Rendahnya pendidikan dan keterampilan mempersulit perempuan yang masih gadis untuk mencari pekerjaan lain agar dapat menghidupi dirinya dan keluarganya.
Banyak dari pekerja-pekerja yang hanya membutuhkan sedikit keterampilan ini menuntut migrasi ke kota besar atau ke luar negeri, di mana perempuan menjadi target para pelaku trafficking dan pihak lain yang berniat mengeksploitasi mereka. Dengan rendahnya tingkat pendidikan serta kurangnya keterampilan kerja yang memadai, para perempuan yang masih gadis hanya mencari pekerjaan di sektor informal. Pekerjaan di sektor informal bagi perempuan yang tidak berpendidikan biasanya seperti pramuwisma, atau penjual minuman di kaki lima, pembantu rumah tangga, penjaja makanan di terminal dan stasiun, yang tidak memperoleh perlindungan dari pemerintah dan tenaga kerja melalui serikat buruh atau majikan.
Pendidikan yang minim dan tingkat melek huruf yang rendah semakin menyulitkan perempuan untuk mencari pekerjaan. Jika akhirnya mendapat pekerjaan, diposisikan pada bagian yang tidak memerlukan keterampilan misalnya buruh, tenaga suruhan, yang memiliki pengupahan yang sangat rendah, tidak mendapat perlindungan hukum dan juga kesehatan. Mereka tidak tahu bagaimana mengakses sumber daya yang tersedia, karena tidak dapat membaca dan menulis untuk mencari bantuan hukum ataupun rumah singgah jika majikan mereka bertindak eksploitatif atau melakukan kekerasan, baik fisik, psikis, maupun seksual.






BAB III
PENUTUP

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman
sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.












Daftar Pustaka

F.M. Suroyo. 2006. Agama dan kepercayaan membawa pembaruan: Untuk SMS/SMK Kelas I. Yogyakarta. Kanisius.
Irwan Djamal Zoer’aini. 2009. Besarnya Eksploitasi Perempuan dan Lingkungan di Indonesia. Jakarta. PT Elex Media Komputindo
Sadli Suparinah. 2010. Berbeda Tetapi Setara Pemikiran Tentang Kajian Perempuan. Jakarta. Kompas



No comments: